Pada masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda (1607-1636), Kerajaan Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaka. Periode inilah yang menjadi masa paling gemilang bagi kerajaan Aceh. Iskandar Muda menjadi raja Aceh yang paling populer dengan kegemilangannya itu.
Kepopuleran Sulthan Iskandar Muda terlihat dari gelar yang dipakai pada namanya, seperti dharma wangsa, perkasa alam, johan berdaulat. Kadang juga memakai gelar perkasa alam maharaja dharma wangsa tun pangkat. Kepopuleran Sulthan Iskandar Muda dengan kegemilangan pemerintahannya, tak lepas dari politik yang dimainkannya, baik politik dalam memimpin kerajaan, maupun politik luar negeri.
Drs Anas Machmud dalam makalah Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera pada seminar masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, September 1980 di Rantau Kuala Simpang mengungkapkan, salah satu politik luar negeri Sulthan Iskandar Muda yang sangat brilian adalah tidak terlalu bergantung pada Turki.
|
Pasukan Gajah di halaman Mesjid Raya |
Bagi Iskandar Muda, Turki terlalu jauh untuk menggantungkan diri. Meski demikian ia tetap menjaga hubungan baik dengan khalifah di negeri tersebut. Sebaliknya, Iskandar Muda menjalin kerja sama dengan musuh Portugis di Selat Malaka yakni Belanda dan Inggris. Ia mengikat perjanjian dengan dua negara tersebut.
Anas menjelaskan, hal itu dilakukan Sulthan Iskandar Muda sebagai politik penguasaan wilayah. Ia ingin menguasai seluruh pelabuhan di sekitar Selat Malaka dan terjaminnya kekuasaan Aceh di selat tersebut. Setelah itu ia akan menyerang Johor, kemudian baru menyerang Portugis dengan bantuan Belanda dan Inggris. Dengan politik yang dijalankannya, Sulthan Iskandar Muda juga ingin menguasai Pahang dan Patani di pantai timur semenanjung Malaka, karena kedua kota itu adalah pelabuhan yang mengekspor lada ke Tiongkok.
Untuk dapat mengontrol perdagangan lada di pesisir barat Sumatera, Sulthan Iskandar Muda mengirim penguasa-penguasa baru ke pelabuhan-pelabuhan di daerah tersebut. Sementara untuk memperluas kekuasaan di pesisir timur Sumatera, ia bersama pasukannya melakukan penaklukan.
Mula-mula ia menyerang Aru kemudian diteruskan ke Panai. Kerajaan kecil itu kemudian diawasi oleh panglima-panglima Aceh. Deli dan Asahan menjadi basis kekuasaan Aceh di Sumatera Timur. Kemudian Dohok dan Silau di daerah pedalaman Simalungun dijadikan batas dengan daerah pedalaman. Di Deli berkuasa keturunan Gocah Pahlawan, sedangkan di Asahan Sulthan Abdul Jalil.
Sementara itu menurut Ali Hasjmy dalam buku Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Sulthan Iskandar Muda melaksanakan lima taktik politik luar negeri untuk mengembangkan kekuasaannya. Lima taktik yang disebut Ali Hasjmy sebagai pogram politik luar negeri itu adalah:
Pertama, menguasai seluruh negeri dan pelabuhan sebelah menyebelah di Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu, sehingga tidak mungkin bisa diadudomba melalui devide et impera oleh pihak lain.
Kedua, menyerang Johor supaya tidak dapat lagi ditunggangi oleh Portugis dan Belanda. Ketiga, menyerang negeri-negeri di sebelah timur Malaka, sejauh yang merugikan perdagangan Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari lawan semisal Pahang,Patani dan lain-lain.
Keempat, menyerang Portugis dan menguasai Malaka. Kelima, menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh. Atau sekurang-kurangnya mengadakan yang sempurna sehingga kepentingan kerajaan Aceh tidak terganggu. Kelima program politik luar negeri itu dijalankan Sulthan Iskandar Muda untuk menghadapi bahaya agresi dari Portugis, Belanda dan Inggris.
Dalam menjalankan politik luar negeri, Sulthan Iskandar Muda memegang dua falsafah yakni, kemajuan suatu kerajaan bergatung pada kemajuan ekonominya, serta siapa yang kuat akan hidup dan yang lemah akan tenggelam.
Dengan berpedoman pada dua filsafat politiknya itu, Sulthan Iskandar Muda menjalankan diplomasi dengan beberapa negara asing, diantaranya:
1. Perjanjian antara Kerajaan Aceh dengan Belanda yang memberi hak kepada Belanda membuat “loji” di Aceh. Perjanjian ini ditandatangai pada 17 Januari 1607. Hal-hal yang merugikan ekonomi dan militer Kerajaan Aceh dibatalkan dalam perjanjian tersebut.
2. Kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka yang pro dan membantu Portugis ditaklukkan, dan rajanya serta pembesar-pembesar lainnya ditawan serta dibawa ke Aceh, seperti Raja Johor dan Tun Sri Lanang pengarang sejarah Melayu.
3. Setelah Raja Johor tidak lagi pro pada Portugis, dikembalikan ke negerinya untuk kembali menjadi raja. Bersamanya diberangkatkan pula 30 kapal berisi berbagai bahan dan alat untuk membangun kembali Negeri Johor.
4. Sulthan Iskandar Muda juga menolak permintaan Raja Inggris James I untuk mendirikan kantor dagang Inggris di Pariaman. Penolakan itu dilakukan melalui beberapa kali surat menyurat yang dibawakan oleh Ketua Delegasi Inggris Thomas Best.
[iskandar norman]
Belum ada tanggapan untuk "Politik Sulthan Iskandar Muda"
Post a Comment