Usia memang tak muda lagi, tapi semangatnya belum mau pudar. Itulah M Daan, pesepakbola Aceh era 1980-an, serdadu tua yang belum mau renta di lapangan hijau.
M Daan ikut mengantar persiraja menjuarai Marahalim Cup, liga utama Indonesia tahun 1981. Puncak prestasi sepakbola Aceh yang hingga kini belum mampu dilampaui oleh generasi di bawahnya.
Di Persiraja pria kelahiran Aceh Besar, 17 September 1949 ini berperan sebagai striker. Sepanjang karirnya di Persiraja, M Daan digembleng oleh sepuluh pelatih kepala. Fanatisme daerah membuatnya betah di Persiraja. Ia tak hengkang ke klub lain, meski digoda finansial.
Totalitasnya di sepakbola kemudian mengantarkannya ke tim nasional (Timnas). Ia satu-satunya pemain dari Aceh yang direkrut untuk memperkuat timnas wilayah satu. Tendangan gledeknya yang akurat membuat pelatih timnas kala itu memberikan satu tempat baginya.
M Daan menyedot perhatian publik Indonesia pada tahun 1976. Kala itu Persiraja melawan Persebaya di Stadion Menteng, Jakarta Pusat. Tendangannya dari titik tengah lapangan berhasil menjebol gawang Persebaya. Sejak itu ia dilebel sebagai pesepakbola dengan tendangan “maut”. Berkat gol spektakuler itu ia mendapat hadiah satu unit sepeda motor dari pengusaha Aceh, Yusuf Gadeng.
Karir sepakbola M Daan dimulai dari klub Surya di Blangpadang. Permainannya yang menonjol membuat ia kemudian ditarik untuk bermain di klub Podiraja kantor Walikota Banda Aceh. Tahun 1971 Persiraja meminangnya. Dari sinilah titik kebangkitan karir sepakbola profesional M Daan dimulai. Di Persiraja ia sering mencetak gol-gol spektakuler dari tendangan jarak jauh.
Karena dedikasinya terhadap sepakbola waktu itu, M Daan diterima menjadi salah seorang pegawai di lingkungan kantor Walikota Banda Aceh. Ia pensiun dari pegawai negeri sipil tahun 2004 lalu dengan pangkat IV B. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Penertiban di Dinas Penertiban Kota Banda Aceh.
Keberhasilan M Daan di sepakbola bukanlah tanpa kontroversi. Selain tendangan gledeknya, ia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang susah diatur. Di Persiraja ia dijuluki pemain berkepala batu. Bukan hanya di Persiraja hal itu juga dilakukannya di timnas.
Ketika bermain di Banglades, M Daan tidak puas dengan kepemimpinan wasit. Ia melakukan protes dengan cara unik, pemain yang langganan kartu kuning ini memegang bagian depan celananya dengan dua tangannya dan memelorotkannya di hadapan wasit. “Tapi waktu itu saya tak dapat kartu, mungkin wasit sadar atas kekeliruannya memimpin pertandingan,” kenangnya.
Setelah tak lagi bermain sepakbola, ia mendedikasikan dirinya untuk menggembleng anak-anak Aceh menjadi pemain bola handal di SSB Bantimoh dan Diklat Lhong Raya. Bukan sedikit pemain sepakbola Aceh yang sudah didiknya. Sebagian besar anak didiknya bermain di kasta elit sepakbola Indonesia, baik liga primer maupun liga super.
Dari SSB Bantimoh ada Ramadhani, Andrea, Diky Andriawan (kiper), Husaini dan Zulkarnain. Sementara anak didiknya dari Diklat Lhong Raya yang kini sukses meniti karir profesional sepakbola ada Musawir, Suheri Daud, dan Rahmat. “Banyak lagi yang berhasil di sepakbola, kalau di divisi dua saya tak sanggup hitung,” lanjut ayah lima anak ini.
Selain di lapangan hijau, pria yang dipercayai jabatan sebagai Ketua Panitia Pelaksana Kompetisi Pengcab PSSI Banda Aceh 2012 ini menghabiskan hari-harinya di bentaran Krueng Lamnyong. Sepulang melatih bola ia “merumput” dengan aritnya, memotong rumput-rumput muda untuk ternak peliharaannya. Kadang kala ia juga bisa dijumpai sedang menjaring ikan di sana. Tak pelak, hal inilah yang membuat M Daan sering disebut sebagai pria dari rumput ke rumput, dari rumput lapangan sepakbola ke rumput bentaran sungai. [Iskandar Norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "M Daan, Gol Tendangan Maut"
Post a Comment