Kata adalah permulaan dari sejarah. Karena kata, selubung pra sejarah mencapai ending. Dan kita masuk ke zaman dokumentasi masa lalu; zaman sejarah. Andre Gide, seorang ilmuan terkemuka abad ke 20 mengatakan, kata mempunyai hak untuk hidup. Dan jika dia tidak mempunyai hak untuk hidup, kata pun mempunyai hak untuk mengembangkan suatu pemikiran.
Kata merupakan sumber bagi munculnya suatu gagasan dan lahirnya inti pemikiran. Namun kata sebagai dokumentasi sejarah, tidak akan banyak punya arti, jika kita hanya bisa menulis masa lalu. Sejarah hanya akan bernilai jika kita menulis hari esok. Setidaknya begitulah yang pernah diungkapkan sarjana terkenal Perancis-Honggaria, Timbor Mende dalam bukunya “A Glancle at Tomorrow’s History.”
Sejarah amatlah penting. Presiden pertama American Historical Asociation; Andrew Dicson White, pada tahun 1884, menekan kegunaan langsung dari sejarah. Dua tahun kemudian Sheik Abbas Ibnu Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Teungku Kuta Karang, ulama besar Aceh, dalam kitabnya Maw’idhat Al-Ikwan juga mengemukakan pendapat yang sama tentang pentingnya belajar dari sejarah.
Awal kata membuahi pertanyaan, kemudian melahirkan sejarah dalam dokumentasi kata itu sendiri. Karena itu pula, kata dan pertanyaan selalu hidup dalam ide, gagasan, dan pemikiran untuk merangkai sejarah tersebut. Baik sejarah masa lalu, sejarah kini, dan yang lebih penting bagaimana kita menulis sejarah masa depan.
Untuk menulis sejarah masa depan, kata dan pertanyaan harus selalu hidup. Gerhasd Fors, seorang penyair ternama, menyorot tentang itu. Ia menulis. Jangan pernah membunuh pertanyaan, ia adalah benda yang rapuh. Pertanyaan yang baik pantas untuk hidup. Kapan pun ada pertanyaan, biarkan ia hidup.
Untuk menulis sejarah masa depan, Publikis Syirs, seorang pemikir barat mengatakan, seseorang untuk tidak menggantungkan diri pada keberuntungan, melainkan pada tindakan. Tindakan yang dilakukan hari ini merupakan bagian dari menulis sejarah diri sendiri untuk masa depan. Peradaban hari ini adalah bagian dari sejarah masa depan.
Tindakan bisa membuat warna sebuah peradaban. Sebut saja seperti sejarah beberapa peradaban, Renaisance contohnya. Abad cemerlang yang melahirkan berbagai pemikiran, tapi kemudian runtuh karena tindakan-tindakan para penggila kekuasaan.
Ali Syari’ati, seorang pemikir dan ideolog islam terkemuka abad ke 20 berkebangsaan Iran, menulis tentang itu dalam catatannya. “Renaisance adalah abad cemerlang yang melahirkan gerakan nasional, revolusi, ideology-idiology besar seperti demokrasi dan humanisme, sedangkan abad ke 20 –dan setelahnya- adalah abad dekadensi yang ditandai dengan munculnya satu golongan yang gila kekuasaan dan diperbudak oleh nafsu dan materi.”
Namun Toynbee, Filosof kontemporer dalam sejarah berpendapat lain. Ia menilai peradaban sekarang telah mencapai kemajuan yang tinggi. Tapi disisi lain manusianya mulai lupa pada diri sendiri. “Peradaban manusia sekarang telah sampai pada tahap kesempurnaan histories yang paling tinggi, artinya hanya manusia sekaranglah yang mengetahui bahwa dirinya berada dalam kemunduran. Manusia sekarang hanya pandai membangun sejarah dan peradabannya tetapi lupa pada diri sendiri,” tulis Toynbee.
Kembali ke soal kata. Selain mendokumentasikan sejarah, kata juga mediator pencarian pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkembang dalam kata. Francois Bacon mengatakan, “Ilmu meninggalkan pencarian kebenaran dan beralih untuk mencari kekuatan “ Kemudian Jeans Paul Satre, seorang pemikir humanistis yang memiliki kepribadian dan kesusastraan terkuat dari seluruh filosof moderen, menambahkan “ Dan itulah awal kemunduran manusia.“
Alexis Carrel, pendiri yayasan Prancis untuk pengkajian masalah kemanusiaan, mencermati fenomena kemerosotan tersebut. Dia menyimpulkan “Sejauh manusia telah mencapai kemajuan dan tenggelam dalam dunia luar, sejauh itu pula ia terasing dari dirinya sendiri dan lupa pada hakekatnya sebagai manusia.”
Sementara para penyair menggunakan kata sebagai media ekspesi menyampaikan, ide, gagasan, kritikan dan perasaannya. Sejarah teologi Dalit di India, telah melahirkan sederetan penyair yang berjuang dengan kata, menentang sistim kasta yang menindas.
Sebut saja seperti Chokamela, penyair dari Maharstra. Melalui bait-bait kata dalam puisinya ia bersuara; Jika engkau harus memberiku kelahiran ini, kenapa usah memberiku kelahiran. Engkau membuangku untuk lahir. Engkau kejam. Kastaku rendah, bagaimana dapat melihat-Mu. Bila orang kusentuh (kritik-red) ia marah. Chokamela mohon belas kasih-Mu.
Kesusastraan dalit kontemporer juga melahirkan seorang penyair Waman Numborka, yang dengan kata-kata tajamnya, berbicara soal rasa malu karena hidup dalam kasta yang rendah. Puisi-puisinya kemudian diabadikan oleh See Eleanor Zelliot dalam buku “Maliekal” kata-kata yang menjelma menjadi puisi pemberontakan. Ia menulis, Patil telah menendang ayahku, menyerapahi ibuku, bahkan mereka tidak mengangkat kepala. Tapi kurasa kasta itu ada dalam hatiku.
Begitu juga dengan Arun Kamble, melalui kata ia menyatakan pemberontakannya. Ia mempertentangkan seorang yang tak boleh disentuh dengan seorang brahma. “Seandai engkau hidup seperti kami. akan terbitlah puisi puisi dari padamu, Kami ditendang dan diludahi demi sesuap nasi, engkau, kau jemput kepenuhan dan nama tuhan, kami gelandangan pemerosot warisan, engkau sang penyimpan warisan, keturunan kaum bijak, kami tak pernah punya piasan untuk mengais, engkau, piala emas persembahan ada di bank. Tubuhmu semerbak kayu cendana, tubuh kami kau timbun setengah badan, tidakkah dunia akan berubah dengan cepat, jika kau terpaksa hidup akhirnya, seperti hidup kami semua ini,” tulisnya.
Kata juga dijadikan EV Rames Periyal sebagai media gerakan melawan diskriminasi sosial. Ia bersama seorang dalit yang bernama Bhimrao Ambedkar, membuat suatu pernyataan teologis dalam puisinya: Akan kau potongkah seluruh pedati, penuh kayu untuk secuil roti ? Akan kau usapkah keringat tubuhmu, dengan sari ibumu ?, Akan kau letih-lesuhkan saudara-saudarimu, untuk pipa ayahmu ? Akan bekerjakah engkau sebagai germo, untuk minuman kerasnya, engkau tak pernah dapat berbuat begitu, pertama engkau perlu ibu, ibu yang tak dihormati siapapun, yang membanting tulang penuh kotoran, yang memberi demi cinta kasihnya.
Kemudian satu bagian dari sebuah puisi yang ditulis seorang cendikiawan lain yang bernama Dasan (1762–1836) menegaskan bahwa semua orang itu sederajat. Sama halnya seperti Chohkhamela, Waman Nimborka, Arun Kamble, EV Ramos Periyal, dan Bhimrao Ambedkar, Dasan juga melalui kata, menentang perbudakan dan sistim kasta yang menyengsarakan rakyat miskin.
Salah satu puisinya menggambarkan tentang penderitaan seorang budak penarik pedati. Puisi tersebut seperti kutipan dari buku “Liberation Trought Humanization: With a Focus on Korean Confucianism” yang ditulis oleh Sung Hae Kim. Dasan menggambarkan dalam puisinya : Orang hanya tahu senangnya naik kereta, tapi tidak tahu penderitaan rakyat yang menariknya, dengan menarik kereta mereka mendaki gunung terjal, mereka naik secepat lembu jantan, bahu mereka terluka oleh tekanan pedati, kaki mereka bersimbah darah, tergores karang runcing. mereka sendiri sakit, tapi mereka menarik kereta, untuk kaum bangsawan, mereka bekerja seperti keledai. mereka yang menarik kereta engkau yang menaikinya. Kita aslinya satu bangsa, kita telah menerima persamaan dari surga.
Dibagian Karanda, India juga terdapat sebuah kasta dalit yang dikenal dengan nama Pulaya. Kasata ini terdiri dari buruh buruh tani yang tidak mempunyai tanah. Mereka menyebut tuhannya dengan sebutan Pottan. Sebagai kasta rendah, Pullaya juga tertindas keberadaannya dibawah kasta yang lebih besar dengan segala perbedaanya. Seorang Pullaya dengan tegas menolak perbedaan antar kasta tersebut dengan berbagai argumennya. Berikut salah satu puisi yang berisikan argumen tersebut: Bila Chovar menunggang gajah, kami menunggang kerbau, kalau begitu mengapa bertengkar tentang kasta, Bila tubuhmu atau tubuh kami terluka darah yang sama juga keluar, lalu mengapa bertengkar tentang kasta. Kami menanam pisang dilubang sampah. Buahnya kau gunakan sebagai persembahan, kepada para dewa, lalu mengapa ada perbedaan antara kita.
Kata memang sebuah media penyampaian. Tanpa kata ide dan gagasan akan bisu. Dan pencarian inti kebenaran tak akan birahi, apalagi membuahi dan melahirkan gagasan dan ide itu sendiri. Maka biarkan ia hidup.***
Lambhuk, Banda Aceh, 19 Desember 2006
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kata"
Post a Comment