Rabu, 25 Juni 2008, Pengadilan Negeri (PN) Bireuen memvonis bebas, Jafaruddin Bin Hasan alias Nektu, terdakwa kasus pembunuhan M Thaher, Sudah dan Rizki Nafiri. Polisi masih memburu tiga tersangka pembunuhan keluarga guru tersebut.
Sepeda motor Astrea Grand itu terus membelah malam, meninggalkan Desa Cot Teurom, Kecamatan Jeumpa menuju Desa Pulo Naleung, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen.
Adalah Ridwan M Thahir (44 tahun) bersama istrinya Saudah, serta dua anaknya, Rizki Nafitri (10) dan Munawir (4,5) yang Minggu malam, 7 Mei 2006 lalu itu mengendarai sepeda motor dengan nomor polisi BL 3118 KC tersebut.
Perjalanan sekitar lima kilo meter itu tampak sepi. Sekitar pukul 23.30 Wib, ketika mereka hampir sampai ke rumah. Tepatnya di areal pertambakan Neuheun Sirong, pria bersenjata parang menghadang mereka.
Pasangan suami istri yang sama-sama berprofesi sebagai guru itu pun tewas bersimbah darah bersama anaknya Rizki Nafitri. Sementara Munawir bocah yang masih duduk di taman kanak-kanak itu selamat. Ia hanya mengalami luka parah di kaki kirinya akibat sabetan parang.
Sebenarnya pada malam naas itu, mereka mau bermalam di rumah Badriah (62) yang menggelar acara kenduri sunujoh, yakni perhelatan tujuh hari meninggal anaknya di Desa Cot Tuerom Baroh. Tapi Munawir menangis minta pulang pada orang tuanya. Selain itu, karena tak membawa pakaian ganti, mereka pun mengiyakan ajakan anaknya itu untuk kembali.
Pihak kepolisian kemudian melakukan serangkaian pemeriksaan. Anehnya, meski mengaku sudah menemukan titik terang motif pembunuhan tersebut, polisi tidak bertindak. Alasannya, tak mau terjebak dalam skenario perlaku. Bila itu terjadi, maka kasus tersebut akan menjadi bumerang bagi polisi.
Sikap hati-hati pihak kepolisian tersebut, dilakukan karena sejak awal sudah adanya ketidakwajaran dalam kasus itu. Sebut saja saat pemeriksaan saksi. Para warga desa itu umumnya tidak mau menjadi saksi, meski memenuhi panggilan polisi. Itu pun setelah tiga kali dipanggil dan syarat agar tak seorang pun dari mereka yang ditahan. Kalau sampai sore hari para saksi belum pulang, maka akan dijemput oleh aparat desa.
Meski 17 orang saksi sudah diperiksa. Tapi mereka pada umumnya tetap memilih tutup mulut, mencari posisi aman dengan cara bungkam. Namun demikian, polisi tidak kehabisan akal. Dari beberapa saksi, berhasil diperoleh informasi awal tentang pembunuhan tersebut. “Itu pun setelah kita lakukan bargaining dengan para saksi tersebut. Tapi sayangnya mereka tidak bersedia menjadi saksi di pengadilan, sehingga kami belum bisa menangkap para pelakunya, meski identitas pelakunya sudah kita kantongi,” ungkap Kapolres Bireuen, yang kala itu dijabat AKBP Drs Yanto Tarah.
Pihak kepolisian hanya menyebutkan pelaku pembunuhan terhadap Ridwan Thaher, istri dan seorang anaknya, dilakukan bukan oleh personal, tapi kelompok yang cukup berpengaruh di Desa Pulo Naleung.
Motifnya, dendam pribadi dari pihak keluarga korban sendiri. Karena itu pula, warga Pulo Naleung tidak berani menentangnya. Bahkan warga diintimidasi untuk memihak kepada kelompok tersebut.
Ironisnya, para pelaku pembunuhan itu merasa tidak bersalah dengan perbuatannya. Mereka tidak bersembunyi, apalagi melarikan diri. Sebaliknya masih berkeliaran di desa itu. Mereka menganggap, pembunuhan itu seolah-olah keinginan warga setempat.
Bahkan ada beberapa oknum warga yang berani menghalang-halangi keluarga korban ketika hendak mengambil barang-barang milik korban di rumahnya sendiri. Padahal keluarga korban waktu itu ditemani aparat kepolisian.
Pasca pembantaian itu kondisi desa Pulo Naleung sangat mencekam. Warga tidak berani keluar dari desanya, kecuali ada keperluan yang mendesak. Orang- orang luar pun yang ingin masuk atau melintasi desa tersebut akan dicurigai dan dimata-matai oleh oknum – oknum tertentu.
Para wartawan yang ingin melakukan investigasi ke sana harus mengurungkan niatnya, karena memikirkan keselamatan. Pernah reporter salah satu stasiun televisi swasta yang nekad masuk ke Pulo Naleung untuk melakukan liputan tanpa pengawalan polisi, harus lari terbirit-birit dikejar oknum warga desa tersebut.
Dalam amatan praktisi hukum di Bireuen, M. Ali Ahmad SH, keadaan yang demikian sengaja dikondisikan sedemikian rupa oleh para pelaku ataupun konco-konconya. Untuk menebarkan rasa ketakutan kepada warga agar tidak bersedia memberi keterangan kepada polisi tentang siapa pelaku yang sebenarnya.
Kemungkinan yang lain menurut Ali Ahmad, para warga memang kebanyakan berpihak kepada pelaku, dan almarhum Ridwan diposisikan seolah-olah sebagai musuh bersama. “Ya, katakanlah almarhum Ridwan itu musuh mereka, tetapi kenapa ikut juga dibunuh istri dan anak-anaknya yang tidak berdosa. Ini sungguh tidak rasional, “ kata Ali Ahmad.
Mantan Panglima GAM Wilayah Batee Iliek, Tgk Darwis Jeunib sangat mendukung upaya polisi untuk mengusut sampai tuntas kasus pembunuhan itu. Kata Darwis kala itu, polisi tidak boleh ragu-ragu dalam mengungkap tragedi kemanusiaan ini, sekalipun pelakunya anggota GAM. “Tidak ada urusan apa mereka GAM atau bukan. Itu kasus kriminal murni, kami tidak berhak melindunginya walaupun mereka anggota kami, “ kata Darwis.
Untuk membantu polisi, sebut Darwis, pihaknya telah menurunkan sebuah tim yang berjumlah lima orang untuk melakukan investigasi ke Pulo Naleung. “ Kalau kedapatan pelakunya akan diserahkan kepada polisi untuk diproses sesuai hukum yang berlaku,“ lanjut Darwis ketika menghadiri Maulid Akbar di Masjid Agung Bireuen, Senin, 5 juni 2006 lalu.
Pelaku Berjumlah Empat Orang
Munawir, bocah yang selamat dari pembantaian itu mengatakan melihat pelaku yang membacok ayah, ibu dan kakaknya. Mereka berjumlah empat orang. Namun ia tidak mengenal mereka karena keempatnya memakai penutup wajah. “Setelah memukul mereka melempar ayah, ibu dan kakak ke tambak,” ungkapnya.
Rohani (68 tahun) ibu kandung Ridwan, sehari setelah tragedi memilukan itu mengatakan, ia selalu gelisah beberapa hari sebelum peristiwa itu. “Sampai malam kejadian itu saya masih gelisah,” ungkapnya.
Malam itu ia benar-benar tidak bisa tidur. Dari kediamannya di Desa Geudong-geudong, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Rohani pukul 02.00 dini hari dijemput oleh salah seorang anggota keluarganya dan di bawa ke rumah sakit. “Di situlah saya melihat anak saya Ridwan beserta istri dan anaknya telah menjadi korban pembantaian. Saya tidak sanggup melihatnya, hanya bisa menangis dan berdoa,” jelasnya.
Melihat tubuh Ridwan yang penuh luka bacok, Rohani jadi trauma melihat parang. Setiap melihat benda tajam itu, ia langsung terbayang tubuh anaknya yang penuh luka bacokan.
Rohani berharap polisi bisa mengungkap kasus itu dan menangkap para pelakunya. Ia juga berharap bisa melihat wajah pelaku pembantai anak, menantu dan cucunya itu.
Dengan melihat wajah si pembunuh ia mengatakan mungkin bisa terlepas dari bayang-bayang tubuh anaknya yang penuh bacokan parang itu. “Saya ingin melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana wajah pelaku pembantai keluarga saya itu. Saya ingin melihat orang-orang yang sampai setega itu memperlakukan orang-orang yang saya kasihi,” kata Rohani dengan nada datar.
Wanita tua itu tak dapat menahan air matanya. Seketika ia menunduk seolah mencoba menahan kesedihannya. Sesaat kemudian ia mengangkan kembali wajahnya dengan tatapan kosong. “Kalau bisa mereka juga harus dihukum matai,” pintanya, ia benar-benar tak bisa menahan tangis. Dengan jari telunjuk kanan ia menghapus air mata.
Bukan hanya Rohani, perasaan yang sama juga dialami Badriah, baginya Ridwan bukan hanya keponakan, tapi telah jadi anak angkatnya sejak berusia tiga tahun. Ridwan juga menggagap Badriah sebagai ibunya. “Ia lebih dekat dengan saya ketimbang dengan ibu kandungnya,” jelas badriah.
Hubungan emosional itu tetap terbina walau Ridwan telah berkeluarga dan punya anak. Dia selalu menyempatkan diri mengunjungi makciknya itu, minimal seminggu sekali. Malah tak jarang dia sengaja memboyong istri beserta anak-anaknya untuk menginap bersama di rumah Badriah. Tempat dia dibesarkan dulu.
Wanita tua itu tahu betul sifat dan kepribadian Ridwan. “Dia orangnya sangat ringan tangan suka menolong siapa saja. Apa itu dalam bentuk materi ataupun bantuan tenaganya. “Dalam pergaulan juga tidak pandang – pandang orang. Boleh dikatakan dia hampir tidak punya musuh. Makanya saya heran, kenapa ada orang setega dan sekejam itu berbuat pada dia dan keluarganya,” tutur Badriah dengan berlinang air mata.
Hal senada juga diungkapkan sepupunya Ridwan, Zakaria Abdullah. Katanya, almarhum semasa hidupnya, merupakan sosok yang disegani dan dituakan dalam keluarga. Mungkin karena Ridwan salah seorang anggota keluarga yang berpendidikan tinggi. Pun begitu tidak ada kesan kaku dalam kesehariannya di tengah-tengah keluarga.
Kata Zakaria, Ridwan sering bercanda ria dengan mereka kalau kebetulan dia ke Cot Tarom. Malah dia sesekali dengan bercanda sering meminta uang recehan pada kami. Kami juga sering melakukan hal yang sama kalau kebetulan tidak punya uang.
Namun Zakaria melihat ada keganjilan lain pada diri Ridwan. Beberapa hari sebelum tragedi itu Ridwan sering terlihat murung. Tapi alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) AR-Raniry Banda Aceh ini tidak pernah mengungkapkan ada permasalahan apa yang sedang dihadapinya.
Ridwan hanya pernah mengungkapkan satu keinginannya kepada Zakaria. Ia ingin membangun rumah di desa tempat dia dibesarkan, Cot Tarom Baroh. “Ya, Cuma itu yang ada dia kemuakan pada saya. Saya agak heran juga, karena dulu saya sudah menyarankan agar dia tinggal saja di Cot Tarom. Tapi waktu itu dia tidak mau, katanya jauh dari tempat mereka mengajar,” ungkap Zakaria.
Setelah tragedi itu Zakaria baru mengerti, bahwa maksud Ridwan membangun rumah di Cot Tarom, adalah kematian yang akan menjemputnya. Ia pun dimakamkan di desa tersebut. Sehari setelah pemakaman, Hanafiah, kawan dekat Ridwan mengalami kerasukan arwah Ridwan. Bahkan sampai beberapa hari kemudian dia masih terbaring lemah akibat kerasukan itu.
Baik Zakaria maupun Badriah hanya bisa meratap kematian orang yang sangat disayangnya itu bersama keluarganya menghadap Sang Khalik. Ada suatu keputusan batin, karena sebelum dikuburkan, terlebih dahulu disemayamkan di rumah mereka, tempat dulu Ridwan dibesarkan.
Kini hanya tinggal Munawir, sebagai pengganti sekaligus pengobat rindu mereka pada bapak, ibu dan kakaknya, Rizki Nafitri. Bocah tak berdosa itu, satu-satunya saksi hidup yang masih tersisa.
Kepala Polisi Resor (Kapolres) Bireuen—saat itu dijabat—AKBP Drs Yanto Tarah, mengatakan, kasus tersebut merupakan tantangan bagi pihaknya. “Menurut perkiraan kami pelakunya lebih satu orang,” kata Tarah.
Di Tempat Kejadian Perkara (TKP) polisi menemukan Barang Bukti (BB) berupa dua bilah parang. Sebilah parang masih utuh, sementara satunya lagi tinggal gagang. Di TKP polisi juga menemukan shebu (penutup wajah), kain batik, dan sandal jepit ukuran kaki orang dewasa, serta sepeda motor korban.
Beberapa hari setelah kejadian, Tarah mengatakan pihaknya sudah menemukan titik perang pelaku pembantaian tersebut. “Sudah ada tiga informasi yang mengarah ke beberapa orang, tapi belum bisa dipublikasikan supaya jangan mengganggu penyelidikan,” kata Tarah.
Tarah menduga motif pembunuhan itu terkait persoalan dendam sesama keluarnya. Polisi mencurigai pelakunya lebih dari satu orang. Kemungkinan Ridwan dan keluarganya yang jadi korban pembunuhan itu merupakan korban salah sasaran. “Pelakunya masih berkeliaran di Desa Pulo Naleung,” tegas Tarah.
Selain itu kata Tarah, polisi mengalami kendala dalam mengusut kasus itu. Pasalnya, terkait kasus itu masyarakat Desa Pulo Naleung sangat tertutup dan kurang komunikatif dengan polisi. “Warga seperti ditekan pihak tertentu,” ungkapnya.
Akibatnya, meski sudah mengantongi nama pelaku, polisi sangat kesulitan menangkap mereka.. Para pelaku waktu itu juga tidak melarikan diri, mereka tetap masih berkeliaran di Desa Pulo Naleung, yakni Tempat Kejadian Perkara (TKP). “Kami tidak mau menangkap mereka secara terburu-buru, sebelum ada saksi dan bukti-bukti yang cukup kuat. Apalagi para saksi tidak ada yang berani bersaksi nantinya di Pengadilan. Bisa-bisa kami dipraperadilankan,” jelas Tarah.
Kasus itu pun kemudian seperti mengambang. Malah sampai Kapolres Bireuen AKBP Drs Yanto Tarah digantikan AKBP Suwono Rubianto SH, kasus itu belum juga mencapai titik terang. Malah, banyak pihak menduga kasus tersebut sudah dihentikan penyidikannya. Pasalnya, sampai Suwono Rubianto tak lagi menjabat kasus itu belum juga terungkap.
Satu Ditangkap Tiga Buron
Jabatan Kapolres Bireuen pun kemudian diserahterimakan dari AKBP Suwono Rubianto kepada AKBP T Saladin SH. Sebagai Kapolres baru, Saladin pun membuka kembali file kasus tersebut. Satu tersangka kemudian ditangkap pada bulan Oktober 2007.
Namun polisi merahasiakan penangkapan tersebut. “Karena ada pertimbangan tertentu kami tidak bisa memberikan keterangan kepada media. Kami tunggu waktu yang tepat baru bisa diekspos.
Identitas tersangka pelaku pembunuhan itu baru terbuka ketika kasus tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Bireuen. Adalah Jafaruddin Bin Hasan alias Nek Tu (38 tahun) yang ditengarai sebagai salah seorang pelaku pembunuhan itu. Ia pun diancam dengan pasal berlapis. Namun melalui kuasa hukumnya ia menolak semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sidang perdana kasus itu pun digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bireuen pada 19 Februari 2008. Sidang itu dipimpin Mochammad Mukhlis SH sebagai hakim ketua serta Yusmadi SH dan Aris Fitrawijaya SH sebagai hakim anggota. Agendanya, pembacaan dakwaan terhadap tersangka oleh JPU Erwin Nasutioan SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen.
JPU Erwin Nasution dalam surat dakwaan bernomor register perkara : PDM-06/BIR/01/2008, tanggal 30 Januari 2008 menyebutkan, Jafaruddin bin Hasan alias Nek Tu, melakukan pembunuhan itu bersama tiga rekannya AR bin AB, Fz bin AL, dan HM, ketiganya sampai kini masih dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO).
Kata Erwin, pada hari Minggu, 7 Mei 2006, sekitar pukul 23.00 WIB, bertempat di Jalan Desa Pulo Naleung, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, dengan sengaja atau dengan direncanakan terlebih dahulu telah menghilangkan jiwa orang lain.
Kronologis kejadian, menurut Erwin, waktu itu terdakwa datang bersama temannya, yakni AR bin AB ke gubuk Hasmuni bin Ahmad, yang terletak di pinggir tambak desa tersebut. Mereka berencana akan menghabisi nyawa korban, Ridwan Taher. Karena semasa Darurat Militer dia dituduh oleh terdakwa dan teman-temannya, yaitu AR bin AB, FZ bin AL dan HM, sebagai cuak (mata-mata) Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah terdakwa dan AR bin AB sampai di gubuk tambak milik Hasmuni bin Ahmad, dengan membawa parang dan sebo (penutup muka), kemudian terdakwa berbincang-bincang sebentar. Selanjutnya terdakwa menghubungi FZ bin AL dan HM
Tak lama kemudian keduanya sampai di gubuk dekat tambak milik Hasmuni tadi. Tujuan mereka untuk menunggu korban Ridwan bin Taher, yangt saat itu sedang menghadiri acara seunujoh (kenduri hari ke tujuh) meninggal seorang familinya di Desa Cot Tarom Baroh, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.
Sekitar pukul 22.30 WIB, korban Ridwan bin Taher bersama isterinya, Saudah, serta anaknya Rizki Ratna Dewi dan Munawir, pulang ke rumahnya di Desa Pulo Naleung, setelah menghadiri acara kenduri tadi. Korban mengendarai sepeda motor Honda Astrea 800 warna merah, dengan nomor polisi BL 3118 KC.
Sampainya di kawasan pertambakan di Desa Pulo Naleung, terdakwa bersama teman-temannya langsung menabrak korban. Hal tersebut membuat Ridwan bersama istri dan anak-anaknya terjatuh.
Kemudian terdakwa bersama teman-temannya membacok dengan sebilah parang ke tubuh Ridwan, istrinya, Saudah, serta kedua anaknya, Rizki Ratna Dewi dan saksi korban, Munawir. Saudah sempat menjerit meminta tolong dan kedua anaknya menangis. Namun terdakwa bersama teman-temannya tetap melakukan pembacokan terhadap para korban.
Teriakan minta tolong tadi didengar oleh saksi Kd bin Mw, Fn bin Z dan AS. Kemudian mereka mendekati TKP. Akan tetapi sebelum ketiganya sampai ke sana , terdakwa bersama AR bin AB melarang mereka dengan mengatakan, “Hoi-hoi jangan kemari, jangan campur urusan, pulang kamu ke sana .”
Setelah terdakwa bersama teman-temannya merasa yakin para korban semuanya telah meninggal dunia, mereka mencampakkan saksi korban, Munawir, ke dalam tambak di pinggir jalan.
Akibat pembacokan tadi, Ridwan, Saudah, dan Rizki Ratna Dewi, mengalami luka bacok di sekeliling badan dan pada bagian kepala yang cukup parah, sehingga ketiganya meninggal dunia. Sedangkan Munawir selamat dalam tragedi pembantaiain tersebut. Dia hanya mengalami luka bacokan di bagian kaki sebelah kiri.
Menurut JPU Erwin Nasution dalam surat dakwaannya itu, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggara Pasal 340 Junto Pasal 55 ayat (10 ke-1 KUHP. Dengan dakwaan subsidair terhadap terdakwa bersama teman-temannya sebagaimana dalam dakwaan primair, dengan sengaja telah menghilangkan jiwa orang lain.
Terdakwa juga didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Di samping itu dalam dakwaan kedua primair, JPU juga menjerat terdakwa dengan ancaman pidana/melanggar Pasal 353 ayat (2) junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ditambah lagi dengan dakwaan subsidair dengan ancaman pidana/melanggar pasal 353 ayat (1) junto pasal 55 ayat (1) KUHP.
Terdakwa Membantah Semua Tuduhan
Sidang kedua digelar pada Selasa, 26 Februari 2008. Agendanya, pembacaan eksepsi dari penasehat hukum terdakwa. Hari itu Nek Tu hadir di persidangan dengan mengenakan celana krem dipadu dengan kemeja putih yang dilapisi baju koko biru muda, serta memakai peci putih berles hitam.
Dia didampingi penasehat hukumnya, AM. Su’idan, SH dan Azwar, SH, dari Law Firm AM. Su’idan SH & Associates. Majelis hakim yang sama sebagaimana persidangan terdahulu, memberikan kesempatan kepada penasehat hukum terdakwa untuk menyampaikan eksepsi terhadap dakwaan JPU.
Eksepsi setebal 10 halaman tersebut dibacakan secara bergiliran oleh penasehat hukum terdakwa, AM. Su’idan, SH, dan Azwar, SH. Dalam eksepsinya, mereka mempermasalahkan tentang kekurang-cermatan JPU dalam menyusun surat dakwaan.
Ketidakcermaran itu diantaranya,, kesalahan penulisan nama salah seorang korban. Ada yang disebutkan Ridwan bin Taher, dan ada juga di bagian lain dari surat dakwaan tersebut ditulis Tarmizi bin Taher. “Tidak jelas siapa korban yang sebenarnya, Tarmizi bin Taher ataukah Ridwan bin Taher?” tanya AM. Su’idan dalam eksepsinya.
Disebutkan Su’idan, pihak JPU juga terkesan begitu tergesa-gesa dan emosional dalam mewujudkan keinginannya untuk menjerat terdakwa. Terutama dakwaan dibuat bersusun dan berlapis dan memasang pasal-pasal yang ancaman hukumannya mengerikan. “Tapi dibalik keinginan yang menggebu-gebu itu, tidak didasari fakta yang cukup untuk itu,” tegas Su’idan.
Dalam kesempatan tersebut, penasehat hukum terdakwa juga menyinggung kembali tanggapan dari terdakwa sendiri dalam menanggapi dakwaan JPU sewaktu persidangan terdahulu. Saat itu terdakwa dengan tegas menolak semua dakwaan yang diajukan kepadanya. Dengan mengatakan, semua itu tidak benar dan dalam pemeriksaan di hadapan penyidik terdahulu, terdakwa juga telah memberi keterangan sebagaimana adanya.
Dia hanya tahu peristiwa tersebut dari berita-berita yang dikabarkan orang lain dan hal tersebut jauh setelah kejadian itu terjadi. Selanjutnya terdakwa juga mengatakan, setelah perdamaian damai antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani pada 15 Agustus 2005 lalu, ia tidak pulang ke kampungnya di Pulo Naleung. Tapi waktu itu masih bermukim di Desa Darul Aman. Makanya, petani tambak itu membantah ia terkait atau terlibat dalam pembunuhan guru sekeluarga itu.
Dari uraian eksepsi tersebut, penasehat hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim agar membebaskan terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskannya dari segala tuntutan hukum. Selain itu, mengembalikan harkat dan martabat terdakwa.
Terdakwa Divonis Bebas
Terdakwa kasus pembunuhan satu keluarga di Desa Pulo Naleung kecamatan Peusangan kabupaten Bireuen, Jafaruddin Bin Hasan alias Nek Tu akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Bireuen. Sementara tiga pelaku lainnya hingga kini masih buron.
Ruang sidang pengadilan Negeri Bireuen, Rabu siang 25 Juni 2008, tampak ramai dipenuhi bwarga. Ada lelaki dan perempuan serta sejumlah aparat kepolisian di dalam ruangan tersebut. Di sebuah kursi yang terletak ditengah-tengah ruang sidang itu duduk seorang lelaki.
Semua pengunjung yang hadir menanti apa putusan yang akan diambil oleh majelis hakim siang itu. Sidang siang itu memang terlihat lebih ramai, hari itu merupakan sidang terakhir untuk mendengarkan keputusan majelis hakim.
Sidang yang dipimpin oleh Hakim ketua Majelis, Mochammad Muchlis,SH dan didampingi dua hakim anggota yaitu Yusmadi, SH dan Aris Fitria Wijaya, SH yang dibantu Panitera pengganti Hadi Boediman. Persidangan yang dihadiri Samil Fuadi SH, selaku Jaksa Penuntut Umum dan turut dihadiri penasehat hukum terdakwa, AM. Su’idan SH.
Dalam persidangan tersebut, terdakwa Jafaruddin bin Hasan alias Nek Tu mengenakan pakaian krem dan peci hitam. Lelaki kelahiran desa Pulo Naleung tahun 1969 ini hari akan mendengarkan vonis hakim atas dakwaan pembunuhan terhadapnya.
Ia tampak tertunduk lesu di kursi pesakitan sambil menyimak bari per baris putusan yang dibacakan majelis hakim. Dalam Kutipan putusan Nomor. 32/Pid.B/2008/PN-Bir itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bireuen menyatakan terdakwa Jafaruddin Bin Hasan Alias Nek Tu, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu primair, subsidair, lebih subsidair dan dakwaan kedua primair Jaksa Penuntut Umum.
Karena itu, pengadilan membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan kesatu primair, subsidair, lebih subsidair dan dakwaan kedua primair, subsidair tersebut. Memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari dalam Rumah Tahanan Negara.
Selanjutnya memulihkan hal terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Menetapkan agar barang bukti berupa satu bilah parang tanpa gagang, dua buah gagang parang, satu buah sebo penutup muka, satu buah helm hitam pecah atasnya, satu helai kain batik, sandal jepit Swallow orange sebelah kiri serta sandal jepit anak-anak warna putih dan abu-abu sebelah kanan, tetap terlampir dalam berkas perkara.
Sementara satu unit sepeda motor Honda Astrea warna merah dengan Nomor polisi BL 3118 KC, dikembalikan kepada Ahli waris almarhum Ridwan Bin Taher. Membebankan biaya perkara ini kepada negara.
Menanggapi putusan Majelis Hakim tersebut, penasehat hukum terdakwa, AM. Su’idan, SH menyatakan hal itu telah sesuai dengan harapan mereka, karena terdakwa memang tidak terbukti melakukan pembunuhan tersebut. Sementara itu Jaksa Penuntut Umum masih menyatakan pikir-pikir. Berdasarkan ketentuan, jaksa mempunyai waktu 14 hari untuk mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Menurut Ketua Majelis Hakim Mochammad Muchlis SH, terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan karena tidak terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan tindakkan pidana sebagaiman dakwaan Jaksa. Hal itu didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di muka persidangan setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa.
Persidangan kasus tragedi Pulo Naleung yang berlangsung selama lima bulan. Sejak sidang perdana kasus pembunuhan tersebut digelar pada Selasa, 19 Febrauri 2008 sampai sidang pembacaan tuntutan Rabu, 25 Juni 2008, persidangan telah mendengarkan keterangan dari empat belas orang saksi, di mana empat orang di antaranya adalah saksi yang meringankan.
Menurut Muchlis, dari pemeriksaan saksi di persidangannya, tidak ada satu saksi pun yang dapat menerangkan dan memastikan kalau terdakwalah pelaku pembunuhan tersebut. “Saksi-saksi yang ditanyai di persidangan tidak bisa memastikan dan benar- benar yakin apakah Nek Tu pelaku pembunuhan.
Lagi pula saat kejadian tersebut kondisinya gelap. Saksi lainnya yang katanya mendengar suara orang yang menyuruh dia pergi dan tidak ikut campur juga tidak yakin kalau suara yang dia dengar malam itu suara Nek Tu,” ungkap Muchlis, yang juga Ketua PN Bireuen.
Namun, kata Muchlis lagi justru yang terungkap dipersidangan berdasarkan keterangan saksi adanya tiga pelaku lain, yaitu Fauzi, Hendri dan Rauf. Lelaki asal Madura itu menambahkan, berdasarkan keterangan Munawir, bocah lelaki yang kini berusia enam tahun, satu-satunya korban yang selamat dalam tragedi di Pulo Naleung yang juga dihadirkan dalam persidangan juga tidak bisa memberikan keterangan yang jelas dan meyakinkan.
Munawir yang pada saat kejadian baru berumur empat tahun itu terlihat ragu-ragu saat memberikan kesaksiannya. Dia juga tidak bisa menerangkan dengan pasti kalau pelaku pembunuhan adalah Nek Tu. “Saat ditanya siapa yang dia lihat malam itu, Munawir menyebutkan ureueng rayeuk (orang tinggi besar-red),” ungkap Muchlis.
Selain itu, dari keterangan saksi A de charge (saksi yang meringankan), yang berjumlah empat orang, yaitu Ramli, Mawardi, Mursyid serta M. Saleh, yang kesemuanya merupakan warga Peusangan sSlatan, Bireuen membenarkan alibi terdakwa bahwa saat kejadian Nek Tu berada di Desa Darul Aman, Peusangan Selatan. Bahkan, kata Muchlis lagi, saksi M. Saleh menyebutkan kalau terdakwa pernah tinggal di rumahnya memelihara kambing.
Keputusan majelis hakim untuk membebaskan terdakwa, sebut Muchlis, dengan mempertimbangkan pasal 183 KUHP, yang menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.***
Belum ada tanggapan untuk "Tragedi Pulo Naleung"
Post a Comment