Kondisi Aceh hari ini mirip apa yang terjadi di Aceh Agustus 1951. Memburu kelompok radikal, melakukan razia senjata, lalu menggeserkan sejumlah pejabat publik dari jabatannya. Sejarah yang—mungkin—berulang.Keberadaan kelompok radikal bersenjata di Aceh yang konon datang dari luar Aceh, membuat polisi menggelar razia di berbagai tempat. Apalagi setelah tiga polisi tewas dalam penyergapan kelompok bersenjata di pegunungan Lamkeubue, Seulimum, Aceh Besar, 6 Maret lalu.
Razia ketat itu kemudian memang berhasil menangkap 10 tesangka teroris dan menembak mati dua diantaranya di Leupeung 12 Maret lalu. Setelah itu foto dan nama DPO teroros di tempel di berbagai tempat umum. Dua orang yang diduga terlibat menyerahkan diri, yakni Munir alias Abu Rimba alias Abu Uteun yang menyerah di Polres Jantho Aceh Besar, Rabu (17/3).
Sehari sebelumnya, Teungku Mukhtar di Blang Crum, Kandang, Aceh Utara juga melakukan hal yang sama; menyerahkan diri ke Mapolres Lhokseumawe ditemani Pimpinan Dayah Mujahidin, Blang Mangat, Lhokseumawe, Tgk Muslim At-Tahriry.
Ketika menyerah mereka tidak sendiri, tapi ikut membawa senjata. Abu Rimba menyerah dengan sepucuk senjata api AK 47 dengan lima magazen dan 129 butir peluru. Sementara Mukhtar setelah menyerah juga menunjukkan tempat ia menyimpan senjata. Dan polisi mengamankan sepucuk senjata M16, tiga pistol revolver, sebilah sangkur dan 1.065 butir peluru.
Patut diberikan apresisasi kepada Tgk Muslim At-Tahiry selaku pimpinan dayah. Analisa sederhana, kita melihat bagaimana kelompok radikal mencoba mendekati kalangan dayah untuk memasukkan pengaruhnya. Malah Tgk Muslim mengaku pernah diajak, tapi menolaknya, hingga kemudian Mukhtar yang terpengaruh dengan ajakan itu.
Ini seakan menegaskan bagaimana dayah di Aceh sebagai lembaga pendidikan agama dicoba untuk tarik dalam skenario menanamkan pengaruh “jihat” kelompok radikal bersenjata yang “diimpor” dari luar Aceh itu. Bila dayah terpengaruh, katakanlah sebagai tempat persembunyian kelompk tersebut, maka sah lah aparah kemanan melakukan razia ke dayah-dayah di Aceh. Dan inilah kondisi yang pernah terjadi di Aceh pada Agustus 1951 silam, yang kemudian memunculkan konflik baru dengan meletusnya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Melirik ke apa yang terjadi di Aceh pada 29 Agustus 1951. Hari itu rakyat Aceh dikejutkan dengan razia senjata yang dilakukan oleh Brigade AA. Alasannya, diduga sebagian rakyat Aceh masih menyimpan senjata. Padahal beberapa bulan sebelumnya, hal yang sama telah dilakukan. Pemerintah Republik Indonesia, telah memerintahkan kepada Koordinator Kepolisian di Aceh, untuk menarik seluruh senjata api, baik yang memiliki surat izin maupun tidak.
Razia tersebut dilakukan dengan dalih ada orang-orang atau organisasi yang mencoba menimbulkan kerusuhan bersenjata. Hal ini dinilai oleh M Nur El Ibrahimi sebagai alasan yang dibuat-buat.Mereka yang mengetahui keadaan yang sesungguhnya di Aceh pada waktu itu, tidak percaya apabila ada orang apalagi organisasi yang akan mengadakan kerusuhan.
Lalu Aceh hari ini, setelah 1.011 seribuan senjata GAM dimusnahkan dalam proses decommissioning tahun 2005 lalu, kini diyakini masih ada senjata liar yang disimpan dan beredar di Aceh. Kita tidak itu menjadi alasan pembenaran dilakukan razia ke kampung-kampung sebagaimana terjadi pada Agustus 1951. Razia yang berkedok mencari senjata sisa konflik menjadi razia politik menggeserkan pejabat di Aceh dari jabatannya.
Sekali lagi, ini hanya andai-andai berdarakan fakta sejarah sebelumnya. Razia yang dilakukan Brigade AA Agustus 1951 kerap diikuti dengan tindakan-tindakan kekerasan. Kalau di daerah lain razia dilakukan terhadap kaum komunis, maka di Aceh ditujukan terhadap pejuang-pejuang Islam. M Nur El Ibrahimy menilai razia itu sangat menyolok. Semua rumah yang digeledah adalah rumah para pejuang yang mati-matian membela proklamasi dan mempertahankan kemerdekaan. Tidak ada satu pun rumah pemimpin Islam yang luput dari penggeledahan. Banyak pemimpin Islam dan pamong praja yang dijebloskan ke dalam penjara tanpa diketahui alasannya.
Razia Agustus itu malah kemudian dipergunakan oleh kaum feodal dan bekas-bekas agen kolonis Belanda untuk tujuan politik tertentu. Antara tentara dengan kaum feodal dan sisa-sisa agen Belanda membangun sebuah kerja sama untuk tujuan tertentu. Hal itulah yang membuat suasana di Aceh semakin keruh. Apalagi antara kaum feodal dengan kalangan ulama, yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) sedang tidak harmonis.
Ketegangan semakin meningkat, karena dalam razia yang dilakukan oleh tentara dari Brigade AA tersebut, tidak melibatkan sipil, baik pamong para gubernur dan residen koordinator. Apalagi, ketika razia lebih ditunjukkan ke kalangan PUSA, yang ditohok masih menyimpan barang-barang dan senjata sitaan dari Jepang. Padahal sebagian besar kepala daerah, dari kepala desa sampai bupati merupakan orang-orang PUSA, tapi tetap saja razia diarahkan kepada mereka.
Disinilah muncul kepentingan kaum feodal untuk menyingkirkan kaum ulama dari berbagai tampuk pimpinan. Kini sebagian besar pimpinan daerah di Aceh, mulai dari Geuchik sampai Gubernur merupakan orang-orang GAM. Jika nantinya razia seperti tahun 1951 itu kembali terulang di Aceh. bukan tidak mustahil akan ada kelompok yang bermain untuk menggeserkan mereka. Sejarah telah memberi pelajaran tentang peristiwa seperti itu.
Kembali ke razia Agustus 1951. Informasi tentang senjata-senjata simpanan dari rampasan perang tersebut, kebanyakan diperoleh oleh tentara dari Brigade AA--yang sebagian besar berasal dari Tapanuli, Sumatera Timur---dari kaum feodal. Merekalah yang menunjuk tokoh-tokoh PUSA yang mengetahui soal senjata tersebut untuk digeledah, seperti Cut Hamidah di Pidie, atas petunjuknyalah Mayor Nazir kemudian menggeledah rumah Tgk Daud Beureueh di Beureunuen.
Digeledahnya rumah Tgk Daud Beureueh, membuat reaksi keras dari masyarakat sekitar. Pasalnya, masyarakat setempat merasa terlukai perasaannya, ketika rumah Abu Beureueh yang notabenenya bekas Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, digeledah dengan cara yang tidak wajar. Tindakan sewenang-wenang tersebut oleh M Nur El Ibrahimi, dinilai sebagai tindakan balas dendam Mayor Nazir kepada Abu Beureueh. Pasalnya, ketika Abu Beureueh masih menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Mayor Nazir pernah ditangkap karena melanggar perintah Komandan Divisi.
Razia Agustus 1951, diperintahkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Dr Sukiman. Untuk mencari dan menyita senjata-senjata gelap, yang diduga disembunyikan oleh orang-orang atau organisasi tertentu. Target Sukiman yang notabene orang Masyumi, razia tersebut ditujukan kepada kaum komunis. Maka di Jawa dan daerah-daerah lain orang-orang PKI menjadi bulan-bulanan dalam razia tersebut. Di Aceh, razia malah ditujukan kepada kelompok PUSA dan Masyumi.
Karena kecewa dengan razia tersebut, para petinggi di Aceh, yang sebagian besar dari kalangan PUSA, membuat laporan kepada Mendagri, Dr Sukiman. Tapi Sukiman sendiri malah tidak memberikan reaksi apa-apa. Maka bertambah kecewalah rakyat Aceh saat itu, termasuk kalangan Masyumi sendiri.
Puncak dari kekecewaan ini, tanggal 8 Oktober 1951, Tgk Muhammad Daud Beureueh, mengirim sepucuk surat kecaman kepada Presiden Sukarno. Kekecewaan Abu Beureueh semakin parah ketika mendengar bahwa dia bersama orang-orang PUSA akan ditangkap oleh tentara dengan tuduhan menyimpan senjata gelap. Disinilah provokasi kaum feodal bermain untuk menjatuhkan PUSA.
Dalam suratnya kepada Presiden Sukarno, Abu Beureueh dengan tegas menyatakan, tidak keberatan ditangkap, akan tetapi jangan dengan alasan yang dibuat-buat. Karena itu pula, Abu menyatakan, dalam menghadapi kesewenang-wenangan pihak tentara dalam melakukan razia senjata, rakyat Aceh akan melalui tiga tahap. Pertama, tahap sabar, tahap benci, dan tahap melawan.
Dalam suasana ketegangan hubungan Sukarno dengan Abu Beureueh itulah, seorang utusan Sukarmadji Kartosuwiryo, yang bernama Mustafa datang ke Aceh, membisikkan kepada Abu Beureueh untuk bergabung dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Dan hal ini pulalah—setelah diiringi dengan berbagai kekecewaan lainnya—yang membuat Abu Beureueh protes terhadap pusat dengan jalan memproklamirkan pemberontakan DI/TII pada 21 September 1953.
Lalu bagaimana dengan kondisi kekinian di Aceh, setelah banyak pembisik dari Jawa mencoba mempengaruhi dayah untuk tujuan “radikalnya” membuat teror di Aceh. Bila bisikan itu tersambut, bukan mustahil cerita lama akan kembali terjadi di Aceh. Semoga saja sejarah tidak berulang.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Razia Politik"
Post a Comment