Kekerasan terhadap anak semakin meningkat di Aceh. Qanun perlindungan anak belum mampu mencegah. KIBBLA diharapkan mampu mengatur secara spesifik.Kekerasan terhadap anak kini marak terjadi, tidak hanya di rumah tapi juga di sekolah. Kasus yang dialami Vika Miftahul Jannah, siswi kelas dua SMA Negeri 2 Meulaboh jadi contoh terkini bagaimana pendidik masih sangat arogan. Ironisnya, sang guru yang melakukan pemukulan itu mengakui memang suka memukul dalam mengajari siswanya.
Kekerasan di sekolah semakin mencoreng dunia pendidikan di Aceh. Pemerintah Aceh harus mencari solusi pencegahannya. Salah satunya, melakukan pelayanan terpadu terhadap anak-anak yang mengalami kekerasan. Tidak hanya kekerasan di sekolah tapi di luar sekolah.
Dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2008 pada bab XI pasal 48 ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan tentang penyelenggaraan perlindungan melalui pusat perlayanan terpadu (PPT) diatur dengan peraturan gubernur.
Namun jauh dari itu sebenarnya kekerasan juga dialami oleh bayi baru lahir dan balita dalam bentuk pemenuhan hak yang tak sempurna. Apalagi bisnis rumah sakit dan rumah bersalin kerap mengabaikan hak sibayi. Diharapkan KIBBLA bisa memberikan perlindungan hukum dan kepastian jaminan pelayanan kesehatan terhadap ibu, bayi baru lahir dan balita untuk mendapat pelayanan yang optimal dari pemerintah.
Pemerintah harus memberikan jaminan pelayanan yang berkualitas kepada publik. Setiap orang harus mendapat akses pelayanan di sarana pelayanan kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta. Jauh dari itu, KIBBLA yang masih berbentuk rancangan juga mengatur hak balita untuk mendapat asi dan imunisasi. Pada BAB IV tentang asi dan imunisasi pasal 10 disebutkan, sarana pelayanan dan tenaga kesehatan dilarang untuk memberikan fasilitas dan promosi bagi produk susu formula, makanan pengganti asi dan sejenisnya selama masa pemberian air susu ibu (asi).
Kenyataan lainnya, pascakonflik dan tsunami di Aceh, banyak anak yang terbengkalai akibat musibah raya tersebut. Anak-anak yang berada dalam kondisi darurat seperti itu harus mendapatkan perlindungan khusus. Lebih-lebih lagi anak-anak yang sedang berhadapan dengan hukum.
Sebuah kenyataan yang terlihat di pengadilan, anak-anak tidak hanya menjadi korban tindak kekerasan—sebagian besar pelecehan seksual—tapi juga menjadi pelaku. Hal ini terungkap ketika saya melakukan sekedar buka-buka kasus anak di Pengadilan Negeri Sigli pada tahun 2007 lalu. Kini mungkin kasusnya semakin bertambah.
Sayangnya, ketika menjalani proses hukum, anak-anak tersebut ditahan dalam dalam lembaga permasyarakatan (LP) dewasa. Dalam tahanan bisa saja dia menjadi korban ekspoitasi. Sementara di sisi korban, perlu adanya serangkaian tindakan rehabilitasi dari pemerintah untuk mengembalikan kondisi fisik, mental dan psikososial anak seperti kondisi semula.
Kembali ke kekerasan yang dialami siswi SMA 2 Meulaboh, ini merupakan sebuah bentuk kekeliruan pengajaran di sekolah. Siswa yang sudah dijubeli dengan beban kurikulum apalagi menjelang Ujian Nasional (UN) harus tambah terbebani dengan kekerasan yang dilakukan guru terhadapnya.
Secara nasional, sepanjang tahun 2009 Komnas Perlindungan Anak telah menerima pengaduan sebanyak 1.998 kasus. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2008, yakni 1.736 kasus. Ironisnya, kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak.
Kasus kekerasan terhadap anak menjadi pusat perhantian serius sejak tahun 1946. Itu pun berasal dari dunia kedokteran. Kala itu seorang radiologis Caffey menemukan beberapa gejala klinik seperti patah tulang pada anak tanpa diketahui penyebabnya. Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah caffey syndrome.
Kasus yang ditemukan Caffey itu menarik perhatian publik ketika Henry Kempe tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical Assosiation, dan melaporkan bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan otak yang permanen.
Bercermin pada kasus tersebut, bukan tidak mungkin anak-anak di Aceh juga mengalami hal yang sama, karena itu, KIBBLA yang masih dalam bentuk rancangan di Kota Banda Aceh, diharapkan nantinya bisa memberikan perlindungan hukum bagi setiap anak, bayi dan ibu hamil. Baik perlindungan dalam bentuk jaminan mendapat pelayanan kesehatan yang baik, maupun pelayanan hukum terhadap anak, ibu dan bayi yang berada dalam keadaan darurat.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "KIBBLA"
Post a Comment