Ketika orang lain sudah pada capaian, pendidikan kita masih terjebak progamDunia pendidikan di Indonesia masih berpolemik. Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) diperdebatkan hingga ke ranah hukum. Banyaknya siswa yang tidak lulus memunculkan lawsuit (gugatan masyarakat). Presiden c/q Menteri Pendidikan Nasional digugat.
Kristono dan kawan-kawan yang mengajugan gugatan tersebut, memenangkan gugatan hingga ke pengadilan tinggkat tinggi. Dan pada 14 September 2009, Mahkamah Agung menguatkan putusan itu dengan menolak kasasi yang diajukan pemerintah selaku tergugat. Namun agar tak kehilagan muka, pemerintah mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan itu.
Sambil menunggu kepastian hukum, Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) menyatakan tetap menggelar UN pada tahun ajaran 2010, dengan nilai standar kelulusan 5,5. Hal ini kemudian dipertegas kembali oleh Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh. Ia mengatakan akan melakukan penyempurnaan terhadap sistem UN.
Lagi-lagi pendidikan kita terjebak pada mencari dan mencari sistem, yang belum tentu sistem itu nantinya tidak dipolemikkan lagi. Akhirnya pendidikan kita tetap berputar dalam debat kusir yang itu itu terus.
Menulis tentang pendidikan, saya teringat kembali pada catatan lama tentang Shantiniketan, sebuah lembaga pendidikan kecil di India yang mampu mengantarkan alumninya meraih nobel.
Tahun 1913, Rabindranat Tagore membangun lembaga pendidikan yang bermakna tempat damai. Peraih nobel bidang sastra tersebut menciptakan metode pendidikan yang jauh dari kekangan. Dari situ pula kemudian lahir Amartya Sen, peraih nobel bidang ekonomi tahun 1998.
Shantiniketan setidaknya bisa memberi pelajaran bagi kita. Seperti dikatakan Michel De Montaigne, kita tidak bisa menjadi bijaksana dengan kebijaksanaan orang lain, tapi bisa berpengetahuan dengan pengatahuan orang lain. Bukanlah suatu kesalahan bila pengetahuan Shantiniketan jadi rujukan untuk jadi pengetahuan kita bagaimana memformat pendidikan yang bermutu.
Paradigma pendidikan harus dirubah. Pendidikan konvensional bukan zamannya lagi. Chairman of the Board Intel Corporation, menawarakan empat kunci untuk memajukan pendidikan, yaitu: akses teknologi, konektivitas, konten yang sesuai dengan kebutuhan, serta guru yang mampu menggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Sudah sepatutnya kesalahan masa lalu tentang gonta-ganti kurikulum pendidikan jadi pengalaman untuk sebuah ajaran atas kesalahan. Mari sejenak kita mengutip apa yang dikatakan Dale Carnige, orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dengan cara yang berbeda.
Kembali ke Shantiniketan, jeniusnya siswa yang keluar dari lembaga pendidikan tersebut, karena Rabindranat Tagore berani melakukan sesuatu yang beda dengan lembaga pendidikan resmi waktu itu. Ia tidak mengekang siswa dalam kelas, tapi membuat lembaga pendidikan benar-benar jadi tempat yang nyaman sesuai dengan namanya.
Jam pelajaran yang melimpah dan melulu di dalam kelas malahirkan kebosanan. UNESCO mensyaratkan 800 sampai 900 jam pelajaran pertahun untuk Sekolah Dasar. SLTP dan SMA sedikit lagi di atasnya. Sementara di Indonesia, menurut UNESCO berlaku 1.400 jam per tahun. Hal ini tentu membuat siswa menjadi lumanyan jenuh. Apalagi ketika pendidikan hanya monoton di dalam kelas.
Hal itu kemudian diperparah lagi dengan persoalan UN yang memunculkan kontroversi sampai sekarang. Sebuah metode ujian yang kemudian harus ditarik dalam dimensi yuridis setelah pemerintah digugat oleh warganya.
Standarnisasi nilai kelulusan siswa tidak bisa disamaratakan secara nasional, sebelum pemerintah memenuhi kewajibannya membangun fasilitas pendidikan yang sama pula antara kota dan desa. Sebelum itu dilakukan maka UN akan tetap dinilai sebagai bentuk diskriminasi terhadap siswa.
Ketika siswa di desa terpencil dituntut untuk sama dengan siswa di kota, pemerintah harus menyiapkan perangkat yang saman untuk menunjangnya. Siswa tidak dilahirkan dalam keadaan jenius, perlu seperangkat alat untuk membuat mereka mampu. Kata Thomas Alva Edison, jenius hanyalah satu persen inspirasi dan 99 persen keringat. Tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras. Keberuntungan hanyalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu kesiapan.
Siswa di desa sudah siap berkeringan tapi belum menemukan kesempatan untuk merasakan pendidikan dengan kualitas kota. Jadi jangan salahkan mereka ketika tidak lulus. Dan tipuan lama akan kembali terjadi pada UN nantinya, di mana guru mengirim jawaban kepada siswa melalui pesan singkat (SMS) di telepon genggam. Setelah itu kita akan sama sama membaca berita di koran, sekolah polan lulus UN 100 persen, sekolah polen sekian persen. Sebuah aksi tipu-tipu yang menipu diri sendiri.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Shantiniketan"
Post a Comment