Birokrat kita orang-orang pilihan yang tak mampu menjembatani kebutuhan publik dengan kekuasaan, sehingga triliunan anggaran mati dalam genggaman.
Sebuah kepanikan di akhir tahun, dinas saling berlomba menghabiskan anggaran. Mengenjot serapan. Meski akhirnya, triliunan dana harus kembali ditarik ke pusat karena tak mampu dihabiskan. Di sisi lain, keironisan terpampang hampir seantero Aceh, jalan yang berlubang dan berkubang, jembatan yang hancur tak juga kunjung diperbaiki.
Andai pembangunan benar-benar merata sampai ke pelosok, serapan anggaran di akhir tahun akan habis. Kondisi ini tak ubahnya memperdengarkan angin surga kepada jelata (baca rakyat). Di awal tahun anggaran mereka membaca dan mendengar sekian triliun dana dikucurkan ke Aceh, namun akhirnya, harus harus kembali menelan ludah, karena dana itu tak juga mengalir ke jalan-jalan yang rusak dan jembatan-jembatan yang hancur.
Aceh tak ubahnya orang kaya baru yang tak mampu membelanjakan hartanya. Setelah kran anggaran terbuka dan triliunan dana dari pusat mengalir ke Aceh, birokrat kita terbelalak dan gamang, sehingga setiap akhir tahun ada saja dana yang dikembalikan ke pusat. Jelata hanya sebatas menghitung angka-angka di media massa, yang saban hari ternyata jumlah jelata sendiri semakin bertambah saja. Dengan dana yang besar, pemerintah belum mampu menciptakan lapangan kerja. Ironis.
Ketika menulis ini, saya teringat kembali visi dan misi Pemerintahan Irwandi- Nazar pada poin pertama tentang perekonomian, yakni membangun kembali infrastruktur perekonomian di seluruh Aceh sehingga akhirnya seluruh teritorial Aceh dapat menjadi satu kesatuan politik dan satu kesatuan ekonomi. Hal yang kini patut dipertanyakan kembali.
Mendengar angka Rp9,7 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanca Aceh (APBA) di awal tahun 2009. Jelata menaruh harapan besar. Namun sayang setengahnya kini terancam harus dikembalikan ke Jakarta. Jelatan tetap dalam harapan-harapan semu. Ini tak ubahnya apa yang pernah dikatakan Ketua Lembaga Bantuan Hukum Philipina, Dr Salvador Laurel: You have shown me the sky to a creature who’ll never do better than crowl. Anda memperlihatkan langit padaku, tapi apalah artinya cakrawala bagi manusia kecil melata yang hanya merangkak terseok-seok.
Rencana pembangunan Aceh belum sepenuhnya menyentuh masyarakat bawah. Apa yang terlihat dalam konsep tampak tertib, teratur, jelas, rapi bin pasti, hanya kamuflase yang penuh dengan ketidakpastian bagi masyarakat kecil. Seharusnya, para birokrat yang menyusun konsep tersebut, mereka yang terpilih melalui serangkain tes harus mampu mengimplementasikan hal itu hingga ke tingkat bawah. Bukan dengan serta-merta melepaskan anggaran triliunan ditarik kembali ke pusat.
Dalam pemikiran sosiolog G W H Hegel, birokrat seharusnya menjadi jembatan penghubung antara kepentingan rakyat dengan pemerintah. Itulah tugas utama mereka yang di Aceh disebut sebagai Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Mereka harus netral menselaraskan kepentingan pemerintah dengan kehendak rakyat.
Max Weber, sosiolog lainnya memandang birokrasi sebagai pembagian kerja yang memiliki hirarki yang jelas. Mereka orang-orang profesional yang dibayar sesuai aturan. Lalu mengapa birokrat kita yang katanya profesional dan birokrasi yang memiliki hirarki yang jelas, tak juga mampu menjembatani kebutuhan publik dengan keinginan pemerintah? Atau apakah birokrasi kita terlalu memihak kepada kekuasaan. Kalau benar berarti mereka mengenyampingkan Hegel dan Weber dengan berkiblat pada Karl Marx yang menginginkan birokrasi berpihak kepada penguasa, itupun dengan syarat kekuasaan harus dipegang oleh kaum proletar. Entahlah.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Birokrat dan Anggaran"
Post a Comment