Mesjid Baitul A’la Lilmujahidin merupakan salah satu karya Tgk Muhammad Daod Beureueh di Beureunuen. Sengketa yayasan membuat 30 tiang mesjid itu pernah dirobohkan pada 2006 silam.Melewati Kota Beureunuen Minggu malam (2/5), ingatan tentang Tgk Muhammad Daod Beureueh kembali terngiang. Ingatan itu seolah kembali ke tahun 2004, ketika mewawancarai Abu Mansor, sekretaris pribadi Abu Beureueh di kediamannya di ujung timur Kota Beureunuen.
Abu Mansoer kini juga sudah almarhum. Ia meninggal dalam usia 105 tahun. Dari dialah cerita tentang Mesjid Baitul A’la Lilmujahidin yang dikenal sebagai Mesjid Abu Beureueh mengalir.
Mesjid Baitul A’la Lilmujahidin, dibangun atas prakarsa Tgk Muhammad Daod Beureueh pada tahun 1950. Pembangunannya sempat tertunda sampai sepuluh tahun akibat konflik DI/TII di Aceh. Saat itu Abu Beureueh sendiri naik gunung memimpin pemberontakan terhadap pemerintah pusat yang dinilainya telah ingkar janji terhadap masyarakat Aceh.
Setelah pemberontakan reda, pada tahun 1963, pembangunan mesjid itu dilanjutkan, dengan dana bantuan masyarakat. Figur Abu Beureueh yang karismatik dan disegani, membuat masyarakat berbondong-bondong menyumbangkan hartanya untuk pembangunan mesjid itu, meski hanya beberapa butir telur dan segenggam beras. Sampai akhirnya mesjid itu kokoh berdiri, dan diresmikan pemakaiannya pada tahun 1972.
Abu Beureueh pula yang kemudian menabalkan nama Baitul A’la Lilmujahidin sebagai nama mesjid tersebut. Namun nama itu seolah tak dikenal, karena masyarakat lebih suka menyebut mesjid itu sebagai Mesjid Abu Beureueh. Dari sumbangan materi masyarakat dalam bentuk infaq, dan sedekah, Abu Bureueh kemudian berinisiatif mendirikan sebuah lembaga pendidikan (dayah) di komplek mesjid itu.
Namun akibat eskalasi konflik Aceh yang kembali meningkat, dengan lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada tahun 1979 Abu Beureueh ”diculik” dan dipindahkan ke Jakarta, karena khawatir GAM akan menggunakan pengaruh Abu Beureueh dalam pergerakannya.
Setahun kemudian, beberapa tokoh Aceh berinisiatif mendatangi Abu Beureueh yang ”dipenjara” dalam sangkar republik di Jalan Wijaya Kusuma nomor 6, Jakarta, untuk membicarakan beberapa hal, termasuk soal pengurusan mesjid Baitul a’la Lilmujahidin.
Hadir dalam pertemuan itu, M Nur el Ibrahimi, Drs Ma’mun Dawud, Tgk Hasballah Haji, Tgk H M Nur Syik, Tgk Adnan Saud, Tgk H A Wahab Yusuf, Tgk Said Ibrahim, Cekmat Rahmani, Zaini Bakri, Ishak Husein, dan Tgk H Yacob Ali.
Hasil pertemuan itu, pada 9 Oktober 1979, dibentuklah Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin sebagai badan hukum untuk mengelola mesjid dan pendidikan di komplek mesjid tersebut. Sebagai ketua yayasan ditunjuk M Nur El Ibrahimi, sementara Tgk Muhammad Daud Beureueh sebagai Ketua Kehormatan.
Harta kekayaan mesjid pun kemudian diinventarisis. Semua harta itu oleh Abu Beureueh tidak dinyatakan sebagai milik yayasan. Sebaliknya milik Allah dan masyarakat muslim yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan ummat dibawah pengelolaan yayasan.
Robohnya Tiang Mesjid Abu Beureueh
Beberapa tahun lalu, sempat mencuat sengketa pengelolaan Mesjid Abu Beureueh dengan Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin. Imbasnya, 30 tiang mesjid yang sudah dibangun untuk perluasan mesjid dirobohkan. Peristiea itu terjadi Selasa, 9 Mei 2006.
Pihak yaysan meminta tiang-tiang itu dirobohkan. Alasannya, mesjid kebanggan masyarakat Beureunun itu merupakan cagar budaya yang tidak bisa diperluaskan atau dirombak bentuknya.
Tiang perluasan mesjid itu dibangun oleh panitia pengurus mesjid dengan dana sumbangan masyarakat. Perselisihan antara yayasan dengan pengurus mesjid itu pun kemudian menjadi semakin memuncak yang berakhir pada perobohan tiang-tiang tersebut.
Sebelumnya, antara pengurus mesjid dengan pihak yayasan beberapa kali melakukan musyawarah mencari jalan tengah. Namum pertemuan yang difasilitasi oleh Bupati Pidie saat itu, Abdullah Yahya mengalami jalan buntu.
Imbasnya kemudian memunculkan persoalan lain, yakni soal transparansi pengunaan dana bantuan untuk mesjid. Salah satunya bantuan dari Wakil Presiden Hamzah Haz pada tahun 2002, sebesar Rp600 juta, yang akan ditambah menjadi Rp1 miliar setelah bantuan tersebut habis dipakai.
Selanjutnya, muncullah aktivitas yang tak terkontrol untuk menghabiskan dana Rp600 juta itu. Banyak pihak yang ingin mengelola dana itu dan menolak keberadaan yayasan sebagai badan hukum yang bertangung jawab terhadap mesjid, dayah dan seluruh harta kekayaaan mesjid.
Pada 7 September 2002, tokoh masyarakat Beureuneun, Kecamatan Mutiara pun melakukan musyawarah, soal situasi terakhir yayasan. Dan pada 5 November 2003 dilakukanlah perombakan pengurus yayasan, melalui akte notaris nomor 1 tahun 2003. Ditetapkanlah Drs Zulkifli Amin, M.Pd sebagai Ketua yayasan, dibantu Drs Hasanuddin Yusuf, MCL (Sekretaris), Ir Hasbi Armas (Bendahara), Zakaria AA, SH (pengawas) dan Drs Tgk Ma’min Dawud (pembina).
Saat itu Mesji Abu Beureueh diyakini memiliki kekayaan sekitar Rp10 miliar dalam bentuk uang dan barang. Dana tersebut akan digunakan untuk memperindah bangunan mesjid, tempat wudhuk dan taman. Kegiatan pembangunan itu dilakukan melalui pengurus mesjid.
Awal dari usa renovasi dan perluasan mesjid itu, pengurus mesjid pun mendirikan 30 tiang beton di sekeliling mesjid untuk perluasan tempat Ibadan itu. Disinilah puncanya, pihak yayasan kemudian tidak setuju dengan perluasan itu, mereka mengklaim mesjid tersebut sebagai milik yayasan, yang akan dikelola oleh yayasan sampai kapanpun.
Padahal dalam musyawarah pada 9 April 2002, masyarakat menolak mesjid dikelola yayasan, karena yayasan milik keluarga, sementara mesjid milik masyarakat, yang dibangun secara gotong royong dibawah pimpinan Abu Beureueh.
Namur pihak yayasan punya alasan lain tentang penolakan perluasan mesjid itu, yakni mesjid peninggalan ulama dan tokoh karismatik Aceh tersebut, diangap sebagai cagar budaya, yang harus dilindungi bentuk aslinya. Hal itu sebagaimana tercantum dalam surat pelestarian mesjid nomor 001/YBA/25/N/2004, yang dikeluarkan oleh yayasan pada tanggal 11 Februari 2004.
Selain itu, surat Gubernur NAD nomor 451-2/25423. tanggal 31 Agustus 2002, serta surat Dinas Kebudayaan NAD nomor 432.21/87/2002, tanggal 10 September 2002. Di sisi lain masyarakat Mutiara (Beureunuen-red) melalui rapat 7 September 2002, menginginkan perluasan mesjid tersebut.
Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin didirikan oleh Tgk Muhammad Daod Beureueh pada tahun 1979, sebagai badan hukum yang bertanggungjawab terhadap keberadaan dan harta kekayaan mesjid.
Meski demikian pengurus mesjid tetap berpegang pada keputusan musyawarah tanggal 19 April 2002, yang dihadiri oleh kepal desa, kepala mukim, imum meunasah, khatib mesjid, dan tokoh masyarakat Kecamatan Mutiatra. Dalam musyawarah yang dihadiri 220 orang itu, menolak usaha yayasan memasukkan mesjid beserta hartanya menjadi milik yayasan.
Mereka juga meminta kekayaan mesjid yang dipinjam oleh yayasan untuk dikembalikan. Selain itu menetapkan bahwa pengelolaan mesjid dilakukan oleh tokoh masyarakat setempat yang tergabug dalam pengurus mesjid.
Pada tanggal 2 Juni 2002, melalui selembar surat, Imum Syik (imam besar-red) mesjid Abu Beureueh, Tgk Abdullah Hanafiah, menyetujui perluasan mesjid, setelah kepadanya diperlihatkan gambar rencana perluasan itu.
Selanjutnya, peluasan pun dilakukan dengan modal kas mesjid. Untuk pembangunan pondasi perluasan menghabiskan dana sebesar Rp120 juta, sementara untuk untuk 30 tiang beton Rp45 juta. Dana itu dikumpulkan dari sumbangan masyarakat.
Setelah 30 tiang beton itu dirobohkan oleh pihak yayasan, akibat konflik yayasan dengan pengurus mesjid, muncul desas-desus bahwa enam naleh (1,2 hektar) tanah wakaf untuk mesjid dicabut kembali oleh pemiliknya. Tanah halaman mesjid dan komplek pendidikan juga akan ditarik kembali oleh pemiliknya, karena mereka mewakafkan tanah itu untuk mesjid, bukan untuk yayasan.
Sementara itu, Sekretaris Abu Beureueh, Abu Mansoer kala itu mengharapkan, agar dalam usah membangun mesjid, tidak merobah bentuk bangunan yang sudah ada. “Mesjid itu peninggalan Abu Beureueh, Abu sendiri pernah melarang merubah bentuk mesjid itu,” jelasnya dalam satu wawancara dengan saya Agustus 2004 lalu.
Tokoh Kontroversi
Abu Beureueh dikenal sebagai pemimpin yang berkarisma, tapi juga kontroversi. Tgk Muhammad Daod Beureeh dilahirkan di Pidie tahun 1898. Ia tak pernah mengecap sekolah formal, hanya belajar di beberapa pesantren di Sigli. Pada usia 33 tahun, Daod Beureueh mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Pase, Sigli. Meski demikian ia dianugerahi pangkat Mayor Trituler ketika menjabat sebagai Gubernur Aceh Langkat dan Tanah Karo.
Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA, lembaga yang didirikannya pada 1939 terutama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda.
Usai pemberontakan DI/TII, setelah itu Daod Beureueh bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak. Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh.
Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Daod Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. Abu Beureueh tutup usia di Aceh tahun 1987. Nafasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali berduka.
Ia dimakamkan di komplek Mesjid Mesjid Baitul A’la Lilmujahidin, Beureunuen. Mesjid yang dibangunya bersama rakyat. Untuk menjaga kebesaran nama dan kiprah Abu Beureueh, semoga tak ada lagi sengketa di mesjid yang dibangunnya itu. Sebagaimana dulu Abu Beureueh menyatukan ummat, semoga begitu pula mesjid itu menyatukannya, bukan lagi menjadi objek sengketa. Semoga.[]
Belum ada tanggapan untuk "Jejak Abu Beureueh di Baitul A’la Lilmujahidin"
Post a Comment