SANGGAMARA – kurang lebih bermakna menolak malapetaka – merupakan hikayat Aceh generasi pertama yang ditulis dengan abjad latin. Sebelumya hikayat berbahasa Aceh ditulis dengan aksara Arab. Sayangnya, hikayat penuh pengajaran ini kini sangat sulit didapatkan. Hikayat Sanggamara terakhir diterbitkan pada tahun 1970 oleh Teuku Mansoer Foundation. Hikayat ini ditulis oleh Teuku Mansoer Leupeung, seorang Uleebalang di Leupeung, Aceh Besar. Isinya mencakup adat sopan santun dan ajaran budi pekerti dalam hidup bermasyarakat.
Sanggamara kemudian menjadi buku ajaran di sekolah rakyat. Hikayat Sanggamara pertama dicetak pada tahun 1924, kemudian dicetak ulang pada tahun 1970 pada percetakan Endang, Jakarta. Prof Aboebakar Atjeh yang ikut memberi pengantar menjelaskan, munculnya hikayat Aceh dengan aksara latin setelah Snouck Hurgronje menetapkan ejaan latin untuk ba- hasa Aceh dalam Verspreide Geschriften.
Pada masa itu, Nyak Cut dan Muhammad Djam mulai memasukkan pelajaran bahasa Aceh ke sekolah-sekolah dasar. Mereka menulis buku
Batjut Sapeu sebagai pegangan. Buku yang kemudian dijelaskan cara pengajarannya oleh Muhammad Saleh dalam buku lain yang berjudul
Puntja. Teuku Mansoer Leupeung lalu menggunakannya untuk menulis ikayat Sanggamara. Hikayat ini dibagi dalam empat bagian, terdiri dari: khutbah, ukaddimah, sopan santon, dan chatimah.
Bagian pertama berisi sikrak nariet yang menjadi pengantar dan pembuka hikayat. Teuku Mansoer mengaku diminta oleh kawan-kawannya untuk enulis hikayat Sanggamara dalam rangka meluruskan budi pekerti dalam masyarakat pada masanya Meski Sanggamara menjelaskan tentang tata krama dan adat sopan santun, Teuku Mansoer Leupeung dalam pengantarnya tetap merendah. Ia tak ingin karyanya menjadi perdebatan, apalagi menjadi sumber peselisihan.
Bila itu terjadi, dan hikayatnya dianggap tidak berguna, ia rela Sanggamara dibakar. Penegasan itu dinukilkannya pada bagian akhir pengantar hikayat tersebut. Pada bagian kedua (mukaddimah), Teuku Mansoer mulai membahas satu persatu tema ajarannya. Ada sebelas judul pada bagian ini, mulai dari
wujud hudep yang membahas tentang tujuan hidup, peungajaran berisi tentang pentingnya pendidikan bagi anak,
meureunoe membahas kewajiban menuntut ilmu, adat mengupas tentang tata cara penyelesian perselisihan dalam masyarakat secara adat, kemudian hukom yang berisi tentang bahasan hukum syariat dan hadis nabi.
Dalam bagian ini Teuku Mansoer menyertakan beberapa ayat Alquran sebagai sandaran terhadap apa yang disebutnya
adat syara’ hukom saban, ngon peutimang manusia. Pada bagian Tatimah, Teuku Mansoer mengurai tentang tata cara mendamaikan perselisihan yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah. Bagaimana darah orang yang tumpah itu harus diukur dan dibayar diyat-nya melalui adat
bulukat kuneng meulapeh tumpoe dan manok panggang.
Tema lainnya pada bagian kedua ini berupa penjelasan terhadap
deurajat, pangkat ngon lakab, paleh sunoh kada, paleh boh kada, dan makanan ngon minuman nyang mulia. Selanjutnya pada bagian ketiga (sopan santon), Teuku Mansoer dengan apik dan rinci mengurai 18 perkara dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari
meututo ngon tingkah laku, meudakwa, peukayan nyang gleh suci, ziarah kunjong saweu, peujemei ngon teurimong jamei, adat seumajoh, hingga adat meukawen dan jak bak bisan. Bagian terakhir (chatimah) merupakan bagian penutup yang diberi judul
kafa bil mauti wa’izla.
Bagian penutup ini lebih banyak membahas tentang nasehat-nasehat dalam berprilaku sesama masyarakat. Nasehatnasehat yang disandarkan pada ayatayat Alquran. Dengan rinci Teuku Mansoe mengurai makna-makna ayat Alquran yang dikutipnya. Hal ini menjadi lebih enak dibaca karena isampaikan dalam bentuk hikayat dengan bahsa meuantok. Membacanya kita tidak hanya menikmati karya sastra, tapi juga tuntunan hidup. Bagian penutup ini merupakan bagian yang paling banyak kutipan ayat Alquran. Ada sepuluh firman Allah SWT yang dijadikan sandaran dan landasan penguat nasehat-nasehatnya oleh Teuku Mansoer.
Hadirnya Sanggamara pada masa itu mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak. Uleebalang XXII Mukim T Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Dawod menyebut Sanggamara sebagai hikayat yang berisi segala pokok pembicaraan yang penting mengenai agama dan adat sopan santun. Ia menilai hikayat ini sebagai sumber ilmu yang lengkap tentang sopan santun yang berlaku dalam masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Aceh Rayeuk. Hal yang sama juga disampaikan Uleebalang XXV Mukim Teuku Rayeuk bersama Sri Setia Ulama dan Uleebalang VI Mukim Lhong.
Pujian terhadap hikayat Sanggamara juga disampaikan Fd Controleur Onderafdeeling Lhoknga, FW Stammeshaus dalam keterangan tertulisnya dengan bahasa Aceh tanggal 8 Mei 1930. Ia menilai hikayat Sanggamara bisa menjadi buku penuntut bagi siapa saja orang luar yang ingin memahami orang Aceh. Orang-orang yang bukan orang Acehdapat menggunakan hikayat Sanggamara sebagai suatu buku penuntun untuk mempelajari cara-cara bergaul dengan orang Aceh.
* Iskandar Norman, sastrawan dan perawi hikayat
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Sanggamara, Awal Mula Hikayat Latin"
Post a Comment