Silopsisme kini melanda pikiran sebagian golongan di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Mereka hanya percaya apa yang mereka yakini, sehingga menolak percaya apa saja di luar keyakinan politik mereka sendiri. Imbasnya hak rakyat terabaikan.
Faktanya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sampai sekarang belum disahkan. Pro-kontra calon independen pada pemilihan gubernur/wakil gubernur dan kepala pemerintah daerah tingkat dua sampai kini belum tuntas. Dua hal ini saja merupakan hak paling asasi bagi rakyat Aceh untuk menikmati dan menjalankannya, belum terpenuhi.
Jauh sebelum itu, silopsisme golongan juga diperlihatkan oleh sekelompok anggota dewan mayoritas di DPRA pada ‘perebutan’ satu jabatan wakil ketua. Aturan undang-undang diaduk-aduk dan dibenturkan untuk membernarkan pendapatnya. Hasilnya, perangkat pimpinan di DPRA lowong dengan tidak adanya satu wakil ketua.
Ketika mereka yang disebut wakil rakyat itu larut dalam silopsismenya, maka hak-hak masyarakat banyak yang harus diperjuangkan terabaikan. Aceh kini benar-benar kekurangan pemimpin yang berpengetahuan tentang kerakyatan. Mereka yang dulu dalam gerakan perlawanan kini terjebak pada pemenuhan misi kelompok semata. Gerakan mereka berhasil membangun pemerintahan baru, tapi gagal dalam mewujudkan cita-cita kepemimpinan yang dijanjikannya kepada rakyat.
Penempatan seorang pejabat masih kentara faktor suka tidak suka plus berapa setoran yang sanggup dipenuhi sebagai ‘mas kawin’ untuk satu kursi. Imbasnya, berbagai jabatan kini dipimpin oleh orang-orang yang tidak pada tempatnya. Banyak tenaga dan biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pemerintahan pada jabatan tertentu, tapi hasilnya untuk rakyat masih jauh dari memuaskan.
Inilah yang lima puluh empat tahun lalu, pada 11 Juni 1957 diwanti-wanti oleh Wakil Presiden Republik Indonesia pertama; Muhammad Hatta dalam pidatonya pada hari alumni pertama Universitas Indonesia (UI).
Bapak proklamator itu menyentil tentang silopsisme yang melanda para pejabat di nusantara yang hanya berpikiran golongan, sehingga politik bangsa terkotak-kotak, hingga kemudian silopsisme muncul diantara kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya sebagai yang paling benar dan menolak yang lain di luar kelompoknya.
Kondisi seperti itu kini masih terjadi di Aceh, baik di legislatif maupun di eksekutif. Sekarang sebagian besar mereka yang duduk di tampuk pimpinan di Aceh adalah mereka-mereka yang dulunya mengatasnamakan rakyat dalam pertentangan Aceh dengan Jakarta dalam waktu tiga dekade.
Setelah damai, para pemanggul senjata itu menceburkan diri dalam politik dengan pemahaman politik yang seadanya. Jadilah sekarang politik di Aceh digerakkan oleh segolongan orang yang berkepentingan dengan tiada pengetahuan yang cukup. Dampaknya, politik dan demokrasi di Aceh tidak lagi diartikan sebagai usaha melaksanakan tanggung jawab terhadap kepentingan dan kebutuhan rakyat, tapi telah dipandang sebagai jalan untuk mencari keuntungan dan membagi-bagi rejeki jabatan kepada golongan tertentu.
Dewan kita lebih sibuk memperjuangkan dana aspirasi Rp5 miliar per orang, tinimbang mengurus perut rakyat yang masih keroncongan. Ratusan miliar dana aspirasi itu pun bukannya dinikmati oleh rakyat yang memilihnya, tapi ke kantong-kantong rekan, sejawat, dan famili dari kelompok mereka sendiri.
Muhammad Hatta menyebut ini sebagai tabiat politik yang menimbulkan efek komulatif, tidak saja partai yang berpengaruh di lembaga legislatif yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak pada tempatnya di situ, tidak saja kursi di parlemen itu diisi oleh orang-orang yang tidak memenuhi syarat, tapi jiwa partai mereka sendiri telah rusak karena perbedaan antara cita-cita pendiriannya dengan praktek yang dijalankan oleh mereka.
Tak heran bila kemudian rakyat bersuara. Berulang kali sudah lembaga terhormat yang dihuni oleh mereka yang dinamai wakil rakyat itu didemo, tapi pekak mungkin masih mereka rasakan hingga tuntutan demi tuntutan itu tak terdengar di telinga mereka. Selasa (5/4/11) lalu malah Rizwan, seorang mahasiswa dari Mahasiswa Peduli Rakyat (MPR) pecah bibir hingga berdarah setelah bentrok dengan aparat kepolisian di gedung dewan.
Padahal para mahasiswa itu datang untuk menyuarakan tuntutan yang sangat lumrah, yakni meminta Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2011 segera disahkan dan pemilihan kepala pemerintahan di Aceh dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan; Oktober 2011. Ironisnya memang.
Inilah kondisi di Aceh sekarang. Wakil rakyat seolah tak lagi mewakili rakyat, tapi utusan kelompok dan golongan tertentu, hingga antara rakyat dan wakilnya terdapat jurang pemisah. Ketika wakil rakyat yang mereka pilih tak lagi memihak kepada kepentingan mereka, maka wakil rakyat itu bukan lagi mereka (rakyat).
Menutup catatan singkat ini saya kutip pernyataan Aristoteles, “Terhadap dirinya sendiri rakyat tidak akan berontak.” Maka, berusahalah menjadi wakil rakyat yang merakyat, agar rakyat tak memberontak. Jangan melulu terjebak dalam silopsisme kelompok.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Silopsisme"
Post a Comment