Hièm merupakan seni adu pikir dan olah kata yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Lebih dikenal dengan sebutan
haba peukateuén ureuéng tuha. Sayangnya kini tak lagi berkembang, kalau tak elok disebut hilang.
Menulis tentang hièm, saya teringat pada janji
koh lipah pula lipah (tebang nipah tanam nipah) dalam sandiwara Apa Kaoey yang jatuh cinta pada Asimara. Sandiwara era 1980-an itu sangat digemari rakyat Aceh. Kepiawaian Apa Kaoey
meuhantôk haba untuk memikat Asmamira bagitu hidup dan elegan.
Hièm yang disampaikan bahasa
meuantôk sekilas seperti pantun. Antar
hièm dan
pantôn meski beda, tapi dalam perkembangannya tak bisa dipisahkan, bahkan saling mendukung.
Sebagai contoh ketika Asmamira berkata pada Apa Kaoey:
koh lipah pula lipah
pucôk jih reubah u dalam paya
meunyoë hiem nyoë neupeuglah
jadéh meunikah geutanyoë dua (tebang nipah tanam nipah,pucuknya rebah ke dalam kolam, kalau teka-tekiini bisa kanda jawab, jadilah kita menikah berdua).
Contoh hièm :
Ta ek u gle koh bak jeumeureu,
keudeh tasadeu bak kaye raya,
blet kilat khum geulanteu,
kabeh meusiseu dalam blang raya. Jawaban
hièm tersebut adalah kodok di musim hujan. Hal ini dijawab Apa Kaoey dengan bahasa sendiri,
bak tajak-jak meuteumei situek,
bak ta duek-duek cob keu tima,
phop le dichen phop le di duek,
nyang keuh cangguek musem keanoeng sa.
Jelas terlihat dalam
hièm dan jawabannya tadi ada bahasa
meuantôk sehingga akan terasa lebih indah ketika didengar. Karena
hièm itu bisa dijawab oleh Apa Kaoey, Asmimara menambahkan
na saboeh cicem jiphe u laoet
jigieng u likoet aneuk jih kana
jijak-jiwoe umpeun lam reugam
cuba hai rakan gata boh makna. Makna dari
hièm tadi adalah orang yang sedang menulis ditamsilkan sebagai laut, jemari yang menggenggam pena ditamsilkan sebagai burung membawa makanan dalam genggamannya.
Hièm itu pun mampu dijawab Apa Kaoey dengan bahasa
meuantôk.
Bahasa
meuantôk dalam
hièm bertambah menarik ketika diucapkan dengan irama yang indah. Selain itu masih banyak
hièm yang diajukan Asmamira, seperti
bak dilaôt boh di darat, yang merupakan hiem terdapat
boh pukat (buah alpokat), kemudian bulan sabit dan bintang lewat
hiem, bu saboeh situek meusipreuk saboh donya. Semua
hièm yang diajukan dalam bahasa pengantar yang
meuantôk dan berirama oleh Asmamira tadi, mampu dijawab oleh Apa Kaoey. Jadilah janji koh lipah pula lipah terlaksana. Yang menarik dalam
meuhièm adalah orang yang mengajukan hièm akan selalau berada dipihak yang menang, karena mampu menyiapkan jawaban ganda terhadap
hièm yang diajukannya tadi.
Meski lawannya telah mampu menjawab dengan benar, tapi akan dikatakannya salah dan dia akan mengajukan alternatif jawaban kedua sebagai jawaban yang benar. Makanya sering antar penjawab dan penanya saling ganti –gantian mengajukan
hièm masing-masing.
Beberapa
hièm yang punya jawaban ganda diataranya
busoe sikilo gapeu sikilo, tatiek ateah gaki soe saket? Secara sepintas orang akan menganggap hièm itu sangat mudah untuk dijawab, sudah pasti besi sebagai benda keras akan menimbulkan lebih sakit bila jatuh ke atas kaki bila dibandingkan dengan kapas yang lembut.
Tapi di sinilah kecakapan seseorang dalam
meuhièm, meski jawaban tadi benar dia akan mengatakan salah, dia bisa saja membalik jawabannya yang kedua, yaitu yang sakit pasti kaki karena besi dan kapas tadi jatuh ke atas kaki. Begitu juga sebaliknya bila penjawab menjawab dengan jawaban kedua, dia kan membenarkan jawaban petama.
Bukan itu saja, kecakapan seseorang dalam meuhièm, juga tergantung pada kelihaian menggunakan kata yang bermakna ganda, seperti
campli sikilo tapéh keaeueng? Untuk menjawab
hièm tersebut sangat tergantung pada fonem pengucapannya datar, berarti
tapéh yang dimaksud adalah menggiling cabe, tapi bila da jeda saat pengucapannya berarti
tapéh yang dimaksud adalah ampas kelapa.
Pada
hièm ini juga berlaku jawaban ganda yakni
keuéng (pedas) dan
hana keuéng (tidak pedas) penjawab dijebak pada dua alternatif jawaban tersebut, tidak ada jawaban selain itu. Bila penjawab menjawab dengan jawaban pertama, si pengaju
hièm akan membenarkan jawaban kedua, juga sebaliknya.
Begitu juga halnya pada
hièm sibuléun padum uroë? jawabannya sangat tergantung pada fonem pengucapan kata
sibuléun. Secara sepintas orang akan menjawab dengan menyebutkan jumlah hari dalam sebulan, tapi sipengaju akan memutar makan kata
sibuléun yang oleh penjawab dimaknai sebulan,
sibue léun yakni menyiram halaman. Dan jawaban yang dibalik oleh sipengaju sebagai jawaban yang benar adalah
meunuroet luah leun (tergantung pada luasnya halaman yang hendak disiram).
Keahlian seperti itulah yang sekarang sangat minim dimiliki oleh orang-orang yang mampu meuhièm. Nah pada hièm yang memliki jawaban ganda dan kata bermakna ganda seperti tadi sudah tentu akan melahirkan perdebatan antara penanya dengan penjawab, karena sama-sama merasa jawaban benar dan memang kedua-duanya jawaban mereka benar.
Disinilah peran Syeh Kuna, hakim selaku penilai. Ketika penyanya dan penjawab
hièm bersikeras mempertahankan bahwa jawaban salah satu diantara mereka yang paling benar. Mereka akan melemparkan hiem tadi kepada Syeh Kuna.
Uniknya lagi cara mereka melempar teka-teki kepa Syeh Kuna dilakukan lewat Syair berbahasa
meuantôk, yang diucapkan sama–sama oleh penanya dan penjawab. Salah satu syair tersebut adalah:
Diteungku meuna,
ulon meuanoë,
wahe e teungku kamo hana meuteuoh,
pulang u teungoh Tenghu syeh kuna. Syeh Kuna sebagai hakim kemudian akan memerikan nilai atas jawaban penanya dan penjawab tadi.
Biasanya para pemuda yang tidur di balai desa atau menuasah, setelah shalat isya akan saling bersenda gurau, salah satunya dalah dengan cara meuhièm. Selain
meuhièm mereka saling menceritakan haba jaméun, kisah-kisah atau cerita bahkan dongeng-dongeng tempo dulu.
Tentunya masih banyak lagi hiem lainnya yang juga mempunyai jawaban ganda. Semua itu tentunya sangat tergantung pada kelihaian masing-masing. Sekarang bagaiman warisan itu bisa diabadikan. Bek taseut gleung meuh tasoek gle uk ba loet, adat nyang patoet bek tatuka. [iskandar norman]
Belum ada tanggapan untuk "Hièm Adu Pikir Masyarakat Aceh"
Post a Comment