Belanda sudah tiga abad menguasai nusantara, kecuali Aceh
yang berlindung di bawah traktat London. Sebuah perjanjian bilateral yang
menghormati Aceh sebagai sebuah kerajaan.
Kerajaan Aceh menyadari bahwa sewaktu waktu Belanda bisa saja memerangi
Aceh dengan mengabaikan Inggris. Apalagi sejak 1870-an Belanda sudah
melancarkan berbagai provokasi di daerah luar Aceh.
T. Ibrahim Alfian dalam tulisannya “Banda
Aceh Sebagai Pusat Awal Perang di Jalan Allah” menjelaskan, dalam rangka menghadapi kemungkinan
agresi belanda, Kerajaan Aceh mengimpor 5000 peti mesiu dan 1.349 peti senapan
dari Pulau Pinang sejak Agustus 1872 hingga Maret 1873.
Tentang
perdagangan senjata itu T Ibrahim Alfian merujuk pada keterangan E.B Kiestra
dalam Eschrijving van den Atjeh oorlog, 1883. Dana untuk pembelian senjata secara
besar-besaran itu berasal dari dana-dana
yang dihimpun dari masyarakat. Malah, anak cucu keluarga Sulthan Alauddin
Jamalul Alam Badrulmunir al Jamalullail memberikan sumbangan 12 kilogram emas.
Jauh sebelumnya,
pada 1824 disepakati sebuah perjanjian di Inggris yang dikenal dengan Traktat
London. Isinya, Belanda dan Inggris tidak melakukan tindakan permusuhan
terhadap kerajaan Aceh.
|
Pelabuhan Sabang, daerah pertama diduduki Belanda |
Belanda kemudian
mengingkari perjanjian itu dan mulai mengangu kerajaan Aceh. Mula-mula pada
1829 Belanda menyerang Barus yang berada di bawah kekuasaan Aceh. Serangan
Belanda ini dapat dipatahkan malah benteng Belanda di Pulau Poncang di Teluk
Tapanuli diserang oleh pasukan Aceh.
Kemudian pada
1834 dan 1835 Belanda melakukan provokasi lagi di sekitar pulau Poncang dengan
menahan beberapa perahu Aceh. Padahal perahu-perahu itu memiliki pas atau surat
keterangan berlayar yang sah dari
Kerajaan Aceh. G.B Hoyer dalam De
Krijgsgeschiedenir van Nederlandsch, indie van 1911-1894 jilif III mengungkapkan
bahwa sebagian awak perahunya ditangkan dan sebagian lainnya dibunuh.
Setahun
kemudian, pada 1836, awak kapal Dolphijn, milik maskapai Belanda, berontak dan
membunuh nahkodanya. Merek melarikan diri ke Aceh dan menyerahkan kapal itu
kepada Sulthan Aceh. Lalu kapal perang Belanda masuk perairan Aceh meminta agar
kapal Dolphijn itu dikembalikan, tetapi sulthah Aceh keberatan mengembalikannya
karena mereka tidak membawa surat kuasa dari Gubernur Hindia Belanda untuk
mengambil kapal itu.
Namun, ketika
surat kuasa yang diminta itu dibawakan, kapan Dolphijn tidak dapat digunakan
lagi untuk berlayar karena sudah dibakar di Pidie. Untuk menghadapi kemungkinan
invansi Belanda, Kerajaan Aceh membangun sebuah benteng di Barus, serta
memperkuat kedudukan pasukan Aceh di Singkil.
Belanda juga
tidak tinggal diam, Kolonel H.V M Michiels diperintahkan untuk menyerang
pasukan Aceh pada 1840 di sana. Kolonel ini berhasil mengalahkan pasukan Aceh
di Barus. Mulai saat itu kapal-kapal Eropa tidak lagi memdapat sambutan yang
baik ketika merapat ke pelabuhan Aceh.
Belanda khawatir
akan ada negara lain yang mencari pengaruh di Aceh, karena itu Belanda mencoba
merintis hubungan dengan Sulthan Aceh. E.B Kielstra dalam Eschrijving van
den Atjeh Oorlog, 1883 mengungkapkan, akhir tahun 1957 Mayor Jenderan Van
Swieten berhasil menandatangani perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan
Sulthan Ibrahim Mansur Syah.
Isi pokok
perjanjian itu antara lain: Membolehkan kawula kedua pihak, dengan mengindahkan
undang-undang yang berlaku, untuk melawat, bertempat tinggal dan menjalankan
perdagangan dan pelayaran di daerah kedua belah pihak. Kedua belah pihak juga
melepaskan tuntutan masing-masing mengenai segala pertikaian yang timbul sebelum
perjanjian ini.
Selain itu kedua
pihak juga semufakat untuk mencegah dengan sekuat-kuatnya perompakan dan
penangkapan manusia untuk dijual dan pembajakan di daerah masing-masing.
Kemudian Sulthan Aceh mengakui Bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda diwakili
oleh Gubernur Belanda di Sumatera Barat dalam hal urusan dengan Sulthan Aceh.
Segala salah paham yang mungkin timbul akan diselesaikan secara damai.
Meski demikian,
Aceh menyadari bahwa Belanda sewaktu-waktu bisa saja ingkar, sebagaimana mereka
mengingkari Traktat London. Dalam tahun 1872 Kerajaan Aceh
mengadakan
perundingan rahasia dengan Konsul Jenderal Amerika dan Italia di Singapura.
Dalam pertemuan itu, Konsul jenderal Amerika di Singapura, Mayor A.G Studer
memberikan perhatian khusus terhadap pertikaan Aceh dengan Belanda.
Studer
mengatakan ingin terlibat membantu Aceh. Untuk itu ia mengirim kawat kepada
Panglima skadron angkatan laut Amerika yang sedang melakukan patroli di Laut
Cina. Ia menginginkan agar kapal tersebut terus melaju ke Singapura untuk
membantu Aceh.
Sambil menunggu
angkatan laut Amerika tersebut, Studer merancang konsep perjanjian persahabatan
antara Aceh dengan Amerika [tentang ini
akan dibahas dalam tulisan lain]. Tapi usaha Studer itu gagal, karena
Menteri Luar Negeri Amerika saat itu, Hamilton Fish, menolak untuk memberikan
perhatian khusus pada persoalan Aceh dengan Belanda.
Bahkan dalam
suratnya kepada Duta Besar Amerika di Denhaag Belanda, Hamilton menyebut Stuger
sebagai konsul yang tolol. “Orang itu benar-benar tolol,” tulis Hamilton dalam
suratnya. Diplomasi Aceh untuk bekerja sama dengan Amerika pun gagal. Padahal
Studer dan utusan Aceh di Singapura, saat itu telah membuat konsep
perjanjian dalam bahasa Inggris dan
Melayu.
Ternyata dalam
pertemuan utusan Aceh dengan konsul Amerika dan Italia di Singapura waktu itu,
juga hadir seorang mata-mata Belanda yang kemudian membocorkan rencana kerja
sama Aceh dengan Amerika tersebut. Belanda pun memaikan peran baru,
memaklumatkan perang dengan Aceh, karena tak ingin Aceh menjalin kerja sama
dengan negara lainnya untuk menghadapi Belanda.
Sejarah Aceh pun
terus bergerak dari satu perang ke perang lainya. Belanda mencatat sebagai
perang terlama dan paling banyak menguras kas negara, plus darah dan nyawa.
Andai konsep perjanjian Aceh dengan Amerika ditandatangani, mungkin simpul
sejarah Aceh akan bergerak ke arah lain.[Iskandar Norman]
Belum ada tanggapan untuk "Aceh Melawan Provokasi Belanda"
Post a Comment