Prang ngon taki, khanduri ngon doa, pameo dalam masyarakat Aceh ini yang dikenal sebagai hadihmaja menjadi filosofi perang di Aceh, beberapa peristiwa besar pernah terjadi. Ya, perang itu dengan tipu muslihat, yang akhirnya kesuksesan akan selalu diakhiri dengan kenduri dan doa.
Adalah peristiwa penyerangan kapal Nicero dan Hoc Canton sebagai dua dari sekian banyak peristiwa suksesnya tipu muslihat perang yang dimainkan pejuang Aceh. Bermula ketika Nicero, sebuah kapal berbendera Inggris terdampar di Teunom.
Raja Teunom yang sedang gencarnya berperang dengan Belanda merampas kapal tersebut, awak kapalnya juga disandera. Sebuah tuntutan diajukan kepada Inggris, kapal dan sanera akan dibebaskan jika Inggris membayar tebusan 10.000 dolar.
Teuku Umar yang saat itu sudah memihak kepada Belanda melalui taktik perang tipu Aceh, ditugaskan untuk melakukan pembebasan kapal dan sandera. Teuku Umar meyakinkan Belanda bahwa Raja Teunom memiliki pasukan yang kuat, karena itu Inggris tidak berani menghadapi pasukan Raja Teunom, maka meminta bantuan Belanda.
Dalam uapayanya meyakinkan Belanda, sebenarnya Teuku Umar sedang membuat skenario besar. Ia menyatakan untuk merebut kembali kapal dan membebaskan sandera diperlukan pasukan pilihan dan persenjatan lengkap hingga mampu berperang salam waktu lama. Belanda mengiyakannya.
Teuku Umar bersama 32 tentara Belanda dan beberapa orang panglima, berangkat dari Kutaraja ke Aceh Barat dengan kapal Bengkulen. Di tengah pelayaran, semua tentara Belanda yang menyertainya dibunuh di atas kapal. Seluruh senjata dan amunisi dirampas. Dengan senjata rampasannya itu Teuku Umar dan pengikutnya memperkuat dan bergabung kembali dengan pejuang Aceh. Ia juga meminta kepada Raja Tunom untuk tidak menurunkan nilai tuntutannya kepada Inggris dan Belanda.
[Teuku Umar bersama panglimanya ]
Sejarawan Aceh H M Zainuddin (1972 : 5) mengungkapkan, Belanda sangat tercuncang dengan peristiwa itu. Pemerintah Kolonial Belanda di Kutaraja mengumumkan akan memberi hadiah 25.000 dolar bagi siapa saja yang sanggup menangkap Teuku Umar hidup atau mati.
Sejarawan lainnya Moehammad Said (1985 : 228) menulis bahwa tidak ada efek apapun dari pengumuman Belanda tersebut. Tidak ada di kalangan rakyat Aceh yang berani menghadapi Teuku Umar dan pasukannya, sebaliknya rakyat Aceh menyambut Teuku Umar sebagai pahlawan yang telah berhasil mengelabui Belanda dengan taktik tipu Aceh yang diterapkannya.
Akhirnya, Belanda terpaksa membayar tuntutan Raja Teunom. Pada 10 September 1884, kapal Nicero dan 18 orang awak kapal dibebaskan dengan uang tebusan 10.000 dolar. Raja Teunom berbesar hati atas peristiwa itu, karena kasus Nicero telah menggegerkan negara-negara Eropa.
Dua tahun setelah peristiwa Nicero, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini menerpa kapal Hoc Canton, kapal dengan kapten Hansen, warga negara Denmark yang mendapat izin berlayar di perairan Aceh dari pemerintah Kolonial Belanda.
Muhammad Said menyebut Hansen sebagai pisau bermata dua. Ia memanfaatkan izin pelayaran untuk menyeludupkan sejata kepada pejuang Aceh di samping bisnis membeli rempah-rempah. Ia sangat lihai berlayar, bahkan untuk mengelabui patroli Belanda, ia mampu berlayar dalam gelap tanpa menghidupkan satu pun lampu di kapalnya.
Namun, pada sisi lain Hansen juga tertarik dengan tawaran imbalan dari Belanda yang masih berlaku, yakni 25.000 dolar untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati. Pada 12 Juni 1886, Hansen bersama Roaura berangkat ke Reugaih dengan kapal Hoc Canton. Alasannya, mereka ingin mengambil kapal The Eagle yang berlabuh di Reugaih, tapi sebenarnya Hasen dan Roaura ingin menjebak Teuku Umar.
Setelah berlayar selama tiga hari, pada 15 Juni 1886, Hoc Canton melepar jangkar di perairan Reugaih. Mula-mula mereka membeli lada dari kelompok Teuku Umar. Setelah semua lada dimuat ke kapal, Hansen memberi syarat bahwa pembayaran akan dilakukan di atas kapal.
E Roaura yang sudah sangat dikenal di kalangan pejuang Aceh sebagai penyeludup senjata menjumpai Teuku Umar di darat. Ia mengatakan Hansen meminta Teuku Umar harus naik ke kapal Hoc Canton untuk menyelesaikan transaksi dagang tersebut. Syarat itu ditolak Teuku Umar, tapi Hansen tetap bersikeras, tiga kali utusan Teuku Umar datang ke kapal ditolak Hansen.
Kesabaran Teuku Umar habis, sebuah tak-tik dirancang, bagaimana pun harga lada yang sudah dimuat ke kapal Hoc Canton harus dibayar. Teuku Umar sendiri akan naik ke kapal itu untuk mengambil uang dengan segala resiko. Baginya uang itu sangat penting untuk kebutuhan logistik perang.
Teuku Umar meminjam kapal The Eagle pada Raoura, kapal yang sudah lama berlabuh di Reugaih untuk merapat dan naik ke Hoc Canton. Tapi ketika Teuku Umar naik, Hansen memerintahkan anak buahnya untuk menangkapnya. Suami Cut Nyak Dhien itu akan dibawa ke Kutaraja untuk diserahkan kepada Belanda. Imbalan 25.000 dolar sudah terbayang di matanya.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya, semua anak buah kapal sudah lebih dulu disergap oleh 40 pejuang Aceh. Sebelum Teuku Umar naik ke kapal, ia telah menyusun skenario penyergapan kapal Hoc Canton, 40 pejuang Aceh sudah menyelinap ke sana pada malam hari. Hansen yang mencoba melarikan diri akhirnya ditembak. Kepala juru mudi Lanbker yang berkebangsaan Jerman juga tewas bersama masinis kepala Robert Mc Gulloch.
Sementara istri Hansen bersama masiis kedua John Fay dan enam awak kapal Hoc Canton disandera. Keenam awal kapal itu merupakan pria Melayu dan Tionghoa. Teuku Umar kemudian memerintahkan beberapa orang untuk menjaga kapal itu. Semua isi kapal disita, diantaranya: dua meriam, enam bedil model snider, lima pistol, serta uang tunai 5.000 dolar.
[Belanda membakar rumah Teuku Umar di Lampisang ]
Peristiwa Nicero dan Hoc Canton selain membuat pukulan telak bagi Belanda, juga menjadikan pemerintah kolonial itu di Aceh hilang wibawa di mata internasional. Apa lagi ketika dua peristiwa itu dimuat di koran Penang Gazatte. Asosiasi dagang Penang Association mengadakan rapat khusus dan mengeluarkan dua resolusi bagi Belanda di Aceh, yakni mengambil langkah cepat untuk membebaskan Jhon Fay, dan mendesak pemerintah Inggris untuk menyelesaikan kasus Kapten Hansen. Keputusan itu diambil setelah rapat asosiasi tersebut berkesimpilan bahwa Belanda tidak mampu menguasai keadaan di Aceh.
Belanda makin berang. Gubernur Militer Hindia Belanda di Kutaraja Jenderal Van Teijn memimpin langsung beberapa kapal dan ratusan pasukan menuju Aceh Barat. Reugaih akan dibumihanguskan. Namu n Teuku Umar tidak gentar. Ia balik mengultimatum Belanda, bila Reugaih diserang maka para tawanan akan dihukum mati.
Jenderal Van Teinj benar-benar gentar dengan ancaman itu. Ia memerintahkan semua kapal perang kembali ke Uleelheu. Belanda akan mengupayakan jalan diplomasi untuk menyelesaikan persoalan Hoc Canton.
Rakyat Reugaih bersorak ketika militer Belanda dan kapal-kapal perang itu kembali ke Kutaraja. Sementara Teuku Umar membawa tawanannya ke pedalaman. Nyonya Hansen diminta untuk menulis surat kepada Belanda, bahwa mereka akan dibebaskan jika Belanda bersedia membayar uang tebusan 40.000 dolar.
Sampai dua bulan lebih kemudian persoalan itu bekum juga selesai. Belanda yang mulanya akan menghadiahi 25.000 dolar bagi siapa saja yang mampu menangkap Teuku Umar hidup atau mati, kini dipaksa untuk membayar 40.000 dolar kepada Teuku Umar. Namun Belanda hanya menyanggupi 25.000 dolar saja. Teuku Umar benar-benar mendapat “hadiah” atas kepalanya sendiri.
Uang tebusan itu diserahkan kepada Teuku Umar pada September 1886 dan para sandera dibebaskan. Teuku Umar mempercayakan Nyak Priang tokoh yang masyarakat setempat sebagai perantara dengan Belanda untuk menjumpai Nyonya Hansen yang ditawan dalam rumah Teungku H Darwis Reugaih. Di rumah itu para tawanan diawasi dengan ketat. Nyoya Hansen mengakui dia diperlukan dengan sangat baik selama dalam tawanan, ia hanya mengalami luka kecil saat insiden di atas kapal Hoc Canton. Meski demikian ia mengaku sangat pilu dengan kematian suaminya.
Nyoya Hansen dan Fay bersama anak buah kapal Hoc Canton tiba di Kutaraja pada 6 Oktober 1886. Kepada Belanda Nyonya Hansen yang sudah lancar berbahasa Aceh mengakui bahwa ia diperlakukan dengan sangat baik oleh Teuku Umar.
Nyonya Hansen mengungkapkan semuanya kepada temannta sesama orang Denmark, Chirstiaansen. Ia menulis panjang lebar tentang sifat dan pribadi Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien yang dianggapnya sebagai ksatria. Seorang Mayor Belanda LWA Kessier juga mengakui hal itu. Ia menyebut Teuku Umar sebagai intellegente en zeer baschaafde Atjeher yakni orang Aceh yang paling cerdas dan sopan. [Iskandar Norman]
1 Tanggapan untuk "Kisah Tipu Aceh di Nicero dan Hoc Canton"
Pak.sangat bagus ceritanya.mohon lebih banyak lagi ya pak.boleh wa saya bila mau kirimin buku PDF nya
Ini WhatsApp saya pak +6282272505495
Post a Comment