Dewasa ini kita selalu disugukan berita-berita yang menyengat di media massa. Malah kadang saling bertolak belakang. Mulai dari kisah penanganan korban konflik sampai rehab rekon. Dibalik semua itu sebuah citra yang sagat gawat, penuh kudis dan borok pun tersaji bersamaan. Hal itu tak lain adalah kemesuman yang semakin membengkak saja.
Hampir saban hari berita-berita itu muncul, malah melibatkan tokoh-tokoh publik. Ini terjadi karena masih saja ada jurang yang sangat terjal antara kata dan perbuatan para pemimpin kita. Ketika nafsu gagal dijaga, maka kehancuranlah imbasnya.
Setiap kita pasti tersentak, ketika pekan lalu mendengar kabar 600-an siswa mendemo kepala sekolahnya karena ditengarai telah berbuat cabul. Hal ini semakin membuat kasus-kasus yang melibatkan nafsu syahwat semakin menggunung saja.
Belum hilang dari ingatan kita, bagaimana kasus Raihanuddin, anggota polisi syariat alias Wilayatul Hisbah yang indehoi dengan MD, remaja berusia 17 tahun di malam buta dalam sebuah kamar mandi bekas. Pro kontra pun bermunculan, taji Dinas Syariat Islam dalam menegakkan syariat jadi sorotan. Apalagi setelah kasus itu hanya diselesaikan secara adat, yakni melalui sebuah pernikahan “tidak terhormat”. Padahal publik menginginkan lebih dari itu.
Bila para pelaku khalwat sebelumnya ramai yang dicambuk didepan umum, oknum WH dituntut untuk mendapatkan hal yang sama. Dinas Syariat Islam dituntut untuk tidak tembang pilih apalagi pilih kasih dalam menegakkan hukum tuhan. Begitu juga dengan dugaan mesum yang dilakukan PW, Ketua PN Sabang. Publik juga menginginkan agar kasus ini sampai ke Mahkamah Syariat.
Kisah yang paling anyar dilakoni DD di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Kepala Sub Bagian (Kasubag) Umum dan Perlengkapan Dinas Informasi Komunikasi Budaya dan Pariwisata, Kabupaten Abdya tersebut, harus rela didepak menjadi staf biasa di Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja setempat, setelah gagal menjaga nafsunya.
Adalah ES tenaga honorer yang sekantor dengan DD tempat nafsu tersebut dialiri. Ironisnya itu dilakukan di ruang kerja Kepala Dinas. Hal ini diakui oleh Drs Nasruddin, M. Hum sang kepala dinas, yang mengaku sudah lama mencurigai affair kedua bawahannya itu.
Perselingkuhan di ruang kerja itu berkedok memperbaiki AC dan kamar mandi. Nasruddin mengaku tidak mengetahui kalau di luar jam kerja, ternyata kedua bawahannya itu melakukan kerja ekstra saling mempreteli ”onderdil” dengan bermesuem ria.
Kisah Yahya Zaini, anggota DPR RI yang terdampar dari segala jabatan politis setelah terlibat asmara terlarang dengan penyanyi dangdut Maria Eva, memang belum diambil hikmah oleh DD dan ES. Apalagi ketika nafsu benar-benar telah mengalahkan akal sehat.
Saat akal sehat mampu digauli nafsu, maka embroinya adalah ketaksadaran manusia akan adanya tuhan. Atau mungkin juga keduanya secara sadar mengolok-ngolok agama tuhan dengan kemesueman itu. Makna Syariat Islam yang didengung-dengungkan kaffah pun kembali dipertanyakan di bumoe sigupai tersebut.
Aristoteles pernah mengatakan, manusia harus tahu bahwa dalam panggung kehidupan hanya tuhan dan malaikat saja yang menjadi penontot. Selebihnya hanya pemain. Tuhan dan malaikat akan memberikan nilai terhadap para pelakon yang ditontonnya. Sementara pelakon itu sendiri menentukan berapa nilai yang layak baginya; nerakakah atau surgakah. Tak ada nilai ke tiga selain itu.
Untuk menentukan nilai terhadap diri kita sendiri selaku pelakon di sandiwara dunia ini, agar tuhan dan malaikat mencatat nilai yang baik. Tentunya sebagai manusia dengan lebel hamba bagi tuhan, kita harus mampu melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita.
Hal itu seperti diungkapkan penyair berdarah Scotlandia, Robert Barn (1759-1796) dalam puisinya ”To a Louse”. Ia menulis, http://iskandarnorman.multiply.com//O wad some pow’r the giftie gieus / to see oursels as others see us! / It wat frae many a blunder free us / and foolish notion // Jika kita bisa melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita, maka kita bakal terbebas dari banyak kekeliruan dan gagasan-gagasan bodoh.
Gagasan-gagasan bodoh yang terbebas itu termasuk ”mencuci onderdil” tidak pada tempatnya sebagaimana dilakoni DD dan ES yang telah gagal menjaga nafsu sehingga akal sehat tumbang. Sebuah berkah kekuasaan yang telah diberikan negara kepadanya sebagai Kepala Sub Bagian pun dicopot.
Sekali lagi, ketika nafsu gagal dijaga, manusia sering kelimpungan. Malah Presiden Amerika kedua, Jhon Adam mengatakan, semua orang adalah monster yang serakah ketika nafsu gagal dijaga. Perjuangan manusia melawan nafsu sedikitnya sama dengan perjuang melawan kekuasaan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Milan Kudera, seorang penulis besar Cheko dalam novelnya ”The Book of Laughter and Forgetting” dalam novel itu, melalui tokoh Mirek, ia menyebutkan, perjuangan manusia melawan nafsu dan kekuasaan dalah perjuangan ingatan melawan lupa.
Selama manusia tidak lupa bahwa ia hanyalah pelakon dalam sandiwara dunia yang ditonton malaikat dan tuhan, ia tak akan tergelincir. Tapi kadang-kadang manusia lalai dengan kekuasaannya, hingga melahap yang tidak berhak, tidak hanya melalui korupsi tapi juga kemesuman sesamanya. Sebuah hubungan asmara yang dilakukan tanpa ikatan bunga.
Bicara soal kekuasaan, Prof. Dr Franz Magnis Suseno mengatakan kekuasaan itu selalu berwajah ganda. Ada kalanya kekuasaan itu begitu mempesona, tapi tak jarang juga sangat menakutkan. Sang profesor itu menambahkan, legitimasi kekuasaan tertinggi adalah legitimasi religius. Tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan Illahi.
Begitu legitimasi religius ini didobrak, maka muncullah pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan. Selubung ghaib yang melindungi raja (baca pemimpin) dari tuntutan pertangungjawaban pun tersobek, karena raja juga juga manusia biasa, maka raja pun akan berhadapan dengan hukum sebagaimana rakyat jelata.
Tapi legitimasi religius (baca agama-red) menurut Emile Durkheim dalam buku The Elementary Forms of Religion Life (1961) hanya bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas suatu masyarakat dibawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum. Dan disinilah nafsu dijaga.
Antara nafsu dan kekuasaan memang saling mempengaruhi. Hanya kesadaran manusia sebagai pelakon di dunia ini dalam sandiwara yang diskenariokan tuhan dan bentuk qadha dan qadar, yang mampu mengimbanginya. Bila kesadaran itu lenyap tertimpa nafsu, maka kehancuran akan berproses berembrio untuk melahirkan sebuah kenistaan.
Sederetan kasus kegagalan akan sehat menjaga nafsu telah terjadi. Tahun lalu di Bireuen ada kasus mesuem Wardina yang indehoi dengan seorang bulee asal Italia, Gueseppe. Keduanya ditangkap warga ketika sedang bermesuam ria dalam nafsu terlarang.
Jauh lagi sebelumnya, pada tahun 2005, seorang wanita asal Kecamatan Simpang Tiga, kabupaten Pidie, ditangkap masyarakat bersama POM disebuh reruntuhan sekolah ketika sedang “indehoi” dengan kawan buleenya asal Italia. Anehnya, entah karena berhubungan dengan orang asing yang melakukan misi kemanusian di Aceh, kedua kasus itu pun sampai kini tenggelam. Tak jelas juntrungannya.
Kita tidak ingin kasus-kasus mesum yang terjadi selama ini tenggelam. Bila itu terjadi, maka persoalan kekaffahan syariat yang didengung-dengungkan selama ini hanya symbol belaka. Polisi syariat kita alias Wilyatul Hisbah begitu bersemangat ketika memburu para wanita malam yang dituding pelacur di negeri syariat, untuk digiring dalam sebuah hukuman cambuk. Lalu bagaimana sekarang ketika yang melanggar syraita itu adalah WH itu sendiri?
Disisi lain WH juga loyo ketika berhadapan dengan para pejabat hidung belang. Mungkin juga terhadap DD. Seorang pejabat di Abdya sebuah kabupaten yang baru berusia empat tahun, yang seharusnya dibangun dengan amal oleh DD selaku pejabat teras. Bukan malah membuat masyarakatnya malu dengan prilaku mesuem dengan teman sekantor. Karena bagaimana pun, Wakil Presiden pertama republik ini, Muhammah Hatta pernah berkata, hanya satu tanah air yang bisa disebut tanah airku, ia berkembang dengan amal dan itu adalah amalku.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Nafsu dan Kekuasaan"
Post a Comment