Kali ini saya mau mengibaratkan ruang kerja sebagai sebuah negara. Ada presiden, para menteri, sampai jelata. Untuk melaksanakannya tentu ada seperangkat aturan main, lazimnya disebut undang-undang.
Aturan dibuat untuk menghukum pelanggar. Kita tidak perlu berdebat mana lebih duluan ada pelanggaran dengan aturan hukum. Itu sama saja dengan membincangkan mana yang lebih duluan ada antara telur dan ayam.
Karena adanya pelanggaran terhadap aturan itu, maka muncul istilah actus non facis reun nisi mensir rea, tiada terpidana tanpa kesalahan. Namun ironisnya, ketika kesalahan tanpa proses penghukuman. Dalam ranah hukum ini dikenal sebagai impunity.
Impunity berasal dari bahasa latin, impunitas yang bermakna kebebasan dari hukum atau hal yang terluput dari hukum. Impunity merupakan adik sedarah dari kata untouchable yang bermakna kebal hukum. Keduanya muncul karena adanya perlindungan di ketiak kekuasaan. Karena impunity dan ontuchable maka pelanggaran menjadi sesuatu yang biasa atas aturan yang ada.
Impunity merupakan rahim yang melahirkan anak emas yang disanjung dan dilindungi meski berlaku salah. Agar impunity dan untouchable tak mengganggu sistim, maka kerja sama dengan perlakuan sama harus dilakukan. Bukan sama-sama kerja untuk perlakuan yang tidak sama.
Bila tidak, maka akan ada terpidana tanpa kesalahan. Dan istilah actus non facis reun nisi mensir rea, tak akan bermakna apa-apa. Setiap kesalahan melahirkan terpidana, pertanyaannya, sudah arifkan kita mempidanakannya. Jangan-jangan impunitas dan untouchabel telah mempengaruhinya.
Untuk itu, kekuasaan harus dikembalikan pada jalurnya. Pada wajah yang tak bertopeng. Meski sejak zaman dahulu, kekuasaan selalu berwajah ganda, kata Prof, Dr Franz Magnis Suseno. Ada kalanya kekuasaan itu begitu memesona, tapi tak jarang juga sangat menakutkan. Itulah kekuasaan yang digagahi impunitas dan untouchable.
Sang profesor itu kemudian menambahkan, legitimasi kekuasaan tertinggi adalah legitimasi religius. Tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan Illahi.
Begitu legitimasi religius ini didobrak, maka muncullah pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan.
Selubung ghaib yang melindungi raja (baca: pemimpin) dari tuntutan pertangungjawaban pun tersobek, karena raja juga manusia biasa, maka raja pun akan berhadapan dengan hukum sebagaimana jelata. Sebagai jelata tentu kami berharap tanpa impunity dan untouchabel.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Impunity"
Post a Comment