Bagi wartawan media cetak, menulis merupakan suatu keharusan. Aneh bila jurnalis tidak menulis. Pertanyaanya, mengapa harus menulis? Klise jawabannya bila hanya untuk menuntaskan kewajiban terhadap media. Pun demikian inilah yang berlaku di sini sekarang.
Saya teringat pada tulisan George Orwel, katanya, ia melihat ada kesan seolah-olah menulis itu akibat dorongan keinginan mengabdi untuk kepentingan umum. Ia sendiri mengaku tidak ingin mendapat kesan seperti itu. Ia melanjutkan, ada juga yang menulis karena ingin dipuji, mementingkan diri sendiri, dan entah apa lagi.
Sementara penulis terkenal semisal Kahlil Gibran bermaksud menulis untuk merangkai namanya dengan huruf kapital yang tebal. Tujuan itu sudah didapat si jenius membara itu. Sampai kini tulisan-tulisannya masih jadi perbincangan.
Sambil ngopi kemarin, seorang wartawan berkata, dia menulis untuk mengejar setoran. Namun yang jadi masalah, tak ada di antara mereka yang berhasil menembus angka yang ditetapkan. Padahal hanya 45 berita per bulan.
Saya geleng-geleng kepala. Sidik punya sidik ternyata mereka masih berharap pada seremonial belaka, padahal pembobotan selalu dilakukan. Lalu saya berkata pada mereka, entah mengutip kata siapa, pikiran yang besar membicarakan ide-ide, pikiran yang rata-rata membicarakan kejadian-kejadian, lalu pikiran yang kerdil membicarakan orang-orang.
Lalu pada tingkat mana pikiran mereka, tanya saya. Tak ada yang menjawab. Saya pun teringat pada hikayat diam kemarin, entah pada tingkat mana diamnya itu. Entah diamnya Soekarno yang bermakna emas, entah diamnya Henry Wheeler Shaw yang bukan cara membuktikan kesalahan.
Salah satu di antara mereka kemudian berceloteh, katanya, ia menulis karena butuh makan. Tak ada yang bantah karena wartawan juga punya perut. Saya pun teringat pada entah kata siapa lagi, tuhan memberikan kepada setiap burung makanan, tapi tidak melempar makanan itu ke dalam sarangnya.
Banyak berita yang hilang hanya karena sibuk pada rutinitas, lalu lupa melihat fenomena dari beragam sisi pemberitaan. Akibatnya tentu daya tanggap jadi tumpul. Dan bila berita dikaitkan dengan uang dalam artian honor, maka uang pun hilang.
Orang yang kehilangan uang akan kehilangan banyak, yang kehilangan teman berati kehilangan lebih banyak, lebih dari itu, yang kehilangan keyakinan akan kehilangan semuanya. Lalu saya bertanya, masih yakinkah mereka terhadap profesinya? Lagi-lagi hanya diam yang muncul sebagai jawaban. Alamak.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Menulis"
Post a Comment