Aku ingin menulis namaku dengan HURUF HURUF BESAR,” kata Kahlil Gibran, ketika penyair besar kelahiran Lebanon 1883 itu bersama keluarganya hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1893.
Menulis untuk nama besar memang telah dicapai si jenius membara itu dengan kisah miris penuh kegetiran. Ya, kegetiran hidup membuat imajinasinya liar, lembut penuh cinta, sehigga tulisannya renyah sampai sekarang. “Kehidupan yang kacau adalah pengasah yang paling tajam untuk imajinasiku,” kata penyair besar yang meninggal pada 1931 di New York tersebut.
Aldoft Hiltler pun melakukan hal yang sama. Setelah menulis Mein Kampf (perjuanganku) selama sembilan bulan meringkuk dalam penjara, membuatnya tidak saja terkenal sebagai sitangan besi, tapi pengarang yang handal untuk membangkitkan semangat.
Buku Hitler yang mengagung-agungkan ras Aria dan menyebarkan kebencian terhadap Yahudi laris manis. Sampai perang dunia II pecah, lima juta eksemplar sudah terjual. Buku itu turut menyulut perang dunia ke II yang telah membantai 16 juta orang. Menulis memang dahsyat, sampai jagoan perang Napoleon Bonaparte saja berujar, “Saya lebih takut pada sebuah pena ketimbang seribu pedang.”
Menulis itu adalah merubah dunia. Lalu apa yang harus ditulis dan bagaimana menulisnya. Seorang bijak berkata memulai sesuatu itu harus dengan keyakinan. Yakin terhadap diri sendiri merupakan jalan terbaik untuk maju. Keyakinan juga obat yang paling mujarab untuk kecemasan dan kebimbangan. Jadi menulislah dengan santai.
Menulis juga membawa diri menjadi intelektual dan mengubah dunia. Antonio Gramsci, intelektual muda Italia dalam bukunya “Gramsic’s Prison Notebooks” mengatakan bahwa pada dasarnya semua orang punya potensi untuk menjadi intelektual. Tapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial. Karena itu menulis adalah salah satu jalannya.
Kerena menulis pemikiran-pemikiran menjadi intelek, meski kadang kala pemikiran itu harus “dibredel” kekuasaan. Antonio Gramsci telah mengalaminya. Pada tahun 1926, ia dipenjara oleh aparat Fasis Italia, karena ingin menghentikan tulisan-tulisannya yang keras. Tapi karena menulis pemikiran-pemikiran itu tetap hidup. Dari dalam penjara Gramsci kemudian mampu menyumbang teori Maxim, yang kemudian menjadi landasan bagi sebuah demokrasi dari apa yang telah dipraktekkan di Unisoviet.
Menulis pula yang membuat seorang Albert Einsten yang ilmuan itu dikenal sebagai pria romantis meski ia termasuk dalam “barisan suami takut istri”. Dalam bukunya “Out My later Year” mengakui hal itu. Untuk menulis hidupilah gagasan agar inti pemikiran itu lahir dan berbuah tulisan.
Untuk menulis, kata dan pertanyaan harus selalu hidup. Gerhasd Fors, seorang penyair ternama, menyorot tentang itu. Ia menulis. “Jangan pernah membunuh pertanyaan, ia adalah benda yang rapuh. Pertanyaan yang baik pantas untuk hidup. Kapan pun ada pertanyaan, biarkan ia hidup.”
Tapi tak cukup sampai disitu. Menulis untuk merangkai nama dengan huruf-huruf besar sebagaimana dilaoni Kahlil Gibran, juga harus diringi dengan etos. Etos bisa muncul dari mana saja, tidak hanya dari keyakinan, dari mitos pun ia ada. Sebagai contoh, orang Yahudi mengatakan, we are the chosen people. Dari mitos itulah mereka bangkit, karena menganggap dirinya sebagai orang-orang pilihan.
Hal yang sama juga berlaku di Jerman. Mereka mengatakan Deutc uberaless, ras Aria (rasnya bangsa Jerman) adalah ras tertinggi. Amerika lain lagi, mereka menganut etos nasionalisme yang sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan negara tersebut menhadi adi daya. Falsafah mereka dalam membangun Amerika adalah, We keep America on top of the word.
Menulis juga belajar untuk bertangung jawab. Empat pengarang Rusia harus mempertanggungjawabkan bahasa kritisnya, akibat gencarnya menggugar budaya korupsi dan gaya pemerintahan yang diktator. Mereka harus merelakan badannya terkurung dalam terali besi, tapi tidak untuk ide-idenya yang kritis itu, yang dengan menulis mereka mampu menggemparkan Moscow dan dunia sekalipun.
Mereka adalah Yuri Galaskov, Vera Lashkova, Aleksander Ginzberg, dan Aleksis Dobrovolsky. Saat ditahan pada Januari 1968, tulisan-tulisan bawah tanah mereka tak dapat dibendung dan malah menggemparkan dunia. Adalah Ginzberg yang secara rahasia mampu mengrim naskah-naskah mereka ke luar negeri. Dia berkata, “Mati untuk tanah air adalah kewajiban seorang patriot, tapi tidak untuk berdusta untuk negeri kita sendiri.”
Sementara di awal September 1967, seorang penulis lainnya, Vladimir Bukovsky, diadili karena memprotes hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap ke empat penulis tadi. Dalam pledoinya di pengadilan, ia berkata. “Kemerdekaan menyatakan pikiran dan kemerdekaan pers adalah pertama sekali kemerdekaan untuk mengkritik, tidak pernah ada orang yang melarang memuji pemerintah.” (Mochtar Lubis, September 1968)
Begitu juga kisah penulis Julien Benda yang hidup dibawan ancaman Nazi Hitler. Melalui tulisannya ia mengkritik para intelektual yang dibeli oleh kekuasaan yang korup dan diktator. Dalam bukunya “La Trabision des Clersc”. pada halaman 63 ia menulis, le clerc loue par des secuiliers est traitre a so function. Orang terpelajar yang disewakan penguasa (rezim) di dunia adalah pengkhianat pada fungsinya.
Kemudian pada halaman 222 ia melanjutkan, le clerc n’est pas suelement vaincu, il est assimile, orang terpelajar tidak saja dikalahkan, tapi juga dipungut. (Muhammad Hatta : 1957-Teks pidato pada hari alumni pertaman, Universitas Indonesia).***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Menulis"
Post a Comment