Perang Aceh melahirkan perempuan-perempuan perkasa, tidak hanya diakui oleh bangsanya, tapi juga musuhnya. Belanda menyebutnya sebagai Grandes Dames, wanita-wanita besar yang perannya melebihi kaum pria.
[Cristine Hakim memerankan sosok Cut Nyak Dhien dalam film Tjoet Nja' Dhien ]
Cut Nyak Dhien merupakan satu di antara sederetan nama-nama besar itu. Mereka muncul silih berganti menjadi panglima perang selama 60 tahun perlawanan terhadap penjajahan Belanda, mulai Maret 1973 ketika perang dimaklumatkan, sampai Belanda meninggalkan Aceh dengan kekalahannya pada tahun 1942.
H C Zentgraff, penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menyebut perempuan-perempuan perkasa itu sebagai de leidster van het verzet, para pemimpin perlawanan yang memegang peranan besar dalam perpolitikan dan peperangan. Zentgraaf menulis.
“Keberanian wanita Aceh dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya. Ia rela hidup dalam kancah perang dan melahirkan putranya di situ. Ia berperang bersama suaminya, kadang-kadang di samping, di hadapan, atau di tangannya yang kecil dan halus itu, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya.”
Salah satu perempuan Aceh yang sangat disegani Zentgraaff dalam bukunya itu adalah Cut Nyak Dhien, yang tampil memimpin peperangan melawan Belanda pada 1896 setelah Teuku Umar, suami keduanya meninggal. Ia lebih memilih melanjutkan perjuangan dalam rimba secara bergerilya dari pada tunduk pada Belanda. Cut Nyak Dhien terus melanjutkan perjuangan meski ia sudah tua, matanya sudah rabun, tapi semangatnya tidak terpatahkan.
Sebagaimana ditulis oleh Rusdi Sufi dalam buku “Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” keperkasaan Cut Nyak Dhien juga diungkapkan oleh sejarawan Belanda lainnya, M H Szkely Lulafs dalam buku “Tjoet Nja’ Dhien” Ia menilai jiwa kepahlawanan yang menggerakkan semangat juang dalam dada Teuku Umar adalah dorongan halus Cut Nyak Dhien. Sifat kepahlawanan Cut Nyak Dhien diwarisi dari ayahnya yang merupakan salah seorang pejuang penentang kolonialis Belanda.
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848, ayahnya Teuku Nanta Setia merupakan uleebalang VI Mukim bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim. Mereka tinggal di Gampong Lampadang Peukan Bada, Aceh Besar. Ayah Cut Nyak Dhien merupakan keturunan seorang perantau asal Minangkabau Sumatera Barat, yang bernama Machoedoem Sati. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad XVIII ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 – 1733).
Sementara ibunya Cut Nyak Dhien merupakan putri uleebalang terkemuka di Kemukiman Lampageu yang juga wilayah Sagi XXV Mukim. Sebagai putri bangsawan, sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama dari ulama-ulama di wilayah kekuasaan ayahnya.
Sebagai putri uleebalang, kehidupan Cut Nyak Dhien dipengaruhi oleh gaya hidup bangsawan, tapi pendidikan agama yang didapatkannya membuatnya tumbuh menjadi gadis yang memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal. Cut Nyak Dhien kemudian dijodohkan dengan anak saudara laki-laki dari ibunya. Pria muda itu bernama Teuku Ibrahim, putra dari Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII Mukim Teungkop di Sagi XXVI Mukim.
Menurut Rusdi Sufi, pada saat Belanda menyerang Aceh dalam bulan Maret 1873, suami Cut Nyak Dhien yang dipanggil dengan sebutan Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku Di Bitai, telah ikut berperang melawan agresi Belanda bersama pejuang Aceh lainnya. Meski baru berumahtangga, Cut Nyak Dhien merelakan suaminya untuk terjun ke medan juang. Ia memberi dorongan bagi suaminya dalam setiap peperangan.
[Lukisan perjuangan Cut Nyak Dhien ]
Namun, ketika Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, Cut Nyak Dien tidak lagi menjadi perempuan yang hanya menyemangti suaminya untuk berperang, tapi ia sendiri yang turun ke garis depan setiap peperangan mendampingi suaminya. Cut Nyak Dhien sangat marah ketika Belanda membakar Mesjid Raya Baiturrahman.
Kemarahan Cut Nyak Dhien itu digambarkan oleh sejarawan Belanda M H Szkely Lulafs dalam buku “Tjoet Nja’ Dhien” sebagai berikut:
“Cut Nyak Dhien meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan rambut tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan mengacung-acung, sampailah ia ke halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang datang berkerumum melihat apa yang mengolak-olak itu dari jauh, berserulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu, mesjid kita dibakarnya. Mereka menentang Allah subhanahuwata’ala, tempatmu beribadah dibinasakannya, nama Allah dicemarkannya, camkanlah itu! Jangan kita melupa-lupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang mengampuni dosa si kafir itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?”
Perang dengan Belanda terus berkecamuk, karena Belanda lebih unggul dalam persenjataan, Cut Nyak Dhien dan suaminya terdesak hingga kemudian berpindah ke wilayah Leupeung. Dari sana perang terus digelorakan. Tapi pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim Lam Nga, suami Cut Nyak Dhien tewas bersama beberapa pengikutnya dalam sebuah pertempuran di lembah Beuradeun Gle Tarom, Kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim.
Menurut Szekely Lulofs, penyebab peristiwa tersebut adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman yang telah menyerah dan menerima kompensasi dari Belanda. Kematian suaminya itu membuat kebencian Cut Nyak Dhien terhadap Belanda semakin memuncak. Ia tampil di depan menggantikan suaminya dalam berperang melawan Belanda.
Sejarawan lainnya, Hazil dalam buku “Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien Sepasang Pahlawan Perang Aceh” mengungkapkan, sangking bencinya Cut Nyak Dhien kepada Belanda, suatu ketika antara sadar dan tidak, Cut Nyak Dhien pernah berucap dan berjanji akan bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut belas atas kematian suaminya.
Dengan gelora batinnya yang dibaluti kebencian terhadap Belanda itu, Cut Nyak Dhien terus memimpin pelawanan. Pada saat yang sama juga terkenal Teuku Umar yang memimpin peperangan melawan Belanda di wilayah barat Aceh. Meski antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sudah saling mengenal nama, keduanya belum pernah bertemu. Hingga kemudian Teuku Umar dalam suatu peperangan mampun mengalahkan pasukan Belanda yang sebelumnya menewaskan Teuku Ibrahim Lam Nga, suaminya Cut Nyak Dhien.
Pada tahun 1878 beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Perkawinan mereka itu dibicarakan banyak orang, karena keduanya sudah dikenal sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah Belanda. Pasangan ini dinilai sangat cocok untuk memimpin kelanjutan peperangan.
Cut Nyak Dhien merupakan istri ketiga Teuku Umar. Sebelumnya Teuku Umar telah menikah dengan dua wanita lain yakni Cut Nyak Asiah putri Uleebalang Geulumpang, dan Cut Nyak Meuligoe putri Panglima Sagi XXV Mukim. Namun, diantara ketiga istrinya itu, Cut Nyak Dhien yang sangat memberi pengaruh padanya.
Dari perkawinannya mereka dikaruniai seorang anak perempuan yan diberi nama Cut Gambang, yang ketika dewasa kelak dinikahkan dengan Teungku Mayed Di Tiro alias Teungku Di Buket, putra Teungku Chiek Di Tiro.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien bersama pasukannya terus menjelajahi belantara, dari satu rimba ke rimba lain, dari satu jurang ke jurang lain. Cut Nyak Dhien kadang-kadang ditempatkan di tempat aman di tengah belantara ketika Teuku Umar dan pasukannya turun untuk menyerang patroli marsose yang terus memburu mereka.
Seperti pata tanggal 10 menjelang 11 Februari 1899, Teuku Umar dan pasukannya mencoba mencoba turun ke Meulaboh untuk menyerang sebuah pusat pertahanan Belanda. Esok harinya dalam sebuah pertempuran di Suak Ujong Kala Meulaboh, Teuku Umar tewas tertembak militer Belanda. Sesuai dengan pesannya kepada pasukannya, Teuku Umar dimakamkan di tempat yang tidak diketahui Belanda, yakni di Mon Tulang Pucok Meuhon Kendik Meulaboh.
Berita meniggalnya Teuku Umar diterima dengan tabah oleh Cut Nyak Dhien. Ia mengambil alih pimpinan pasukan yang ditingalkan suaminya itu. Ia melanjutkan perjuangannuya bersama Pang Laot Ali dan bertekat melawan penjajahan Belanda sampai akhir hayatnya.
Cut Nyak Dhien terus memimpin perjuangan melawan Belanda. Ia mengkoordinir pasukannya di belantara antara Kruen Woyla dan Meulaboh. Perang gerilya itu dilakukannya hingga enam tahun. Tapi dalam masa enam tahun itu, pasukan Cut Nyak Dhien mengalami kekurangan makanan. Cut Nyak Dhien juga sudah mulai sakit-sakitan dan rabun. Semua hartanya telah habis untuk membiayai perang melawan Belanda.
Dalam keadaan seperti itu Pang Laot Ali merasa kasihan dengannya. Wanita perkasa itu tidak lagi memiliki apa-apa selain semangatnya yang terus bergelora melawan Belanda. Kehidupannya sudah serba terpencil di rimba raya. Pang Laot Ali benar-benar tak kuasa melihat keadaan Cut Nyak Dhien yang seperti itu. Ia menawarkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menyerah kepada Belanda agar ia bisa dirawat oleh rakyatnya di kampung.
Mendengar tawaran seperti itu, Cut Nyak Dhien yang sudah rabun dan mengalami encok, murka. Ia meludah dan berkata dengan lantang kepada Pang Laot Ali. “Takluk kepada kaphe, cis najis, semoga Allah Subhanahuwataala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku.”
[Cut Nyak Dhien setelah ditangkap Belanda akibat pengkhuanatan Pang Laot ]
Namun Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat kondisi Cut Nyak Dhien seperti itu. Akhirnya ia mengkhianati Cut Nyak Dhien, ia mengirim seorang kurir untuk melaporkan tempat persembunyian mereka kepada Belanda di Meulaboh. Bagaimanapun ia ingin Cut Nyak Dhien bisa dirawat, tidak terlantar di dalam hutan.
Pada tanggal 4 November 1905, Letnan Van Vuuren bersama pasukannya berangkat ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien. Dalam perjalanan, ketika hampir sampai ke tempat Cut Nyak Dhien, tanpa sengaja seorang tentara Belanda melakukan tembakan. Suara tembakan itu terdengar hingga ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien.
Cut Nyak Dhien kemudian digendong dan dibawa lari dari tempat itu. Tapi beberapa saat kemudian ia ditemukan dan ditangkap. Cut Nyak Dhien yang sudah buta dan tak berdaya menengadah kedua tangannya, kesepuluh jarinya dikembangkan. Ia sangat emosi dan ingin terus melawan, tapi wanita perkasa itu kini sudah renta dan tak berdaya, meski sikapnya sangat menentang, ia kemudian berkata, “Ya Allah ya Tuhanku inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir.”
Pang Laot Ali kemudian mendekati Cut Nyak Dhien dan berkata padanya agar Cut Nyak Dhien tidak takut, karena Belanda tidak akan menyakitinya, sebaliknya akan memperlakukannya dengan sopan. Akan tetapi ketika Pang Laot Ali henda meraba tangan Cut Nyak Dhien dan membujuknya, Cut Nyak Dhien dengan lantang berkara. “Cis, jangan menyinggung kulitku, pengkhianat engkau, tidak kusangka, lebih baik kau menunjukkan budi baikmu kepadaku dengan jalan menikamku.”
Cut Nyak Dhien kemudian dianikkan ke sebuah tandu, lalu digotong ke sebuah pos penjagaan Belanda. Bersama Cut Nyak Dhien juga ditangkap seorang kemenakannya yang bernama Teuku Nana. Dari sana Cut Nyak Dhien kemudian dipindahkan ke Kutaraja.
Paul Van’ Veer menulis, meski Cut Nyak Dhien telah ditawan, pengaruhnya terhadap fanatisme rakyat Aceh dalam menentang Belanda di Aceh, khususnya Aceh Besar tidak lenyap. Perang terus saja berlanjut. Untuk menghilangkan pengaruhnya itu, Cut Nyak Dhien kemudian dipindahkan ke Pulau Jawa yakni ke Suimedang, Jawa Barat, melalui surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda nomor 23 tanggal 11 Desember 1906.
Setelah sekitar dua tahun berada di pengasingan, pada 6 November 1908 Cut Nyak Dhien wafat dan dikuburkan di sana. Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengangkatnya sebagai pahlawan kemerdekaan nasional melalui Surat keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 106, tanggal 2 Mei 1964.
[Iskandar Norman]
Belum ada tanggapan untuk "Mengenang 106 Tahun Mangkatnya Cut Nyak Dhien"
Post a Comment