Sebelum melakukan pendudukan di Aceh,
Jepang berjanji akan membawa suasana baru pasca pemerintah kolonial Belanda
meninggalkan Aceh. Berbagai lembaga dibentuk untuk pemberlakuan syariat Islam.
Pada tanggal 13 Maret 1942, tentara
Jepang melakukan pendaratan di Aceh, setelah Belanda menyerah kalah kepada
sekutu. Pendaratan Jepang berlangsung mulus tanpa ada perlawanan, karena segala
sesuatu telah diatur dengan baik. Mereka diterima oleh masyarakat Aceh dengan
baik karena berjanji akan membawa suasana baru setelah Belanda pergi.
Prof DR Ismail Suny SH MCL dalam buku Bunga Rampai Tentang Aceh menjelaskan,
sebelum melakukan pendaratan di Aceh, Jepang terlebih dahulu menyampaikan
pernyataan melalui radio dan selebaran bahwa syariat Islam akan dapat
dijalankan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari tanpa halangan apa pun.
Setelah setahun menduduki Aceh, pada
awal Januari 1943 Jepang memenuhi janjinya, seorang ulama keturunan Sultan
Aceh, Tuanku Abdul Azis diangkat menjadi penasehat pemerintah Jepang di Aceh
dalam urusan Islam untuk seluruh Aceh.
Namun pengangkatan Tuanku Abdul Azis
tidak memuaskan golongan ulama. Para ulama Aceh menginginkan ulama lain. Jepang
kemudian membatalkan pengangkatan Tuanku Abdul Azis, dan membentuk majelis lain
yang melibatkan banyak ulama di dalamnya bersama Tuanku Abdul Azis. Majelis itu
dinamai Sedan-Jaku, yakni Majelis
Agama Islam untuk bantuan kemakmuran Asia Timur Raya.
Majelis ini diketuai oleh Tuanku Abdul
Azis, sebagai wakilnya diangkat Teungku
Muhammad Daod Beureueh dan Teungku Muhammad Hasjbi, serta beberapa ulama
terkemuka lainnya sebagai anggota majelis.
Residen Jepang di Aceh, Ziino dalam
pidatonya saat peresmian Sedan-Jaku mengatakan,
pembentukan majelis tersebut semata-mata untuk menjalankan Syariat Islam di
Aceh secara sempurna, sebagaimana dijanjikan Jepang sebelum mendarat di Aceh.
Selanjutnya Jepang juga membentuk
mahkamah agama yang dinamai syukyo hoin. Lembaga
ini merupakan pengadilan agama yang mulai beroperasi pada 1 Januari 1944.
Jepang menyebutnya pembentukan lembaga peradilan itu sebagai hadiah Pemerintah
Jepang pada ulang tahun kedua pendaratan di Aceh.
Selain itu, Jepang juga mengangkat
seorang ulama, Teungku Ismail Yakub sebagai pemeriksa sekolah agama seluruh
Aceh atau Shu-shu Kyo – Gakku Shigakku yang
bertugas mengadakan pengawasan atas pendidikan agama.
Dalam bidang pemerintahan, sebelumnya
pada tanggal 8 November 1943 Jepang membentuk Badan Perwakilan di Sumetara
(Sumatera Seiji Sanyo). Kemudian pada 17 Mei 1944 dikeluarkanlah peraturan oleh
Residen Aceh mengenai pembentukan Aceh
Syu Sangi Kai yakni Majelis Perwakilan Rakyat Daerah Aceh. Namun majelis
ini hanya dijadikan sebagai badan penasehat yang hanya bersidang dua kali dalam
setahun untuk memberikan pertimbangan mengenai kebijaksanaan menjalankan pemerintahan yang akan
dikemukakan dalam sidang oleh Residen Jepang.
Jepang kemudian mengalami
kesulitan-kesulitan, bahan makanan menipis. Hingga kemudian mengeluarkan
peraturan setiap petani diharuskan menjual hasil pertaniannya pada suatu badan
yang dibentuk khusus untuk mengatur bahan makanan. Rakyat juga mulai diwajibkan
untuk masuk menjadi “tentara rakyat” untuk melawan sekutu.
|
Pendaratan tentara Jepang |
Kewajiban-kewajiban yang memaksa
seperti itu kemudian menimbulkan kebencian masyarakatan Aceh terhadap Jepang.
Masyarakat Aceh menganggap Belanda dan Jepang sama saja, seperti babi dan
anjing. Hal ini diungkapkan dalam istilah let
bui peutamong asei (mengusir babi membawa masuk anjing).
Perlawanan terhadap Jepang pun
digelorakan di setiap daerah. Zulfan dalam buku Kiprah Pedagang Pribumi Pada Mada Revolusi Kemerdekaan di Aceh mengungkapkan,
selama pendudukan Jepang di Aceh terjadi kehancuran dalam struktur ekonomi yang
sudah terbentuk sebelumnya, terutama dalam bidang perdagangan dan pertanian.
Pegawai-pegawai Eropa yang pada masa
Pemerintahan Kolonial Belanda berkerja sebagai penggerak berbagai perusahaan di
Aceh, pada masa pendudukan Jepang menjadi tahanan. Akibatnya, kegiatan
perusahaan tambang minyak bumi dan perkebunan terhenti.
Pada masa pendudukan di Aceh, Jepang
berkeinginan untuk meningkatkan kehidupan perekonomian di Aceh dengan
membentuk Atjeh Shu Seityo selaku kepala urusan ekonomi dan lalu lintas
daerah Aceh. Lembaga ini dipimpin oleh S
Mashubuti. Namun rencana yang disusun
lembaga ini untuk menciptakan swasembada pangan di Aceh tidak berhasil. Rakyat
Aceh semakin marah kepada Jepang ketika diberlakukan kerja rodi (kerja paksa)
untuk membangun benteng-benteng pertahanan militer.
Pengerahan rakyat terutama petani
untuk kerja rodi membuat pertanian sektor di Aceh anjlok. Hal itu diperparah
lagi dengan dibentuknya badan Shukai oleh
pemerintah Jepang untuk membeli dan mengutip padi dari sisa produksi petani
untuk keperluan logistik militer.
Pembentukan Shukai ini diperkuat dengan
peraturan Panglima Militer Jepang di Suamtera (Sumatera Homensaiko Shikikan) tanggal 25 Februari 1944 nomor 55.
Peraturan ini menetapkan bahwa mereka yang enggan menyerahkan produksi padi
kepada pemerintah Jepang diancam dengan
hukuman seumur hidup atau hukuman sementara setinggi-tingginya 20 tahun, atau
denda sebanyak f.200.000. Sebagai pelaksana peraturan ini di Aceh ditunjuk
perusahaan Jepang yang bernama Mitshubishi
Shosen Kabu Shikikaisha. Hal-hal seperti itu kemudian membuat perlawanan
rakyat Aceh terhadap Jepang tidak dapat dibendung.[Iskandar Norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Janji Jepang dan Syariat Islam di Aceh"
Post a Comment