Tangkaplah seekor lebah, dan pelajarilah batasan kebaikan hati
Iri hati merupakan sifat kebanyakan manusia yang tidak senang pada kelebihan orang lain. Kali ini saya sadur sebuah cerita dari A Treasury of Jewish Folklore, Nathan Ausubel (1948). Suatu ketika dalam masa yang tak tercatat almanak dan tak teriwayat sejarah, seorang wanita miskin berdiri di pasar menjual keju. Seekor kecing hitam datang mengambil sepotong kejunya. Dengan susah payah kecing itu berhasil mencurinya, meski ia harus kena pukul dengan kayu akibat kenekatannya.
Namun kucing hitam itu menerimanya sebagai ganjaran perbuatannya. Si perempuan miskin itu pun dengan baik hati mengihklaskannya. Katanya dalam hati. “Biarlah kucing itu menikmati kejuku, karena aku telah memukulnya. Ia telah mendapat ganjaran yang setimpa dari perbuatannya.”
Seorang gelandangan yang kelaparan mengejar kucing hitam itu. Ia ingin mendapatkan keju di mulut kucing hitam yang belum sempat dimakannya. Peristiwa itu dilihat seekor kucing putih, ia mencakar si gelandangan hingga keju itu jatuh. Kucing putih mengambilnya. Si kucing hitam marah besar. Ia sudah capek berusaha memperoleh keju itu, namun dengan mudah diambil oleh kawannya itu. Akhirnya mereka pun meong-meong berteriak berdebat tentang keju itu, siapa yang berhak memakannya.
“Ayo kita temui si rubah, biar dia yang menjadi hakim dalam masalah kita ini?” usul kucing hitam. Kemudian kucing putih mengangguk tanda setuju. Keduanya melangkah menuju tempat si rubah. Kucing putih membawa keju itu ke hadapan si rubah.
“Dasar kucing bodoh,” kata si rubah mengawali persidangan.
“Mengapa kalian bertindak seperti itu, jika kalian bersedia, maka aku akan membagikan keju itu untuk kalian berdua,” lanjut si rubah.
“Setuju,” jawab kedua kucing itu.
Rubah mengeluarkan pisaunya dan membelah keju itu. Satu bagian dikasih ke kucing putih, yang lainnya ke kucing hitam. Ia sengaja memotongnya tidak seimbang.
“Bagianku lebih kecil,” protes kucing hitam.
Rubah yang berlaku sebagai hakim dalam persidangan itu, membetulkan letak kacamatanya, dengan bijak ia berkata.
"Karena aku sudah terlibat dalam masalah ini, maka ijinkan aku memotongnya kembali agar besar bagian kalian berdua sama,” katanya.
Tapi kali ini hakim rubah tidak memotongnya pakai pisau, melainkan dengan giginya. Setelah mengunyah dan menelan bagian keju yang dipotongnya. Ia berkata, “Sudah sama besarkan keju kalian sekarang?”
Ternyata keju itu belum sama besar juga. Kali ini bagian keju si kucing putih yang lebih kecil karena dimakan hakim rubah.
“Belum adil juga, kini bagianku lebih kecil,” kata kucing putih.
“Baiklah katanya, izinkan aku memotong bagian si hitam biar sama besar dengan milikmu kucing putih,”
Kali ini ia kembali memotong dan mengunyak keju itu, hasilnya belum juga sama besar. Rubah yang cerdik sebagai hakim sengaja menggigit keju tidak sama besar, agar ia bisa terus menggigitnya. Akhirnya keju itu pun habis.
Kedua kucing itu protes karena tak mendapat bagian dari keju yang mereka persengketakan di muka hakim rubah. Rubahlah sebagai hakim yang menikmati semua keju itu.
Tabiat kucing dan rubah itu, tak bedanya dengan manusia sekarang, selalu iri dengan apa yang didapatkan orang lain. Ketika itu dipersengketakan, akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa. Orang lain yang menikmatinyan. Karena itu, jangan pernah iri hati terhadap orang lain. Nikmatilah apa yang kamu dapatkan hari ini.
Sebaiknya rendah hatilah terhadap orang lain dengan apa yang kita punya. Sebagaimana tingkah wanita miskin yang merelakan kejunya diambil kucing, setelah ia memberinya hukuman satu pukulan. Menutup tulisan ini, saya kutip sebuah pribahasa sufi “Tangkaplah seekor lebah, dan pelajarilah batasan kebaikan hati.”[]
Belum ada tanggapan untuk "Pelajaran Iri Hati"
Post a Comment