Ketika mengunjungi beberapa barak relokasi pengungsi, yang saya temui kebanyakan adalah wajah-wajah penuh kepasrahan. Mereka seperti kehilangan etos kerja. Dan saya haqqul yakin itu bukanlah keinginan mereka.
Pemerintah turut punya andil. Kalau tidak elok disebutkan ikut menciptakan suasana seperti itu, setidakya melalui berbagai bantuan yang bersifat konsumtif dan hanya sementara, saat para pengungsi masih berada di tempat-tempat penampungan awal.
Celakanya hal itu terus berlanjut ketika para penungsi dipindahkan ke barak-barak penampungan, yang membuat mereka berada jauh dari habitatnya. Jauh dari tempat usaha tau setidaknya lahan kerja mereka. Bahkan dikalangan penungsi muncul pameo, di tempat penampungan awal enak makan tidak enak tidur, di barak enak tidur tidak enak makan.
Belakangan banyak yang protes terhadap konsisi itu. bukan hanya pengungsi yang menolak relokasi, tapi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun turut menyuarakan hal tersebut. Meski kadang-kadang ada aroma lain di dalamnya, karena saya teringat kata kawan saya, “Tidak ada makan siang yang gratis.”
Berbagai kepentingan ikut bermain dalam persoalan tersebut. tapi ironisnya, policy yang dikeluarkan oleh para penguasa lebih kental nuansa politisnya ketimbang kemanusiaan bagi para pengungsi.
Mungkin kondisi ini selaras betul denan apa yang disampaikan oleh Peter L Berge pada tahun 1974, yang mengatakan bahwa kebijaksanaan politik tidak dibuat dengan memahami akar masalah yang sesungguhnya, lantara para pengambil kebijakan memang tidak memahami sosiologi masalah, yakni peta-peta social di seputar masalah.
Eep Saefulloh Fatah pun kemudian menyebutkan hal itu sebagai bentuk ketidak pahaman pada sosiologi masalah. Hal itulah yang kemudian membuat masalah dan pemecah masalah menjadi dua hal yang berjauhan, bahkan tak berkaitan sama sekali.
Hal ini tidak lepas dari berbagai kekeliruan para penguasa yang mengambil kebijaksanaan tanpa mengerti sepenuhnya permasalahan yang dihadapi. Inilah yang oleh Robert Barn dikatakan sebagai gagasan bodoh. Penyair Scotlandia yang hidup pada abat 18 tersebut (1759-1796) dalam puisiny berjudul “To a Louse” menulis, “O wat some powr’r the giftie gleus, to see oursels as other seeus! It wat frae many a blunder freeus, and foolish nation.”
Katanya, jika kita bisa melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita. Kita bakal terbebas dari banyak kekeliruan dan gagasan-gagasan bodoh. Pemerintah sebagi pengambil kebijakan harus mampu melihat kemampuan diri sendiri sebagai suatu entitas bangsa, dan mengaplikasikan kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan rakyat yang dimaksud dalam kebijakannya itu.
Kita tentu mengharapkan agar pemerintah betu-betul bersikap dewasa dalam menangani para pengungsi yang jumlahnya ratusan rubu jiwa itu. kita tidak ingin sikap meurupah peng grik (berebut uang receh-red) yang diperlihatkan oleh birokrat dan LSM selama ini terus berlanjut.
Bantuan yang datang, baik dari dalam maupun luar negeri haruslah tersalurkan tepat pada sasarannya. Jangan nanti apa yang pernah dikatakan oleh PJ O’Rourke dalam Parliament of Whores (1991), memberikan uang dan kekuasaan kepada pemerintah, sama halnya dengan memberi wiski dan kunci mobil pada seorang remaja. Kalau itu terjadi, maka hancurlah Aceh.
Pun demikian, mempertemukan sepenuhnya program pemerintah dengan keingian para pengungsi (baca : rakyat) memang tidak mudah. Selain banyak hal yang menjadi pertimbangan, berbagai kepentingan pun turut bermain. Tapi lupakan itu. satu hal yang harus dilakukan sekarang adalah bagaiaman membangkitkan kembali etos kerja para penungsi.
Untuk itu tentu bukanlah hal yang mudah. Pemerintah haruslah mampu menyiapkan perangkat baik itu berupa kebijakan maupun barang dan tempat yang bisa membuat para pengungsi itu kembali mempunyai etos kerja.
Tapi etos tidaklah selamanya muncul dari materi, dari mitos pun ia bisa muncul. Sebagai contoh, orang Yahudi mengatakan, we are the chosen people. Dari mitos itulah mereka bangkit, karena menganggap dirinya sebagai orang-orang pilihan.
Hal yang sama juga berlaku di Jerman. Mereka mengatakan Deutc uberaless, ras Aria (rasnya bangsa Jerman) adalah ras tertinggi. Amerika lain lagi, mereka menganut etos nasionalisme yang sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan negara tersebut menhadi adi daya. Falsafah mereka dalam membangun Amerika adalah, We keep America on top of the word.
Nah, masyarakat Aceh pun jauh-jauh hari sudah memiliki hal seperti itu. Ini tercermin dalam berbagai ungkapan, diantaranya tapak jak urat nari, na tajak na raseuki atau meugrak jaroe meu ek gigoe. Kedua ungkapan itu mempunyai makna agar manusia tidak berpangku tangan, tapi harus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Bisakah hanya berbekal ungkapan itu? tentu saja tidak. Pemerintah dituntut untuk berperan menyedialan berbagai fasilitas yang bisa mendoromh tumbuhnya etos kerja dikalangan para pengungsi.
Kita tidak ingin pemerintah selalu menjadi bahan cemoohan rakyatnya sendiri. Kita menginginkan adanya pemimpin, baik ditingkat lokal maupun nasional yang tidak terlalu berambisi pada kekuasaan, tapi beritikad baik untuk kemaslahatan rakyat.
Tapi sekali lagi, itu bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Seperti pernah di setil oleh Milan Kudera, penulis besar Cheko dalam novelnya, “The Book of Lougther abd Forgetting” melalui tokoh Mirek ia berkata. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawean lupa.”
Malah Jhon Adam, Presiden ke dua Amerika berpendapat lebih radikal lagi. Katanya, semua manusia adalah monster yang serakah ketika nafsu gagal dijaga. Pun demikian, mari kita pindahklan tumpukan jerami itu satu persatu untuk menemukan jarum tersebut.
Dengan lahirnya kembali etos kerja pada diri setiap pengungsi, kita berharap setiap pengungsi mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, tanpa menunggu datangnya bantuan dari pemerintah.
Bukankah Publikis Syrus pernah berkata agar kita jangan menggatungkan diri pada keberuntungan, melainkan pada tindakan. Mari sama-sama kita berbuat, sambil menghayati apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad Hatta. “Hanya satu tanah yang bisa disebut tanah airku, ia berkembang dengan amal, dan itu adalah amalku.” Semoga.***
Pasar Pagi Beurawe, Banda Aceh, 4 Maret 2005
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Etos"
Post a Comment