|
Lukisan GP Booms tentang pembakaran rumah Teuku Umar oleh pasukan Belanda |
Teuku Umar bersama 15 pengikutnya pada 30 September 1893 menyerahkan diri kepada Belanda. Ia sumpah setia kepada Belanda di hadapan Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh, Jenderal Deijckerhoff.
Pengucapan sumpah itu dilakukan di hadapan Teuku Kadli di makan Teungku Di Anjong di Gampong Pelanggahan. Tempat itu sengaja dipilih oleh Belanda, karena termasuk salah satu makam keramat. Belanda berharap Teuku Umar tidak mengingkari sumpahnya yang diucapkan di makam ulama itu.
Paul Van’t Veer, dalam buku “Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hourgronje” mengungkapkan, pada awalnya Teuku Umar memang mentaati sumpahnya. Ia membantu Belanda melakukan penyerangan terhadap pejuang Aceh di beberapa tempat. Atas kesetiannya kepada Belanda itu, Teuku Umar diberi gelar “Panglima Perang Besar” dengan nama kebesaran “Teuku Johan Pahlawan”.
Belanda juga memberikan beberapa fasilitas kepada Teuku Umar diantaranya 380 senapan kokang moderen, 800 senapan jenis lama, 250.000 butir peluru, 500 kilogram mesiu, 120.000 sumbu mesiu, dan lima ton timah untuk mengisi sendiri persediaan mesiu. Ia juga diberikan candu dan uang sebanyak 18.000 ringgit Spanyol. Selain itu Belanda juga membangun sebuah rumah besar untuk keluarga Teuku Umar.
Tentang rumah mewah yang dibangun pemerintah Belanda untuk keluarga Teuku Umar itu digambarkan oleh M H Szekely Lulofs dalam buku “Tjoet Nyak Dhien” sebagai berikut:
“...Rumah itu berpotongan Aceh, didirikan dalam lingkungan pagar besi, yang dibangun di atas suatu fundamen beton yang kukuh dan dibuat dari kayu yang mahal serta dihiasi dengan ukiran-ukiran yang bagus, baik pada bagian luar maupun dalamnya. Di dalam rumah Aceh yang besar itu terdapat berbagai macam rupa perkakas rumah dan hiasan-hiasan orang Barat yang mahal harganya.”
Teuku Umar merupakan sosok yang sulit diterka pikirannya, baik oleh kawan maupun lawan. Banyak tindakan dan perbuatannya yang kadang-kadang kontoversi. Dalam bebera hal pemikirannya tidak sejalan dengan Cut Nyak Dhien, yang merupakan penasihat dan pendorong semangatnya.
Namun, beberapa penulis Belanda mengatakan bahwa peristiwa menyerahnya Teuku Umar kepada Belanda itu merupakan suatu “sandiwara besar” yang dirancang bersama Cut Nyak Dhien. Sebagainya ditulis H T Damste dalam buku “Atjeh Historie” Kolonial Tijdschrift, 1916,
Setelah mendapatkan berbagai fasilitas dan persenjataan dari Belanda itu, pada 29 Maret 1896, Teuku Umar dan pengikutnya kemudian berbelot. Ia membawa lari semua senjata itu dan bergabung kembali dengan barisan pejuang Aceh. Orang-orang yang dulunya mencaci Teuku Umar karena menyerah kepada Belanda itu kini balik memujinya karena mampu membawa lari ratusan pucuk senjata Belanda dan puluhan ribu butir pelurunya. Menyerah pura-pura Teuku Umar kepada Belanda itu dikenal sepanjang masa sebagai “Tipu Aceh” paling fenomenal sepanjang zaman.
Membelotnya Teuku Umar itu membuat geger Belanda. Komisaris Pemerintah Belanda di Aceh, Letnan Jenderal Vetter sangat terpukul dengan peristiwa itu, hingga kemudian mengeluarkan maklumat perang terhadap Teuku Umar. Maklumat itu berbunyi:
“...menyatakan perang kepada Teuku Umar, bukan kepada Aceh; serta mencabut kepangkatan yang telah diberikan kepada Teuku Umar sebagai Panglima Perang Besar; serta pencabutan gelar kebesaran “Johan Pahlawan”. Memberhentikan Teuku Umar sebagai Uleebalang Leupeung dan menuntut pengembalian senjata-senjata Belanda dan peluru-peluru yang telah diberikannya.”
Pada 28 Mei 1896, rumah kediaman istri Teuku Umar, Cut Nyak Dhien yang dibangun Belanda di Lampisang dibakar dan diledakkan oleh Belanda. Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh, Jenderal Deijckerhoff dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh Jendral Van Heutsz.[iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tipu Aceh ala Teuku Umar"
Post a Comment