Sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang meninggalkan berbagai kisah. Harakiri salah satu cerita di balik kekalahan Jepang di Aceh. Petinggi militer Jepang, Mayor Ibihara bunuh diri setelah berdamai dengan pihak Aceh di Bireuen.
Peristiwa itu terjadi pada 26 November 1945 setelah pasukan Jepang di Bireuen mengibarkan bendera putih, mengakhiri pertempuran. Pimpinan pasukan Jepang Mayor Ibihara dan juru bicara Muramoto merasa malu dengan kekalahan tersebut. Ibihara pun bunuh diri dengan cara harakiri.
Cerita di balik sejarah tersebut bermula ketika dua batalyon tentara Jepang diangkut dari Lhokseumawe ke Bireuen pimpinan komando Mayor Suzuki. Batalyon ini sejak awal ditempatkan di Lhokseumawe, tapi satu kompi di antaranya dipulangkan ke Medan diganti dengan kompi lain dari Lhoksukon.
Batalyon yang dipimpin Mayor Suzuki berasal dari mantan batalyon pengawal lapangan terbang Blang Pulo dengan komandan Mayor Metsugi. Gabungan kedua Batalyon ini dinamai Suzuki Butay karena dipimpin Mayor Suzuki.
Jepang ingin kembali menduduki beberapa tempat di Bireuen yang banyak menyimpan senjata dan perbekalan perang. Lokasi yang dituju Jepang antara lain: Teupin Mane, Geulanggang Labu, Tambo, Cot Gapu, Blang Pulo dan Kota Bireuen. Mereka akan menggali timbunan senjata untuk diserahkan pada sekutu di Medan.
Di Cot Gapu terdapat terdapat lapangan terbang darurat yang sebelumnya dijadikan resimen induk Jepang yang memasok kebutuhan logistik militernya. Di sana waktu itu masih tersimpan logistik dan senjata Jepang termasuk tank yang onderdilnya sudah dipreteli. Malah dari sekian banyak tank di situ, delapan diantaranya masih bisa difungsikan setelah diperbaiki oleh montir M Yusuf Ahmad.
Sebelum 1000 pasukan Jepang sampai ke Cot Gapu untuk mengambil kembali persenjataannya. Pemuda pejuang dan rakyat menghadangnya di kawasan Krueng Panjoe. Dipilihnya Krueng Panjoe sebagai lokasi penghadangan karena sangat cocok untuk melakukan pengepungan karena dilintasi jalur kereta api.
Pasukan Jepang yang diangkut dengan kereta api cocok dihadang di tempat tersebut. Selain itu, Krueng Panjoe berada di daerah persawahan di sana terdapat tanggung besar yang digunakan untuk mengairi sawah. Tanggul itu bisa dijadikan sebagai pertahanan.
Rel kereta api di Kampung Pante Gajah dekat Krueng Panjoe sekitar tiga kilometer sebelum masuk Stasiun Kereta Api di Matang Geulumpang Dua di bongkar. Pukul 20.30 siang, 24 November 1945, ketika kereta api terperosok tentara Jepang pun diserang dari berbagai sisi.
Pertempuran berlangsung dari siang sampai malam. Subuhnya tentara Jepang menggali lobang perlindungan. Tentara Jepang terkurung. Rakyat Krueng Panjoe bersama pasukan Angkatan Perang Indonesi dan Tentara Kemanan Rakyat (API/TKR) terus menggempur. Bersamaan dengan itu pintu bendungan dibuka, alir mengalir deras ke sawah. Lubang-lubang perlindungan yang digali Jepang penuh dengan air. Mereka terendam dalam persembunyian. Meski demikian, pertempuran terus berlangsung sampai sore hari.
Pada hari ke tiga, 26 November 1945 pukul 12.50 tentara Jepang mengibarkan bendera putih di gerbong kereta api. Jepang menyerah. Pimpinan pasukan Jepang Mayor Ibihara dan juru bicara Muramoto keluar dari gerbong kereta api dengan bendera putih di tangan. Setelah melakukan perundingan Mayor Ibihara tewas. Ia melakukan harakiri (bunuh diri) akibat kekalahan pasukannya itu.
Perlawanan Teungku Abdul Jalil Bayu
Selain di Krueng Panjoe, peristiwa heroik melawan Jepang juga terjadi di Bayu dan Pandrah. Sebagian para ulama non PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh-red) waktu itu menolak masuknya Jepang setelah Belanda menyerah.
Mereka menganggap itu sama saja seperti talet bui tapeutamong asei (mengusir babi, menerima anjing). Penetangan itu dalam istilah Ali Hasjmy disebut sebagai “opisisi keras” terhadap pendudukan Jepang.
Pemberontakan bersenjata yang dilakukan sebagian ulama non PUSA itu memperkuat alasan bagi PUSA/Pemuda PUSA dalam menuntut Jepang memberikan kesempatan yang luas kepada para ulama dalam bidang pemerintahan.
Tuntutan ini sebagian berhasil, antara lain dengan pembentukan Mahkamah Syariah di seluruh Aceh. Para pemuda PUSA/Kasysyafatul Islam juga diterima untuk dilatih menjadi tentara Gyugun dan Tokubetsu.
Salah seorang penggerak pemberontakan terhadap Jepang itu adalah Teungku Abdul Jalil, seorang ulama muda dari Buloh Blang Ara, Aceh Utara. Ia merupakan alumni Dayah Teungku Muhamamad Amin Jumphoh di Pidie, kemudian melanjutkan pendidikan ke Dayah Krueng Kale salah satu pusat pendidikan Islam terkenal di Aceh Besar yang dipimpin oleh Teungku Hasan Krueng Kale.
Dari sana ia pindah ke Dayah Cot Plieng Bayu, Lhoksukon, Aceh Utara pimpinan Teungku Ahmad. Di sana Abdul Jalil menikah dengan Teungku Asiah, putri Teungku Ahmad. Di sana ia kemudian menggantikan mertuanya memimpin Dayah Cot Plieng hingga digelar Teungku Syik.
Para guru Teungku Abdul Jalil di antaranya Teungku Muhammad Amin Jumphoh maupun Teungku Teungku Haji Krueng Kale dan Teungku Ahmad merupakan kelompok ulama non PUSA yang disebut sebagai “kaum tua” sementara ulama PUSA disebut “kaum muda”. Dengan latar belakang pendidikan di tiga ulama tersebut, membuat Teungku Abdul Jalil menjadi ulama muda yang sangat militan menentang pendudukan Jepang.
Teungku Abdul Jalil tidak menyetujui kerja sama dengan Jepang, berbeda dengan ulama PUSA yang melakukan ‘taktik perjuangan” kerja sama untuk mengusir Belanda. Hal itu pula yang kemudian membuat perbedaan ijitihad antara kelompok tua dan kelompok muda dalam menghadapi Jepang.
Teungku Abdul Jalil dan kawan-kawannya secara diam-diam melakukan dakwah anti Jepang dan seruan jihat fi sabilillah dari desa ke desa. Menjelang akhir tahun 1942, dakwah diam-diam tersebut menjadi terang-terangan, setelah kekejaman tentara Jepang menjadi pengalaman pahit bagi masyarakat. Para santri di Dayah Cot Plieng sudah siap untuk berperang. Hal itu kemudian diketahui oleh intelijen dan kampetai Jepang.
Jepang berusaha meredam upaya pemberontakan Teungku Abdul Jalil tersebut dengan menggunakan orang Aceh yang bekerja untuk Jepang dan para Uleebalang yang telah diangkat menjadi Gunco (wedana) dan sunco (camat).
Selain itu ulama PUSA/Pemuda Pusa juga diminta Jepang untuk melakukan dakwak tandingan. Meski tidak menolak permintaan Jepang tersebut, ulama PUSA/Pemuda PUSA lebih bersikap melihat saja apa yang dilakukan Teungku Jalil.
Salah satu penolakan halus itu dilakukan oleh Ali Hasjmy dari Atjeh Simbun. Ia bersama Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH menolak tugas Jepang untuk pergi ke Bayu, Lhoksukon menghentikan gerakan Teungku Abdul Jalil. Aly Hasjmy atas saran Dokter M Mahjoeddin menggosok bawang putih di tulang punggungnya hingga badannya deman. Dengan alasan mengindap “malaria” Ali Hasjmy berhasil menolak tugas ke Bayu tersebut.
Sementara kaum Uleebalang yang menjabat sebagai Gunco dan Sunco terus membujuk Teungku Abdul Jalil agar mengurungkan niatnya memberontak terhadap Jepang. Namun hal itu tidak berhasil. Akhirnya Jepang memutuskan menghentikan upaya pemberontakan tersebut dengan kekuatan bersenjata.
Pada 6 November 1942, Jepang mengirim pasukannya ke Bayu dan membangun kubu pertahanan yang berhadapan dengan Dayah Cot Plieng yang menjadi markas Teungku Abdul Jalil. Pertempuran yang tak berimbang pun terjadi. Pasukan Teungku Abdul Jalil hanya bersenjatakan rencong, kelewang, lembing dan pedang, serta semangat fi sabilillah yang membara. Sementara pasukan Jepang memiliki persenjataan moderen.
Perang sengit yang digerakkan Teungku Abdul Jalil dibantu oleh adiknya Teungku Thaib itu berlangsung sehari suntuk. Korban kedua belah pihak berjatuhan. Seorang perwira jepang berpangkat mayor ikut tewas. Pertempuran baru reda pada sore hari setelah Teungku Abdul Jalil dan pasukannya meninggalkan Dayah Cot Plieng menuju pedalaman.
Dalam perjalanan Teungku Abdul Jalil singgah di Meunasah Baro. Dari sana ia dan pasukannya melanjutkan perjalanan hingga berhenti di Alue Badeeh untuk menyusun kekuatan sambil menunggu pasukan lain dari Bayu. Tiga hari kemudian, Jumat 9 November 1942, Teungku Abdul Jalil dan pasukannya kembali turun ke Meunasah Blang Buloh, sekitar sepuluh kilometer dari Bayu. Di daerah tersebut Teungku Abdul Jalil dan pasukannya melaksanakan shalat Jumat.
Keberadaan mereka diketahui oleh Jepang. Pasukan Jepang dengan tambahan tentara menyerbu ke desa tersebut. Jepang ingin menangkap Teungku Abdul Jalil tanpa pertempuran, yakni menunggunya di luar mesjid ketika ulama dan pasukannya tersebut sedang shalat Jumat bersama penduduk setempat.
Namun, ketika pasukan Jepang tiba ke Blang Buloh, Teungku Abdul Jalil dan pasukannya baru saja selesai melaksanakan shalat Jumat. Penangkapan itu pun gagal. Pertempuran sengit pun terjadi, Teungku Abdul Jalil dan pasukannya gugur.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ibihara Harakiri di Bireuen"
Post a Comment