Rumah panggung berkonstruksi kayu itu sepi. Hanya ada dua ayunan di balai samping tangga, dua lembar tikar tergeletak begitu saja. Sebuah ember penuh rendaman kain di sumur depan balai itu seakan memberi tahu rumah itu masih berpenghuni.
Empat kali salam tak ada sahutan. Pada kali ke lima, seorang perempuan berjilbab sambil membetulkan letak kain sarung di pinggannya tergopoh-gopoh keluar. “Teungku ada?” tanya saya sambil mempekenalkan diri.
Teungku yang saya maksud adalah Tgk Muhammad Arif, lelaki yang terlibat dalam dua pemberontakan di Aceh. Ia berulang kali masuk penjara. Saat ditangkap pada tahun 2003 lalu, jabatannya di struktur Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai Gubernur Wilayah Pidie.
Menariknya ia juga seorang Pegawai Negeri Sipil. Sembilan dari sepuluh anaknya juga pegawai, kecuali si bungsu yang masih menyelesaikan kuliah strata dua di salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh.
Minggu, 3 Agustus 2008, saya mengunjungi kediaman sang gubernur GAM itu di Desa Geulumpang Bungkok, Mukim Riwat, Kecamatan Glumpang Baroh, Kabupaten Pidie. Setelah sebelumnya sempat bertemu di Pengadilan Negeri (PN) Sigli saat ia divonis seumur hidup pada 18 Mei 2005 lalu atas keterlibatannya dalam pemberontakan GAM.
Pertemuan kedua berlangsung 15 Agustus 2005 di Lembaga Permasyarakatan (LP) Lamlo, Kabupaten Pidie. Melalui seorang aktivis perempuan yang juga dipenjarakan dalam LP tersebut, saya berkesempatan melakukan wawancara khusus ke dua kalinya dengan Tgk Muhammad Arif.
Namun, Minggu siang itu saya gagal menjumpai sang gubernur di kediamannya. “Bapak baru saja pergi ke tempat orang meninggal,” jelas perempuan tadi yang memperkenalkan diri dengan nama Rahimah, anak keenam Tgk Muhammad Arif.
Bagi saya, Tgk Muhammad Arif bukanlah pria kebanyakan. Dia pelaku sejarah dalam dua pemberontakan terhebat di Aceh. Di masa DI/TII menjabat sebagai staf Wakil Inspektorat (setingkat Wakapolres-red). Berlanjut ke dekade Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ia menjadi Gubernur Wilayah Pidie.
Karena kiprahnya itu pula, ia sering keluar masuk penjara. Pada tahun 1981, akibat keterlibatannya dalam GAM, ia divonis empat tahun penjara. Namun pria kelahiran Desa Simpang Aron, Kecamatan Geulumpang Baro, Kabupaten Pidie, 77 tahun lalu tersebut, tidak kapok.
Ia kembali naik gunung. Ia kemudian ditangkap Tentara Nasioan Indonesia (TNI) dalam sebuah operasi, 18 Mei 2005 lalu, ia pun divonis penjara seumur hidup. Tapi kembali bebas setelah adanya Memorandum of Understanding (MOU) kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan GAM di Helsinky, Firlandia.
Rahimah yang sendirian di rumah, pamit meninggalkan saya di balai. Ia bergegas mencari ibunya yang sedang menjemur padi di dekat sawah. Tak sampai lima menit ia kembali dengan ibunya. “Teugku jarang ada di rumah, meski sudah tua ia sangat suka jalan-jalan, maklum banyak kawan,” kata Hj Cut Rahmah, istri Tgk Muhammad Arif.
Hj Cut Rahmah, bukan wanita biasa. Sebagai istri gubernur GAM ia paham betul pada berbagai ancaman saat konflik. Lebih dari itu, di tengah kecamuk perang ia kadang menjadi single parent yang membesarkan ke sepuluh anaknya.
Karena itu pula, ketika turun gunung, Tgk Muhammad Arif bisa tersenyum. Wanita yang telah memberinya sepuluh anak itu, berhasil menyekolahkan ke sepuluh anaknya ke perguruan tinggi, malah Sembilan diantaranya telah menjadi pegawai negeri.
Rahimah misalnya, anak keenam, kini menjabat sebagai Kepala Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MiN) di desanya. Salah satu puta Tgk Muhammad Arif juga sedang menyelesaikan pendidikan strata tiga (S3) di Jakarta.
Status anaknay sebagai pegawai negeri sipil juga membawa berkah bagi Cut Rahmah, bukan saja soal materi, tapi juga saat Tentara Nasional Indonesia (TNI) menggelar operasi militer, ia tidak diganggu, padahal suaminya gubernur GAM.
Ia mengisahkan, saat Aceh berlaku status Darurat Militer (DM), hampir setiap hari tentara memeriksa rumahnya. Setelah diketahui ternyata anak-anak Tgk Muhammad Arif ternyata pegawai, mereka hanya diwajibkan melapor. “Sekali waktu tujuh truk tentara datang mencari suami saya, setelah memeriksa anak-anak ternyata pegawai, mereka pulang,” ungkap Cut Rahmah.
Sambil menyerumpun segelas teh, kami terus berbicara dib alai depan rumah. Hari itu Tgk Muhammad Arif ternyata benar-benar tidak pulang. “Setekah dari tempat orang meninggal, katanya dia mau ke pesantren. Meski sudah tua dia masih saja sanggup mengendarai sepeda motor kemana-mana,” jelas Cut Rahmah.
Saya kemudian bertanya pada Rahimah, tentang bapaknya yang naik turun gunung sebagai pemberontak, sementara dia bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Sambil tertawa wanita itu menjawab. “Itu keinginan bapak tak seorang pun bisa menahannya,” kata Rahimah.
Ia tak bisa melupakan bagaimana bapaknya dengan tenang pamit pada keluarga untuk kembali naik gunung sebagai pemberontak. Padahal Rahimah dan kakak serta abangnya berusaha untuk menahan kepergian ayahnya yang usianya sudah lebih setengah abat itu.
Kepada ayahnya itu Rahimah berkata. “Bapak jangan pergi kami semua sudah pegawai, kami sanggup menghidupi bapak. Di usia tua seharusnya bapak bisa hidup tenang, bukan malah bergerilya di hutan.”
Namun mereka tidak juga berhasil meluluhkan bapaknya. “Bapak bilang beliua pergi untuk agama, tak ada yang mampu menahannya,” kenang Rahimah. Dengan izin istri dan anak-anaknya, pada tahun 2003 itu, ketika Aceh diberlakukan darurat militer, Tgk Muhammad Arif kembali naik gunung sebagai pemberontak dengan jabatan Gubernur GAM wilayah Pidie. “Kami semua yakin, karena keihklasannya berjuang, bapak pasti selamat,” lanjut Rahimah.
Mendengar cerita Rahimah, saya kembali teringat pertemuan pertama dengan Tgk Muhammad Arif di Pengadian Negeri Sigli pada tahun 2005 lalu. Dalam wawancara khusus secara tertutup ia menceritakan kisah hidupnya. Pada masa pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) ia menjabat sebagai staf pada wakil inspektorat (setingkat Wakapolres-red).
Alasan pemberontakan itu menurutnya, karena Jakarta (baca: pusat) ingkar janji terhadap Aceh. Selain itu beredar kabar tokoh-tokoh Aceh akan dibunuh. Untuk menguji kesahihan pengakuan Tgk Muhammad Arif, saya pun kembali membolak-balik buku sejarah terkait pemberontakan DI/TII di Aceh itu.
Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotherdam, Belanda dalam buku DII/TII Sebuah Pergolakan menyebutkan, saat itu berdar dokumen les hitam Les hitam terhadap 300 tokoh Aceh, yang berencana dibunuh. Kalkulasi dari kekecewaan terhadap ingkar janjinya Presiden Republik Indonesia, Soekarno plus les hitam tadi, maka Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Tgk Daud Beureueh pun memberontak.
Van Dijk, menyebutkan. Kekecewaan Daud Beureueh semakin memuncak, ketika sebuah dokumen rahasia dari Jakarta yang disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tingi Sunarjo yang membawa dokumen itu ke Medan. Ada pula yang menyebutkan dokumen rahasia itu “warisan” dari kabinet Sukiman.
Isinya, Jakarta berencana membunuh 300 tokoh penting Aceh—ada juga yang menyebut 190 tokoh—melalui sebuah operasi trahasia. Yang disebut sebagai les hitam. Keputusan ini diambil setelah Jakarta memastikan bahwa Aceh akan menggelar sebuah pemberontakan. Tapi sampai kini tak ada yang bisa memastikan keberadaan dokumen tersebut.
Sejarawan Belanda lainnya, B.J.Boland, dalam bukunya “The Struggle of Islam in Modern Indonesia”, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah ada. “Desas-desus itu di embuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh,” tulisnya.
Secara tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung,” ulas Van Dijk.
Tapi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun daftar itu. Rumor tentang rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam di Aceh menemukan momentumnya. Aktivis Darul Islam langsung pasang kuda-kuda. Teungku Daud Beureueh, salah satu orang yang disasar oleh dokumen tersebut, segera mengacungkan kapak perang.
Masih dalam bukunya Van Djick, menurut M Nur El Ibrahimy, menantu Tgk Muhammad Daud Beureueh, les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daud Beureueh dan kawan-kawannya.
Setelah itu, sembilan tahun Daud Beureueh memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka kisah perlawanan Aceh pasca-era Kolonial dan memunculkan Daud Beureueh, tokoh besar yang sulit dilupakan sejarah.
Les hitam bukan satu-satunya alasan mengapa peristiwa itu ada. Membela Republik di masa perjuangan kemerdekaan, Daud Beureueh merasa dikhianati Sukarno. Divisi X TNI di Aceh dibubarkan dan pada 23 Januari 1951 status provinsi bagi Aceh dicabut. Ada yang menyebut kabinet Natsir yang melakukannya. Tapi ada yang berpendapat itu hasil kabinet sebelumnya. Apa pun, yang terang Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara.
Van Dijk menulis, dua hari setelah keputusan itu diambil, pemerintah Jakarta melantik Abdul Hakim menjadi Gubernur Sumatera Utara dengan Medan sebagai ibu kota pemerintahan. Beureueh, yang saat itu adalah gubernur jenderal yang meliputi kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, bahkan tak tahu perihal pengangkatan gubernur baru tersebut. “Semua surat yang dialamatkan ke residen koordinator dikembalikan ke Medan tanpa dibuka atas perintah Daud Beureueh,” tulis Van Dijk.
Selain itu, Aceh juga sudah lama merasa dipinggirkan penguasa Republik. Ekonomi rakyat tak diperhatikan, pendidikan morat-marit, dan Jakarta dalam pandangan Beureueh hanya sibuk bertikai dalam sistem politik parlementer. Dan yang terpenting, status otonomi khusus, yang memungkinkan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam tak kunjung dipenuhi Soekarno.
Dalam usahanya memberontak terhadap Jakarta, Daud Beureuh menjalin hubungan Kartosoewirjo, pemimpin DI/TII di Jawa Barat, yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu “membuka kata” untuk sebuah kongsi yang bersejarah itu.
Menurut sebuah dokumen rahasia yang belakangan terungkap, Beureueh dan orang kepercayaannya, Amir Husin al-Mujahid, pernah berunding dengan Karto di Bandung pada 13 Maret 1953. Utusan Karto, Mustafa Rasyid, pernah pula dikirim ke Aceh untuk membicarakan hal yang sama. Mustafa ditangkap tentara Indonesia ketika kembali ke Jawa pada Mei 1953.
Kemarahan Beureueh ini mendapat dukungan publik Aceh. Dalam kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)—lembaga yang dipimpin oleh Beureueh—di Langsa, April 1953, menggumpallah itikad melawan Jakarta. Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai “kafir yang akan merebut Aceh”. Sukarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama Hindu.
Puncaknya adalah maklumat perang yang ditulis Beureueh pada September 1953. “Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,” demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.
Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Sukarnolah yang mendatangi Aceh untuk mendinginkin suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin. Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di Jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Sukarno tak berdaya disambut poster-poster antipresiden. “Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama,” begitu bunyi salah satu poster.
Wakil Presiden Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil berunding dengan Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan bisa mengatasi keadaan. Tak seperti Sukarno, Hatta adalah orang yang sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus atau federalisme.
Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI. Hatta dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan apa-apa menghadapi Aceh hingga 1953. Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daud Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.
Tgk Muhammad Daud Beureueh dilahirkan di Beureueh, Sigli, pada 1898, ia adalah lelaki yang tak pernah mengenal sekolah formal. Ia mengecap pendidikan di beberapa pesantren di Sigli. Salah satunya milik Teungku Muhammad Hamid— orang tua Farhan Hamid, anggota DPR asal Partai Amanat Nasional. Pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli.
Daud Beureueh adalah ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953 menulis betapa Daud Beureueh bisa “menyihir” orang dalam ceramahnya yang berjam-jam di masjid.
Tak hanya memukau, Daud tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam. “Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Indonesia Merdeka.
Karena karismanya itu, Beureueh dipercaya memimpin tentara Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Beureueh juga menjadi orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRl). Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler.
Tapi Daud Beureuh bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA—lembaga yang didirikannya pada 1939 ter utama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda. Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menuding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah meletusnya peristiwa Perang Cumbok.
Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang membentuk Badan Keinsjafan Rakjat (BKR). Secara resmi lembaga ini bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA.
Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan panitia Pemilu 1955 dari “anasir-anasir” PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “Teungku Daud Beureueh Pengisap Darah Rakyat,” tulis Van Dijk.
Van Dijk malah menuding gerakan PUSA tak independen. Persenjataan PUSA ketika bertempur, misalnya, tak lain berasal dari Jepang. Tapi tudingan ini dibantah M Nur El-Ibrahimy. Menurutnya, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat.
Menurut El-Ibrahimy, serangan kepada Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah disebut sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dan Borsumij, sebuah perusahaan Belanda. “Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.
Pemberontakan Daud Beureueh berlarut-larut sebagian pimpinan DI,TII menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang.
Dalam surat menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama, Ia bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak.
Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh. Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. “Tidak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Baud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy.
Tapi tutup usia di tanah Aceh pada 1987. Napasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)—masa yang membuat luka di Tanah Reneong kembali terbuka.
Pengaruh Hasan Tiro
Ketika Tgk Muhammad Dauf Beureueh turun gunung, Tgk Muhammad Arif pun menyerah dan mengikuti pembinaan di Mata Ie, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar.
Setelah pembinaan, ia menjadi Parajurit Dua (Prada) pada Seksi III di Komando Distrik Militer (Kodim) Pidie. Tapi karena tidak puas hidup sebagai tentara, ia keluar dari kedinasan pada tahun 1966 dan ikut tes Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia pun dinyatakan lulus dan diangkat menjadi guru pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Geuleumpang Baro, Kabupaten Pidie.
Namun pada 4 Desember 1976, ketika Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia meninggalkan tugasnya sebagai PNS dan bergabung dengan GAM. Alasanya, selain melanjutkan perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh, ia terkesima dengan pengaruh Tgk Muhammad Hasan Di Tiro, Wali Nanggroe GAM.
Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, menyebut Hasan Tiro sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Pada masa kolonial Belanda menjajah Aceh, Hasan Tiro muda merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud Beure’eh di Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang, Hasan Tiro belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian menjadikannya “anak emas” Said Abubakar, seorang tokoh pendidikan Aceh waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja pada pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara. Pemerintahan darurat Indonesia waktu itu dipindahkan ke Aceh karena Yogjakarta sebagai ibu kota Indonesia telah dikuasai Belanda yang melakukan agresi militernya ke dua.
Pada tahun 1950, Hasan Tiro menjadi salah seorang diantara dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada fakultas hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Di negeri adi daya tersebut, sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Memasuki tahun 1954, ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik Indonesia, dengan manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serikat. Dari New York ia mulai menyengat Republik Indonesia, yang kemudian menjadikannya sebagai pemberontak ulung dengan misi memerdekakan Aceh.
Puncaknya, pada 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis. Surat terbuka Hasan Tiro tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali Sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Selain itu Ali Sastroamidjojo juga dinilai telah melakukan genocida (pembasmian etnis) di beberapa daerah di Indonesia.
Dalam surat itu, Hasan Tiro menuntut tiga poin penting yakni, menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Pada poin ke dua suratnya, ia juga menuntut agar semua tawanan politik dari daerah yang disebutkan tadi dibebaskan.
Tuntutan lainnya, Hasan Tiro meminta agar dilakukannya perundingan dengan Teuku Muhammad Daud Beureueh, S M Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. “Jika sampai tanggal 20 September 1954, ajuran-ajuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian tuan, maka saya bersama putra-putri Indonesia yang setia akan mengambil tindakan tegas,” tulis Hasan Tiro dalam suratnya itu.
Hasan Tiro juga mengancam akan mengambil beberapa langkah bila tuntutannya itu tidak dipenuhi, diantaranya, akan membuka kedutaan-kedutaan di seluruh dunia—Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan semua negara Islam, juga di PBB—dan membuka tindak kekerasan Pemerintah Indonesia di depan Majelis Umum PBB, yang dinilainya telah melakukan pelanggaran HAM di Aceh.
Ancaman lainnya akan mengadukan Pemerintah Indonesia di hadapan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga akan memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil terhadap Republik Islam Indonesia.
Bila Pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutannya, Hasan Tiro mangancam akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia, serta penghentian bantuan yang diberikan lewat rencana Kolombo atau PBB dan Amerika Serikat.
Menanggapi surat Hasan Tiro itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya, meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. akhirnya paspornya pun dicabut. Ia kemudian ditahan oleh pihak imigrasi Amerika di Ellis Island. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan.
Setelah bebas, Hasan Tiro kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah Indonesia. Ia mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New York Time. Isinya, meminta perhatian Perdana Mentreri Indonesia, Ali Sastroamidjojo akan kemajuan komunis di Indonesia, serta menyampaikan sebuah laporan pelanggaran HAM oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia.
Jakarta pun berang terhadap tingkah Hasan Tiro. Berbagai upaya dilakukan untuk membungkamnya, salah satunya berusaha mengekstradisinya dari Amerika. Tapi upaya pemerintah Indonesia tersebut tidak berhasil. Karena itu pula, Hasan Tiro semakin leluasa melanjutkan propaganda anti Indonesia di New York, Amerika Serikat.
Pada tahun 1955, Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya, meminta kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Alasannya karena pemimpin Islam di beberapa daerah di Indonesia yang tergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII) telah dibunuh oleh tentara dan polisi dibawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang didominasi oleh kaum komunis.
Secara diam-diam Hasan Tiro kemudian kembali ke Aceh dan pada 4 Desember 1976, bertempat di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie, ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermaksud memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia. Maka sejak saat itu, sejarah konflik yang sarat dengan aroma mesiu dan anyir darah pun kembali menghiasi tanah Aceh.
Dilantik Jadi Gubernur GAM
Tgk Muhammad Arif pun ikut dalam barisan Hasan Tiro, dua tahun kemudian (1978) Tgk Muhammad Arif ditangkap dan diadili. Anehnya, ia baru divonis pada tahun 1981, tiga tahun setelah ditangkap, dengan hukuman empat tahun penjara dan dipecat dari PNS.
Tapi penjara ternyata tidak membuatnya melunak. Bebas dari penjara, ia kembali naik gunung, sampai akhirnya menjabat sebagai Gubernur GAM, Wilayah Pidie. Bersama petinggi GAM Pidie lainnya, seperti Sarjani Abdullah (Panglima GAM Pidie) Kamaruddin alias Abu Razak (Komandan Operasi GAM). Ia menyusun dan melantik 16 Ulee Sagoe, (setingkat dengan Bupati¬-red), Para Panglima Sagoe, serta perangkat sipil dan militer GAM di Pidie lainnya.
Kepada mereka Tgk Muhammad Arif memberi tugas menyusun pajak nanggroe, besar pajak naggroe yang harus dibayar masyarakat sesuai dengan kriteria tertentu. Selain itu ia juga mengumpulkan sejumlah camat dan kepala dinas yang ada diwilayah kekuasan GAM Pidie untuk membantu perjuangan GAM.
Pada akhir tahun 2002, menjelang diberlakukannya Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) Muhammad Arif bersama sembilan tokoh sipil Aceh, yakni Tgk Muhammad Usman Di Lampoh Awe, Sofyan Ibrahim Tiba (almarhum), Ilyas Abed, Dr Muslim Ibrahim, Imam Suja’, Prof Alias’ Abubakar, Daniel Djuned, Hakim Nyak Pha, diundang ke Jenewa untuk bersama rombongan Henry Dunant Centre (HDC) untuk bertemu dengan Hasan Tiro.
Hasil pertemuan dengan Hasan Tiro dan pimpinan GAM di luar negerei tersebut, pihak GAM menyatakan tetap menuntuk kemerdekaan. Di masa CoHA, Tgk Muhammad Arif serin bertemu dengan Tgk Muhammad Usman Di Lampoh Awe, yang menjabat sebagai Menteri Keuangan (meuntoe peng) GAM. “Mudah-mudahan kalau ada umur, Tgk jadi gubernur,” kata Usman Lampoh Awe kepadanya.
Kemudian pada tahun 2003, dalam sebuah acara koloal di kawasasn Jiem-Jiem, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie, Tgk Muhammad Arif pun dijemput untuk menghadiri acara tersebut. Acara pertemuan dengan tokoh masayarakat Pidie kala itu, disebut-sebut bertujuan mempersiapkan diri guna mengatur pemerintahan tersendiri.
Dan diujung acara itu, Tgk Muhammad Arif pun dilantik menjadi Gubernur GAM Wilayah Pidie. Pelantikan yang berlangsung di Desa Blang Krueng tersebut dilakukan oleh Tgk Usman Lampoh Awe dengan penjagaan ketat dari pasukan GAM.
Setelah dilantik menjadi gubernur, ia pun kemudian bersama para petinggi GAM Pidie lainnya terlibat dalam berbagai kegiatan menyusun perangkat pemerintahan sipil dan militer GAM di Pidie. Ia pula yang kemudian leantik sejumlah ulee sagoe (setingkat Bupati-red) serta menyusun sumber pajak nanggroe.
Ketika di Aceh diberlakukan Darurat Militer (DM), Tgk Muhammad Arif bersama Kamaruddin alias Abu Razak dan Sarjani Abdullah berada di hutan dan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari Blang Mane, kemudian pindah ke Mampreh, lau ke Alue Bulue, selanjutnya ke Cot Labu yang dikenal dengan sebutan Asrama Rimueng selama satu tahun.
Keputusan Muhammad Arif untuk naik gunung diambil setelah mendapat perintah dari Hasan Tiro untuk bersama panglima dan anggota GAM lainnya melakukan gerilya di hutan. Dalam gerilyanya itu, Tgk Muhammad Arif selalu dikawal ketat oleh pasukan GAM Pidie pimpinan Abu Razak, sehingga dalam beberapa kali pertempuran dengan apart TNI, ia selau berhasil lolos. Diantaranya, kontak tembak pasukan GAM dengan aparat TNI dari Tim Yassin Raider 600 pada 28 September 2004.
Namun pada tanggal 2 Oktober 2004, Tgk Muhammad Arif ditangkap oleh Tim Falak 1 Yonif 600 Raider di kawasan pegunungan dekat Krueng Batee Mirah, Kecamatan Bandar Baru, Kabuapten Pidie. Sejak itulah ia ditahan. Baru pada Jum’at, 7 Januari 2005, ia diserahkan kepada pihak Polres Pidie untuk diproses.
Rahimah, putri ke enam Tgk Muhamamd Arif menceritakan, ia pernah bertanya bagaimana bapaknya itu bertahan hidup di hutan, saban hari dikejar tentara. Katanya, sebagai gubernur, ia selalu dibantu dan dilindungi oleh para tentara GAM, baik saat perang, mauoun saat menyusuru lereng-lereng gunung.
Suatu ketika, Tgk Muhammad Arif dan pasukannya kelelahan. Ketika diserang tentara, ia meminta para tentara GAM itu mundur dan melarikan diri. Mereka lari terpencar. Empat hari empat malam ia menelusuri alur sungai, karena terpisah dengan kelompoknya.
Saat itu Tgk Muhammad Arif hanya memiliki segenggan gula pasir. Air sungai diambilnya dan diamsukkan sedikt gula, dengan itulah ia bertahan hidup. Namun, kala sore hari ketika sedang melaksanakan shalat asar di hutan, ia ditangkap oleh TNI dari Tim Falak 1 Yonif 600 Raider di kawasan pegunungan dekat Krueng Batee Mirah, Kecamatan Bandar Baru, Kabuapten Pidie.
Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, ia pun kembali disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Sigli dalam kasus makar. Ia dijerat dengan pasan 1 Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 12 tahun 1051, tentang senjata api dan bahan peledak---karena saat ditangkap padanya ditemukan 18 butir peluru caliber 32 S dan WL yang terpasang pada sabuk di pinggangnya---jounto pasal 55 ayat 1 ke 1 jounto pasal 64 KUH Pidana.
Setekah melalui serangkaian persidangan, pada Rabu, 18 Mei 2005, ia divonis penjara seumur hidup melalui amat putusan PN Sigli nomor 27/PN/2005/PN.SGI. Ia pun dipenjara di LP Kota Bakti Pidie.
Tgk Muhammad Arif, pegawai negeri yang menjadi pemberontak itu pun, harus kembali hidup dalam terasi besi. Namun pada 17 Agustus 2005 lalu, kembali bebas setelah mendapat amnesty/abolisi dari pemerintah RI.
Setahun kemudian, Presiden RI telah mengeluarkan Perpres Nomor 100, tanggal 12 Desember 2006, tentang pengaktifan kembali PNS korban konfkil dan PNS terlibat GAM. Tgk Muhammad Arif yang masih memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP) pun berkesempatan untuk mengurus hak-haknya sebagai pegawai. Tapi semua itu ditapiknya. "Ketika kami singgung tentang itu bapak bilang, tanpa gajai pegawai pun kita bisa hidup,’’ jelas Rahimah.
Menurut Kepala Sekretariat Tasce Force Penyelesaian Administrasi Kepegawaian bagi Korban Konflik dan PNS yang terlibat GAM, pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) NAD, Drs Zahrul Munzir, M.Si, saat itu, Perpres bertanggal 12 Desember 2006 dengan 19 pasal itu isinya mencakup, pengaktifan kembali PNS, pengalihan jenis kepegawaian, penetapan pemberhentian dengan hormat, pemberian pensiun bagi yang berhak pensiun, serta pemberian nilai tunai iuran pensiun, tunjangan hari tua, dan tabungan perumahan.
Pengaktifan kembali PNS terlibat GAM dan PNS korban konflik itu dihitung sejak 1 September 2005, yakni setelah penendatangan Memorandum of Understanding (MoU) damai antara Pemerintah RI dengan GAM. “Pengaktifan kembali tersebut akan ditetapkan dengan keputusan pejabat pembina kepegawaian instansi yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan tekhnis dari Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN)” jelas Zahrul dalam satu wawancara pada awal 2007 lalu.
Namun, masa selama PNS yang bersangkutan diberhentikan atau meningalkan tugas, tidak dihitung sebagai masa kerja golongan dan masa kerja pensiun. Karena itu pula, dalam masa tersebut tidak dihitung atau diberikan penghasilan dan hak kepegawaian lainnya. “Sebagaimana disebut dalam pasal 10 Perpres itu, penghasilan bagi PNS yang telah aktif kembali, dibayar sejak yang bersangkutan secara nyata melaksanakan tugas,” lanjut Zahrul.
Sementara bagi PNS yang telah diberhentikan tanpa hak pensiun atau meningalkan tugas, yang pada 30 Agustus telah berusia 56 tahun atau lebih, keputusan pemberhentiaanya ditinjua kembali menjadi diberhentikan dengan hormat, dan kepadanya diberikan hak pensiun apabila pada saat diberhentikan memiliki masa kerja paling kurang sepuluh tahun.
Untuk mendapatkan hal tersebut, para PNS terlibat GAM dan PNS korban konflik, yang dimaksud dalam Perpres tersebut, harus mengajukan usulan pengaktifan kembali kepada BKD setempat, dengan melampirkan pernyataan terlibat GAM atau menjadi korban konflik yang dibuat oleh pejabat pembina kepegawaian pusat atau pejabat lain yang ditunjuk paling rendah pejanat strukturan eselon I yang secara fungsional bertangungjawab dibidang kepegawaian.
Selain itu melampirkan pernyataan terlibat yang dibuat oleh pejabat yang berwajib serendah-rendahnya Komandan Distrik Militer (Kodim). Buisa juga dikuatkan dengan surat keterangan dari Komite Peralihan Aceh (KPA) yang menyatakan bahwa PNS tersebut bernar pernah terlibat GAM.
Batas waktu meloprkan diri dan pengajuan permohonan pengurusan pengaktigfan kembali sebagai PNS, sesuai dengan pasal 14 Perpres nomor 100/Tahun 2006 tersebut berlaku satu tahun sejak Prespres diterbitkan, yakni sampai 12 Desember 2007.
Kemudian pada pasal 12 Perpres itu disebutkan bahwa, dasar penetapan pensiun bagi PNS terlibat GAM yang telah pensiun ditentukan berdasarkan gaji pokok teralhir yang diterima PNS yang bersangkutan. “Namun gaji pokok terakhir itu tidak berdasarkan peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2003. Pensiun pokoknya disesuaikan secara berurutan sampai perubahan penetapan pensiun pokok yang berlaku tahun 2006,” jelas Zahrul.
Meski punya kesempatan untuk mengaktifkan kembali status PNS-nya, untuk mendapat tunjangan hari tua. Tgk Muhammad Arif tetap gubernur GAM yang militan. Ia menolak semua itu. Kini ia menghabiskan hari tuanya di sebuah pesantren di Kecamatan Geulumpang Baro. “Hari hari Teungku lebih banyak di pesantren, kalau hari Jumat ia selalu shalat di Mesjid Abu Beureueh,” jelas Hj Cut Rahmah, istri Tgk Muhammad Arif.***
1 Tanggapan untuk "Tgk Muhammad Arif : Militansi Gubernur GAM"
Tulisan yang sangat menarik, dengan pemaparan yang enak dibaca (dan perlu) seperti motto Majalah TEMPO. memang Isnor Geuthee...
Post a Comment