Sulthan Iskandar Muda bukan hanya membangun angkatan perang yang tangguh tapi juga memperbaiki diplomasi dan perdagangan dengan luar negeri. Sementara untuk efektivitas pemerintahan, ia melakukan reformasi segala lini.
Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam makalah seminar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kedua, Agustus 1972, Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah, mengungkapkan, pada masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda banyak perubahan yang dilakukan diantaranya memperbaiki diplomasi dan mengatur kelengkapan struktur pemerintahan, pengaturan zakat dan pajak, perbaikan sosial dan ekonomi. Semua itu terangkum dalam sebuah undang-undang dasar “Sarakata Poteu Meureuhom Meukuta Alam”. Tentang hal ini Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh menulis.
“...Undang-undang dasar ini lahir sebelum negera-negara di Asia Tenggara belum banyak mengenal kewajiban adanya suatu undang-undang dasar bagi pemerintahan. Bahkan ada kabar bahwa beberapa negara di Asia Tenggara mengambil undang-undang dasar Aceh itu sebagai contoh...”
Ketika Sultan Iskandar Muda menjabat sebagai raja Aceh (1607-1636), berbagai pembaharuan di bidang pemerintahan dilakukan. Menurut Prof Dr H Aboe Bakar Atjeh, dari sebuah catatan Rama Setia yakni Sekretaris Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek Al Djamalulail Atjeh disebutkan bahwa berbagai perubahan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda, seperti membuka keterisolasian daerah-daerah terpencil, dengan membangun jalan-jalan penghubung ke pusat pemerintahan. Membangun kantor-kantor pemerintahan dan madrasah-madrasah sebagai tempat pendidikan dan pelatihan bagi pegawai, hakim dan para tenaga ahli.
|
Makam Sulthan Iskandar Muda |
Selain itu juga dibangun sekolah-sekolah khusus di mesjid-mesjid. Dalam sistim pemerintahan Iskandar Muda menganut sistim raja tidak memerintah sendiri tapi bersama rakyat, dengan berbagai badan permusyawaratan. Sebagai lembaga hukum, dibentuk Balai Rung Sari, yang merupakan majelis tempat Ulee Balang Peut dan tujuh orang alim ulama terkemuka, dengan menteri-menteri kerajaan berunding dan mengambil suatu keputusan.
Kemudian ada juga Balai Gading, yakni tempat Ulee Balang Lapan dan tujuh alim ulama terkemuka, bersama para menteri-menteri urusan tertentu berunding untuk mengambil suatu keputusan. Ada juga Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yang merupakan dewan perwakilan rakyat, tempat 173 orang wakil rakyat, dan 73 wakil mukim, membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan persoalan keummatan lainnya.
Ada lagi Balai Majelis Askariah, yang mengurus keamanan dan pertahanan negara, yang di dalamnya termasuk menteri-menteri dalam bidang politik dan siasat. Dalam bidang pemerintahan, Sultan Iskandar Muda juga mengangkat para menteri yang dibagi dalam dua Kementerian, yakni Kementerian Kerajaan dan Kementerian Darul Amanah Rakyat.
Dalam Tazkirah Thabiyah Bustan Meukuta Alam, disebutkan bahwa, terobosan-terobosan lain yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda adalah membangun tempat mendidik Amirul Mal, Penghulu Bendahara, pegawai untuk menyimpan uang, perpustakaan-perpustakaan, kumpulan pengarang kitab, bengkel pembuat alat-alat perang dan senjata, peraturan, qanun negeri, undang-undang mengenai panglima perang, laskar (angkatan perang) tempat mereka berkumpul dan para petinggi kerajaan bekerja, mahkamah hukum perdata dan pidana, kantor-kantor kementerian, kantor Laksamana Laut Aceh, Amir Bahar, Madrasah untuk latihan perang. Sebagaimana di pusat kerajaan hal yang sama juga dibangun di daerah-daerah federasi Kerajaan Aceh.
Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda” menulis bahwa, kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh Sultan, dilambangkan dengan dua cara, yakni rencong dan cap. Tanpa rencong khusus dari kerajaan dan cap, tak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum. “Cara seperti itu sangatlah bagus untuk mengawasi pegawai, mencegah segala kemungkinan untuk merampas dan menyalahgunakan kekuasaan,” tulis Lombard.
Soal cap, pada abad XIX, para Sultan Aceh memakai cap khusus yang menggambarkan lingkaran tengah dengan nama raja yang sedang berkuasa, dikelilingi oleh nama delapan raja lain yang memerintah sebelumnya, cap ini dinamakan cap sikureung. Masih menurut Lombard, Rouffear, dalam sebuah tulisan De Hindoestaansche Oorsprong van het Negenvudig Sultanszegel van Atjeh, menjelaskan bahwa Cap Sikureung itu diukir oleh Maulana Maksud.
Cap sikureung baru dipakai setelah pemerintahan Sultan Ala ad-Din Riayat Syah, karena sebelumnya, pada Desember 1600 Sultan Ala ad-Din Riayat Syah pernah mengirim surat kepada Pangeran Maurits van Nassau pendiri Dinasti Orrange di Belanda. Dalam surat itu, disamping cap pangeran Maurits van Nassau, tertera cap sultan Aceh yang bersifat tunggal, bukan lingkaran sembilan, artinya hanya ada satu lingkaran dan satu nama, belum sembilan nama. Surat tersebut sampai sekarang masih tersimpan di arsip kerajaan Belanda di Den Haag.
Iskandar Muda menyusun struktur pemerintahan Kerajaan Aceh mulai dari kekuasaan sulthan di pusat kerajaan sampai ke tingkat gampong (desa). Dalam memperbaki susunan pemerintahan dalam Kerajaan Aceh, Sulthan Iskandar Muda banyak melakukan pembaharuan yang tidak dilakukan oleh raja-raja sebelumnya. Selain menyusun kabinet pemerintahan (menteri-menteri), Sulthan Iskandar Muda juga membentuk badan permusyawaratan rakyat, seperti Balairung Sari yaitu majelis tempat empat Uleebalang dan tujuh alim ulama terkemuka dengan menteri-menteri Kerajaan Aceh berunding dan mengambil suatu keputusan di Bandar Aceh Darussalam sebagai pusat kerajaan.
Juga dibentuk Balai Gading yaitu tempat delapan Uleebalang dan tujuh alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh berunding. Dibentuk juga satu badan umum Balai Perwakilan Rakyat yang dinamakan Balai Majelis Mahkamah Rakyat, tempat bermusyawarah wakil-wakil rakyat sebanyak 173 orang rakyat dan 73 wakil mukim.
Stuktur pemerintahan yang diperbaharui oleh Sulthan Iskandar Muda itu dilanjutkan oleh sulthan dan sulthanah selanjutnya. Keberadaan 73 wakil mukim sebagai wakil rakyat di Majelis Mahkamah Rakyat terus dipertahankan sebagai penyampai aspirasi rakyat di setiap mukim. Begitu juga ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sulthanah Safiatuddin, putri Sulthan Iskandar Muda.
[iskandar norman]
Belum ada tanggapan untuk "Reformasi Ala Sulthan Iskandar Muda"
Post a Comment