Koruptor di Aceh mendapat keuntungan ganda; hasil korupsi dan dana advokasi ke pengadilan. Sementara kasus prodeo terabaikan. Setelah Abdullah Puteh kini giliran Ilyas Pase.Sebuah kemirisan ketika melihat di pengadilan, masyarakat miskin yang terlibat kasus pidana harus menghadapi dakwaan jaksa di muka hakim tanpa dampingan penasehat hukum. Kenyataan seperti itu, tentu akan sangat mencederai hak rakyat miskin untuk memperoleh keadilan. Rakyat yang tak mengerti hukum kadang kala terjebak dalam dakwaan tanpa pembelaan.
Pembenaran terhadap dakwaan akan bisa saja diamainkan, meski dengan kelengkapan alat bukti yang tidak cukup. Rakyat miskin akhirnya hanya jadi korban. Bayangkan seandainya itu terjadi pada terdakwa yang tidak pernah melakuaan sama sekali perkara seperti apa yang didakwakan. Tentu rakyat yang tak bersalah akan dengan mudah “digiring” dalam penjara.
Padahal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 56 disebutkan setiap warga negara yang tersangkut masalah hukum dengan ancaman di atas lima tahun penjara, bila tidak mampu secara ekonomi untuk membayar penasehat hukum, maka negara wajib menyediakan pengacara untuk mendampinginya di pengadilan.
Atas dasar itu pula, dalam setiap pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), selalu diusulkan dana bantuan hukum sebagai salah satu mata anggaran. Jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Tidak hanya di tingkat satu, tapi juga kabupaten/kota.
Ironisnya, setelah dana itu disahkan oleh dewan, yang menggunakan dana tersebut bukanlah masyarakat miskin yang terjerat masalah di pengadilan. Tapi lebih sering untuk mengadvokasi para pejabat korup yang terlibat kasus korupsi. Maka sah lah koruptor mendapat keuntungan ganda, yakni hasil korupsi dan biaya untuk membayar pengacara dari anggaran daerah.
Kasus terbaru misalnya seperti di Kabupaten Aceh Utara. Dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) 2010 dialokasikan dana bantuan hukum senilai Rp3 miliar. Jumlah itu mengalami kenaikan pesat dari tahun sebelumnya yang hanya Rp100 juta.
Naiknya anggaran tersebut karena Bupati Aceh Utara, Ilyas Pase sedang tersandung kasus deposito kas daerah senilai Rp220 miliar di Bank Mandiri Cabang Jelambar, Jakarta. Bila dana itu digunakan untuk mengadvokasi pimpinan daerah yang terjerat kasus korupsi, lalu bagaimana dengan masyarakat miskin yang tersandung kasus di pengadilan, siapa yang akan membayar pengacara untuk mereka?
Maka tak salah kalau kemudian Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menilai kebijakan tersebut tidak tepat. Alfian dan lembaganya menolak kebijakan itu karena selain tidak rasional juga menyakiti nurani masyarakat Aceh Utara.
Kalau pun dana bantuan hukum Rp3 miliar itu disahan, penggunaannya harus diperjelas, perkara hukum apa saja yang diadvokasi. Bila untuk advokasi kasus pimpinan daerah yang terjerat korupsi saja, kita kembali harus bertanya, bagaimana dengan masyarakat banyak? Berapa rupiah yang ia dapatkan dari daerah untuk memperjuangkan nasibnya di muka hukum?
Saya teringat kembali bagaimana pada tahun 2004, ketika Gubernur Aceh, Abdullah Puteh tersandung masalah hukum atas dakwaan korupsi. Penggunaan dana advokasi untuk Abdullah Puteh dari anggaran daerah senilai Rp4,13 miliar jadi masalah. Adalah Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, Andi Amir Ahmad yang mengungkap kasus tersebut waktu itu.
Dana yang seyogianya digunakan untuk bantuan hukum bagi rakyat yang tidak mampu, malah digunakan untuk kepentingan pribadi penguasa. Dan Andi pun tidak segan-segan menunjuk hidung Gubernur (non aktif) Aceh Abdullah Puteh, bersama Kepala Biro Hukum Setdaprov Aceh Hamid Zein sebagai benalu yang menjalar di dana milik rakyat miskin tersebut.
Konon katanya dana sebanyak Rp4,13 miliar itu diduga digunakan untuk membayar pengacara yang membela Abdullah Puteh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun sampai Andi pindah dari Aceh, kasus tersebut tidak jelas juntrungannya.
Ini seolah mempertegas mentalitas pemimpin kita yang lebih cenderung berminat dan tertarik untuk melindungi proses yang sistimatis, yang dalam proses tersebut mereka bisa menguasai alur mengalirnya dana publik, untuk tujuan memperbesar keuntungan pribadi, dari pada membela dan meningkatkan kesejahteraan kaum miskin.
Dipakainya dana itu untuk advokasi Abdullah Puteh terungkap saat sidang anggaran 2005 di DPRA –saat itu masih DPRD. Kala itu anggota panitia anggaran, Mukhlis Muchtar mempertanyakan alokasi dana bantuan hukum yang mengalami penurunan dari Rp10,8 miliar pada tahun 2004 turun menjadi Rp4 miliar tahun 2005.
Jumlah yang menyolok pada tahun sebelumnya itu menarik perhatian bagi Mukhlis Muktar. Dalam sidang anggaran ia pun mempertanyakannya kepada Kepala Biro Hukum dan Humas Sekdaprov Aceh, Hamid Zen.
Dalam jawabab yang diberikan Hamid Zen waktu itu, terungkap bahwa pembengkakan pada tahun sebelumnya terjadi karena adanya alokasi untuk membiayai proses hukum gubernur (non aktif) Abdullah Puteh Rp5,7 miliar. Dari jumlah itu Rp4,8 miliar dicairkan untuk membayar pengacara dan akomodasi para saksi ke Jakarta. Pengacara yang membela Abdullah Puteh waktu itu adalah Juan Felix Tampubolon, OC Kaligis, Muhammad Assegaf, dan Seno Aji.
Kini kisah yang sama terjadi di Aceh Utara. Rp3 miliar dana bantuan hukum telah dianggarkan untuk mengadvokasi Bupati Ilyas Pase dan konconya yang tersandung di pengadilan akibat kebijakan mendeposito Rp220 miliar kas daerah di Bank Mandiri Cabang Jelambar, Jakarta.
Enaknya menjadi pejabat yang setelah korupsi masih dibiayai dengan kas daerah untuk menyelesaikan kasus korupsinya di pengadilan. Sementara Mawa Rabiah yang terseok di pengadilan harus berjuang sendiri tanpa mampu membayar pengacara.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Prodeo"
Post a Comment