Kekerasan atas nama agama sering terjadi. Aliran sesat seolah menjadi alasan pembenaran amuk massa. Tulisan ini tidak mengklaim siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi hanya menyoal akar kekerasan pada manusia, di manapun itu.
Filsuf sosial dan psikoanalisis, Eric Fromm dalam buku Akar Kekerasan yang berisi analisis sosiospikologis atas watak manusia mengungkapkan, pada diri manusia terdapat dua jenis agresi yang berbeda.
Yang pertama desakan untuk melawan atau melarikan diri. Agresi ini juga terdapat pada hewan yang telah terpogram secara filogenetis. Agresi semacam ini akan muncul dengan sendirinya ketika ia merasa terancam.
Agresi ini masih bersifat defensif untuk mempertahankan diri, yang hanya muncul bila ada ancaman terhadapnya. Agresi semacam ini juga sudah menjadi fitrah bagi manusia. Siapapun dia akan melawan bila adanya ancaman terhadap dirinya. Hal ini lebih sebagai upaya melindungi diri.
Sementara yang kedua adalah agresi jahat yang memunculkan kekejaman dan destruktifitas. Agresi ini juga sudah terpogram baik pada manusia maupun hewan secara filogenetik. Erich mengungkapkan, agresi ini selalu mengalami peningkatan pada peradaban manusia dari masa ke masa karena dorongan nafsu.
Hal ini juga diungkapkan sosiolog dan psikolog terkemuka Polandia, Zygmunt Bauman dalam tesisnya tentang tragedi holocaust, yang membantai enam juta kaum Ibrani oleh Nazi di Jerman. Ahli psikologi lainnya, Myer (1866) mendefenisikan agresi sebagai fenomena komplek yang terdiri dari sejumlah prilaku dari jenis yang lebih khusus, kekerasan salah satunya.
Bila merunut pada defenisi Myer tersebut, maka amuk masa dalam kasus aliran sesat sebagai bagian dari ungkapan kemarahan yang melahirkan kekerasan. Ia menyebutnya sebagai hostile aggresion. Tindakan seperti itu dianggap oleh Freud, psikolog lainnya dalam teori psikoanalisis klasiknya sebagai satu dari dua naluri dasar manusia yang dikendalikan oleh keegoannya.
Pertanyaannya, mengapa manusia tidak mampu menahan diri untuk meredam agresi jahatnya? Secara biologi, ahli genetika Lagerspetz (1979) menjawab hal ini dipicu oleh frustasi akibat terhambatnya pencapaian sesuatu tujuan, sehingga agresi muncul sebagai jawaban dari pelampiasan frustasi itu sendiri. Inilah yang terjadi pada beberapa kasus amuk massa memberantas aliran sesat di negeri ini.
Untuk menyelesaikan masalah ini, tentu dibutuhkan kesadaran para pihak untuk menekan agresinya. Membuang ego dan emosinya untuk kemudian duduk bersama membahas jalan keluarnya. Bila harus ada yang meminta maaf dan memaafkan, maka kedua pihak harus ihklas melakukannya.
Kita berharap kepada pihak kepolisian untuk bisa menyelesaikan setiap kasus amuk massa secara arif, hingga tidak menimbulkan kekerasan lainnya. Bagaimanapun, agresi massa harus diredam dengan penyelesaian yang berkeadilan bagi kedua belah pihak. Bila tidak, maka akan selamanya muncul agresi massa sebagai akibat dari kekecewaan dan frustasi terhadap hal tersebut. Apalagi isu agama masih menjadi persoalan yang paling mendasar dalam kemarahan warga.
Ia yang tidak pernah sembahyang sekalipun, ketika dihadapkan pada persoalan penodaan agama, semisal aliran sesat, maka akan melakukan tindakan yang bisa memunculkan kekerasan baru, karena kebanyakan masyarakat kita adalah penganut Islam yang fanatik.
Kepada kalangan ulama juga kita berharap untuk bisa meredam emosi massa. Dan menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah. Lebih dari itu, ulama harus memberi penyadaran dan pemahanam kepada warga tentang ajaran Islam yang sebenarnya melalui peningkatan iman, agar ketika ada ajaran-ajaran baru yang menyimpang, warga tidak akan terpengaruh. Semoga.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Agresi dan Kekerasan"
Post a Comment