Hasil dari trafficking lebih banyak dari penjualan narkoba. Maka praktek perdagangan manusia marak di Indonesia. Aceh pernah jadi sasaran pascatsunami.
Organisasi kriminal antar negara masih menjadikan Indonesia sebagai sasaran ekspoitasi manusia ke negara lain. Inilah perbudakan moderen yang dikenal sebagai trafficking in person.
Seperti dilansir Kompas pekan lalu, angka trafficking tertinggi di Indonesia terjadi di Kalimantan dan Pulau Jawa. Pelakunya merupakan sindikat antar negara (Transnational Organized Crime). Modus operandinya dengan iming-iming pekerjaan di luar negeri. Ada juga sebagaian melalui penculikan.
Pemerintah menaruh perhatian besar terhadap bahaya traficking tersebut. Karena itu diterbitkan keputusan Presiden no 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (P3A).
Untuk mencegah maraknya perdagangan manusia. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 21 tahun 2007, tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Undang-undang ini dalam pasal dua mengatur tentang hukuman bagi para pelaku trafficking, yaitu ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun, minimal 3 tahun, serta sanksi denda Rp120 juta sampai Rp600 juta.
Pascatsunami, untuk menghindari anak-anak Aceh dibawa ke luar daerah sebagai korban trafficking, Pemerintah Aceh membentuk Gugus Tugas Penanggulangan Perdagangan Perempuan dan Anak (P3A) pada 17 Januari 2007. Laporan kepolisian Republik Indonesia waktu itu tercatat 1.683 kasus. 1.094 diantaranya diajukan sampai ke pengadilan. Kasus itu terjadi di 16 kota di Indonesia. Aceh salah satu sasarannya.
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polda Aceh waktu itu menemukan 10 kasus di Aceh yang berhasil diproses. Namum maraknya arus keluar manusia dari Aceh yang tak terdata pascatsunami, diyakini kasus trafficking di Aceh lebih dari jumlah tersebut. Pada masa panik setelah tsunami, banyak anak yang hilang di Aceh.
Kita masih ingat kasus bocah Ryan, korban trafficking asal Aceh yang melarikan diri dari Medan, dibantu oleh supir mobil penumpang L300 diantar pulang kekampungnya di Ulhee Lheu.
Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Sekdaprov Aceh—waktu itu dijabat—Lailisma Sofyanti malah kemudian mempertemukan Ryan dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan di Meuligoe Gubernur Aceh. Perhatian serius pemerintah terhadap masalah trafficking di Aceh waktu itu begitu besar. Tapi sekarang, ketika isu trafficking secara kembali mencuat. Bukan tidak mungkin kelompok pelaku perdagangan manusia beroperasi di Aceh.
Bulan lalu di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Kota Banda Aceh terjadi dua kali penculikan anak, meski kemudian ditemukan kembali. Salah satunya dicampakkan di Lampulo. Bukan tidak mungkin ini merupakan bagian dari permainan sindikat perdagangan manusia.
Pada tahun 2006, Komnas perempuan melaporkan sembilan wanita asal Aceh menjadi korban Trafficking. Sementara International Organization Migration kala itu mencatat 13 kasus korban trafficking asal Aceh yang berhasil dipulangkan.
Para korban trafficking itu, dua orang diperdagangkan sebagai pembantu rumah tangga, satu pelayan restoran, satu pekerja konstruksi bangunan, sisanya tujuh lagi siekspoitasi di tempat penampungan sebelum di bawa ke negara tujuan.
Forum Masyarakat Anti Trafficking (Format) Aceh juga pernah menemukan beberapa kasus perdagangan manusia di Aceh. salah satu kasus yang ditangani organisasi bentukan Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI) ini kala itu dalah SE korban trafficking, asal salah satu daerah transmigrasi di Lampung yang dijanjikan akan diangkat menjadi anak oleh pelaku dan dijanjikan disekolahkan.
SE ketika itu baru tamat SMP dan berusia sekitar 17 tahun, masih termasuk katagori anak menurut UU No. 23 tahun 2002. Ia dibawa oleh pelaku ke beberapa daerah. pasca tsunami ia dibawa ke Aceh dalam keadaan hamil delapan bulan. kasus itu berhasil diungkap ketika SE dan pelaku berada di Bener Meriah.
Korban kemudian dibawa ke Banda Aceh, setelah melahirkan dipulangkan ke keluarganya. Sementara pelaku ditahan di Polres Bener Meriah. Kasus itu memang terjadi tiga tahun lalu, tapi tidak mustahil kasus yang sama juga terjadi sekarang di Aceh. Apalagi setelah masa rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh selesai, pengangguran membludak akibat tidak adanya lapangan kerja. Celah inilah yang sering dipakai para pelaku trafficking untuk memperdaya korban.
Kita berharap, maraknya trafficking di Indonesia, sebagaimana dilansir Kompas pekan lalu dalam laporan utamanya, tidak merambah Aceh. Sudah saatnya kita waspada terhadap ancaman ini.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Trafficking"
Post a Comment