Rangkaian kalimat singkat itu begitu padat makna. Pelik untuk dimengerti dengan beragam filosofinya. Pemaknaan kadang tergantung objek yang dituju. Itulah hadihmaja.Dalam khasanah budaya Aceh, berkembang beragam pribahasa, yang dikenal dengan ungkapan hadih maja atau sering juga disebut nariet maja, yang berupa rangkaian kalimat-kalimat singkat, tetapi mengandung arti yang padat, dengan tamsilan-tamsilan yang mendalam. Malah ada diantaranya yang terlalu pelik untuk dimengerti, karena sangat filosofis.
Ungkapan-ungkapan melalui hadihmaja telah jadi simbul dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh. Hampir setiap lini budaya Aceh, menggunakan hadihmaja sebagai bahasa perantara yang kadang memuji, mencandai, bahkan menghujat.
Sebut saja seperti tutur kata dalam upacara adat sebagai salah satu contohnya, terutama menyangkut adat perkawinan. Pada acara yang sangat seremonial ini, selalu diselingi dengan ucapan-ucapan hadihmaja yang kaya akan variasi dan bermakna filosofis. Karena itu pula, kalimat-kalimat dalam hadihmaja tidak bisa diartikan menurut tata bahasanya yang tersurat, tetapi ditafsirkan dengan penafsiran yang tersirat di dalamnya dan objek yang dituju melalui hadihmaja tersebut.
Kritik dan Plesetan
Hadih Maja kerap juga dipakai sebagai bahasa plesetan, yang beisikan kritikan terhadap orang-orang yang mengangkangi nila-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan. Hadihmaja sebagai bahasa kritikan, tidak mengenal golongan dan status sosial orang yang dikritisi. Ketika seseorang telah berbuat salah, atau telah melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat banyak, maka kritikus Aceh sejak zaman dahulu akan menggunakan hadihmaja untuk mengkritisinya.
Ini mungkin pengaruh budaya ketimuran yang tak mengatakan sesuatu secara langsung, apalagi terhadap hal-hal yang kurang baik, sehingga mengkritik pun harus dilakukan dengan bahasa halus, namun pengaruhnya akan sangat mengena, bahkan sangat menyakitkan bagi yang dikritik.
Mengkrikit melalui plesetan dalam hadihmaja bagi masyarakat Aceh sangat efektif. Dengan hadihmaja orang yang dikritik tidak langsung tersentuh, tapi setelah meresapi maknanya baru menyadari maksud kritikan tersebut, yang efeknya lebih menyakitkan daripada dikritik secara langsung. Dengan hadihmaja, seorang kritikus tidak perlu bicara banyak, cukup satu kalimat hadihmaja akan membuat objek yang ditujunya tersentuh.
Plesetan melalui hadihmaja kadang kala juga dimaksudkan untuk membuat sebuah kritikan itu tidak vulgar. Apalagi krtikik yang ditujukan terhadap orang-orang yang terhormat, atau derajat sosialnya lebih tinggi dari si pengkritik. Malah kalangan ulama sebagai golongan yang sangat disegani dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh, juga sering menjadi objek kritikan melalui hadihmaja. Misalnya bak péng duröh janggôt, bak brôt aléh doa. Ungkapan tersebut menggambarkan ulama yang terpengaruh dengan nafsu dan gemerlap dunia, sehingga sang ulama tidak lagi memiliki kharismanya.
Orang-orang yang sering berada di dua sisi yang berlawanan untuk menggeruk keuntungan pribadi pun sering ditamsilkan sebagai bubèè dua jab seureukab dua muka, keunoe töe keudeh rab, man dua pat meuteumei laba. Bila seseorang telah dicap sebagai bubei dua jab, maka setinggi apapun pangkatnya dalam kehidupan bermasyarakat, oleh masyarakat banyak, ia tidak akan dihargai lagi. Inilah salah-satu kekuatan plesetan hadihmaja.
Hadihmaja juga telah menjadi penuntun tata cara kehidupan bermasyarakat, pengawas dan pengkritik yang sangat ampuh. Umpamanya, hadihmaja yang mengingatkan agar seseorang tidak asal bicara; Rumoeh baro han geutumpang, nariet nyang reumbang han geudakwa, artinya, rumah yang baru tidak ditopang, bicara yang benar tidak akan dibantah.
Leupah langkah jeut tariwang, nariet koh reupang rugoe lagoina, artinya, lewat langkah bisa kita balik kembali, tapi bicara bantah membantah itu sangat rugi. Su nyang ka tamariet, tapeu guda han meutumei le, maksudnya, suara yang sudah lepas dari mulut itu, meskipun dikejar pakai guda tidak akan kembali lagi. Nariet sikrak sikatoe, dua lhei krak jeut bloe nanggroe, maksudnya, bicara sepatah dua kata tapi penuh makna.
Romantisme dan Pengkhianatan
Percintaan muda-mudi Aceh tempo dulu juga menggunakan hadihmaja sebagai bahasa sanjungan. Pria yang mampu menyentuh hati pujannya dengan hadihmaja akan dianggap sebagai lelaki romantis. Karena itu pula, hadihmaja sering dipakai sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan cinta.
Beberapa hadihmaja itu antara lain: meunyoe na chen keu rakan sahbat, reudok keu tungkat kilat keu sua, kalau rindu kepada sahabat, petir kujadikan tongkat, kilat sebagai obor. Meumet oen kayei lon tupei cicem, teuseunyom teukhem lon tupeu bahsa, maksudnya, bergerak daun saya tahu burungnya, senyum dan tawa pun saya tahu maksudnya. Gaki lam taloe jaroe ka lam weng, paki han lon tem katroeh bak jeumba, maksudnya, kalau sudah jodoh pasti akan diterima.
Sebagai bahasa percintaan, hadihmaja juga sering dimasukkan dalam pantun-pantun cinta, hingga maknanya sangat menyentuh hati. Sebut saja seperti pada pantun jak u pasi pukat panyang, jak lam sawang pileh boh nga, jak u gle pileh mancang, jak hai rakan tameuseunda. Senda gurau percintaan yang kemudian melahirkan hadihmaja-hadihmaja dalam pantun susulan para pecinta.
Ambil contoh hadihmaja yang diucapkan oleh seorang pemuda saat merayu pasangannya untuk menjalin cinta, di công bak manggeh jimeuloet siwah, Dicông bak lawah umpueng seureungga, Hate ulôn nyoe cukop that sosah, bak peutimang gah peureulei keu cinta. Pantun dengan hadihmaja itu kemudian dilanjutkan dengan sebuah tanya kepada si gadis agar mau menjadi pasangannya di langet manyang bintang meujandreng, Di bumoe gaseng meuputa, Wahe e adoë ulèè lon ka puseng, sidroe peundampeng pat lon jak mita.
Si gadis sebagai tuan rumah biasanya akan mempersilahkan si pemuda untuk naik (masuk) ke rumahnya membicarakan hal tersebut dengan orang tua. Menjawab ajakan itu si pemuda akan menjawab dengan hadihmaja, meunyoe na ujeuén, teuntei na rinték, meunyoe ka lonjak, teuntei ulon ék.
Seandainya ajakan itu diterima, maka hadihmaja yang digunakan untuk menjawab keingin si pemuda adalah seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, gaki lam taloe jaroe ka lam weng, paki han lon tem katroeh bak jeumba. Sementara bila menolak pun, si gadis akan menjawabnya secara halus. Menolak sesuatu dengan cara halus juga diajarkan dalam hadihmaja, boh keumeudoe dalam tabak, ta kuak leumah hate, ta maju suen sitapak, ta tulak bek leumah ri.
Di balik romantisme masyarakat Aceh juga memiliki hadihmaja tentang kebencian. Namun, itu juga diungkapkan dengan bahasa hadihmaja yang santun, meunyoe ta beunci syiet lepeu daleh, meunyoe tagaseh, salah pih beuna. Maksudnya, kalau sudah benci ada saja alasan, kalau masih sayang, salah pun akan dianggap benar.
Begitu juga sebaliknya, ketika cinta berganti kebencian dalam iri dan kedengkian, masyarakat Aceh membuat tamsilannya dalam hadihmaja, meunyoe na sipheut deungki, beurangkari han mangat jiduek, tan jikira droe jih langoe, geunap uroe lawan jih na. Bukan hanya itu, seseorang yang salah memilih pasangan sering ditamsilkan dalam ungkapan, alah hai mak ti, keubiri panyang lungkèè, ka neutupeu jih pancuri kupeu neu teung keu meulintèè.
Sementara untuk pengkhiantan cinta yang dilakukan oleh pasangan digambarkan dalam hadihmaja, taharap keu pageué, kubeué pajöh padè, taharap keu jantông, jantông jithök hatè. Namun hadimaja ini bukan saja ditujukan semata untuk pengkhianatan cinta, tapi juga terhadap berbagai bentuk pengkhianatan oleh orang-orang yang dekat lainnya.
Menyindir orang-orang yang khianat dan tak setia, masyarakat Aceh memiliki hadihmaja yang sangat filosofis, bak liwak-liwieng, bak pucoek trieng umpueng beuragoe, lahe teupat baten kiwing, beurangkari tangieng han ek taraba. Orang-orang yang berperangai khianat itu digambarkan dalam hadihmaja, bak jiduek teulemiek-leumoet, muka tubai teuseunyom-seunyom, watei ji jak teubungkôk-bungkôk, hate kurôk jipubloë ngôn.
Bagi orang-orang yang tak mempan dikritik, masyarakat Aceh menyebutnya dalam hadihmaja sebagai “alèè top beulacan” hal ini tertuang dalam ungkapan alèè top beulacan, beurangkapeu ta kheun malèè jih tan atau alèè top beulacan, nyang malèè ureuéng jak sajan. Agar tak malu dengan dengan ulah orang seperti itu, kita diingatkan agar tidak sembarangan memilih kawan, sebagaimana tertuang dalam hadihmaja bak ie lintông bék tatheun ampèh, bak ie tirèh bék tatheun bubèè, bék tameurakan ngôn si palèh, hareuta abèh geutanyoë malèè.
Kiasan-kiasan seperti itu membuat orang lebih merasa terpukul ketimbang dikritik dengan bahasa langsung. Contoh lainnya misalnya hadihmaja yang ditujukan terhadap orang-orang yang tak tahu balas budi, ta pula bugak ateuh beunteung, bugak mate beunteung pih patah, ta pula guna bak aneuk ureung, bak aneuk bajeung guna han leumah atau ta pula bugak ateuh beunteung, beunteung mantoeng bugak hanale, tapula guna ateuh ureung, ureung mantoeng guna hanale.
Orang-orang yang disebut pengkhianat itu oleh endatu masyarakat Aceh disebutkan dengan tanda-tanda atau ciri-cirinya sebagai orang yang memiliki fisik seperti suyok baho, meutangkop keuneng, meukureh beuteh, ka geu hei paleh le ureung lingka.
Sebaliknya, untuk orang-orang yang baik budi, masyarakat Aceh mengapresiasikannya dalam ungkapan hadihmaja meunyoe gét sipheut budhoë, beurangkasoë jeut keu sahbat, Meunyeo hana jröh sipheut budhoë, beurangkahö pih gob upat. Imbas semua itu dijabarkan dalam hadihmaja sulet keu pangkai, kanjai keu laba, teupat keu pangkai, akai keu laba. Hadihmaja ini mengajarkan seseorang untuk selalu bersikap jujur.
Pertanian dan Pergaulan
Dalam bidang pertanian, untuk lebih mudah menyebut masa tanam, juga diungkapkan dalam hadihmaja. Seperti, keunoeng siblah tabu jareung, keunoeng sikureung rata-rata, keunoeng tujoeh jeut chiet mantoeng, keunoeng limoeng ulat seuba. Maksudnya, waktu turun ke sawah berdasarkan cuaca bulan-bulan tertentu.
Selanjutnya ada lagi ungkapan-ungkapan lain dalam pergaulan sehari-hari seperti, kubeu pok keunambam, leumoe pok taloe, artinya, kerbau menanduk tambang, sapi menanduk tali, artinya seseorang yang bersikap ingkar terhadap sesuatu yang mesti diterimanya dengan wajar. Ban laku geupeh geundarng meunan tanari, seperti bunyi gendrang, begitu pula gerak tarinya, maksudnya, seseorang harus menyesuaikan dirinya dengan suasana di sekitarnya.
Bukan itu saja, dalam adab berkawan pun hadihmaja mengaturnya. Lebih khusus lagi misalnya etika dalam menertawai sesuatu hal. Masyarakat Aceh memilah-milah tawa mulai dari tawa yang baik sampai tawa yang buruk, yang ditamsilkan antara tawanya iblis, tawa kuda, tawa teungku dan tawanya para ulama, sebagaimana termaktub dalam hadihmaja, khém meuhah-hah saleuék iblih, khém meuhih-hih saleuék guda, khém teuseunyöm saleuk bak teungku, khém sigeutu saleuék ulama.
Adat dan Hukum
hadihmaja juga menjadi pranata adat dan hukum dalam masyarakat Aceh. Banyak hadihmaja yang mengungkapkan rambu-rambu dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Segala seuatu bagi masyarakat ada aturan mainnya, sebagaimana diungkap dalam hadihmaja, lampöh meupageué, umöng meuateuéng, uteuén meutaloë, nanggroë meuraja.
Aturan-aturan di luar aturan resmi (hukum positif) dari negara itu, terkadang lebih ditaati dan ditakuti oleh masyarakat Aceh dibandingkan aturan dari negara. Malah di pelosok gampong-gampong di Aceh, masyarakatnya lebih memahami hukum adat melalui hadihmaja ketimbang undang-undang. Aturan hidup bersama dalam masyarakat secara umum dijabarkan dalam hadihmaja, lam udep tameusare, lam meugle tameubila, lam lampöh tameutulông alang, lam meublang tameusyedara, sebuah ungkapan sederhana tapi sarat makna.
Ketaatan pada aturan (hukum) baik hukum adat, negara, maupun hukum agama merupakan syarat mutlak dalam hidup bermasyarakat yang digambarkan dalam ungkapan, adat meukoh reuboeng, hukom meukoeh purieh, adat jeut beurangkaho takoeng, hukom han jeut beurangkahoe takieh. Makna lainnya dari hadihmaja ini adalah, adat dan hukum tidak boleh ditafsirkan sembarangan.
Sementara larangan untuk melanggar hukum disebutkan dalam salah satu hadihmaja, buleun pengeuh takawe eungköt, watei ie suröt taköh bak bangka, tasuét gleuéng meuh sôk gleuéng balöt, buet han patöt bek takeurija. Seseorang diwajibkan untuk taat pada hukum dengan segala aturan hidup bermasyarakat dan tidak dibolehkan untuk menggantikannya dengan aturan yang tidak menentu. Hadihmaja berikut ini menegaskan tentang hal itu, bék tasuet gleuéng meuh, ta sôk gleuéng balot, adat nyang patoet bék ta tuka.
Segala sesuatu harus ditempatkan pada tempatnya tanpa boleh dicampuradukkan dengan hal-hal yang lain, apalagi yang bertentangan dengannya. Ini ditegaskan dalam hadihmaja, hana patoet ta peupatoet, gaki euntoet ta boeh geunta, hana layak ta peulayak, jaroe supak ta boeh gaca. Namun tamsilan hadihmaja ini akan memberikan arti yang berbeda bila objek yang dituju berbeda.
Dan tentunya masih banyak lagi hadihmaja yang lebih radikal dalam kritikan, lebih lucu dalam humornya. Dari beberapa contoh diatas, jelas bahwa peran hadihmaja dalam kehidupan masyarakat Aceh sangat kental. Namun sangat disayangkan, sampai kini, dokumentasi terhadap hadih maja sangat jarang, bahkan boleh dibilang langka.
Untuk itulah perlu adanya sebuah dokumentasi dalam bentuk buku untuk menyelamatkan khasanah budaya Aceh ini. Hal ini harus dilakukan oleh kita sendiri sebagai masyarakat Aceh tanpa harus berharap pada orang lain, karena kata endatu, ta harap keu syedara buta siblah, ta harap keu gob buta dua blah, ta jak keu droe baroe bagah, ta pubuet keudroe nyan baro sah.[]
Belum ada tanggapan untuk "Mengupas Hadihmaja"
Post a Comment