Tertangkapnya pasangan meuseum beda bangsa dan agama di Bireuen-- Gueseppe dari Italia dengan Wardiana, penerjemah asal Kembang Tanjong kabupaten Pidie--telah menjadi perbincangan setiap orang. Hal itu seakan menjadi pembenaran, kalau dara Aceh telah kehilangan jati diri, marwahnya seakan hilang dengan silaunya dollar.
Tapi making love dua insan tersebut sekan meruntuhkan apa yang disebutkan dengan penerapan syariat Islam di Aceh. Namun di sisi lain, timbul pertanyaan, apakah Syariat islam di Aceh hanya sebatas mengejar pasangan meseum, khamar, merazia jilbab, dan pamflet kantor bertuliskan aksara Arab Jawi semata? Ada hal lain yang lebih subtansial yang mesti dikerjakan hari ini, yakni bagaimana meletakkan pondasi keimanan bagi generasi muda Aceh sekarang.
Sebagai orang Aceh, saya juga rindu mendengar fatwa ulama soal korupsi. Tapi hal itu sampai sekarang masih jauh panggang dari api, karena kita masih sibuk dengan ketebelece penegakan syariat yang hanya sebatas kulitnya saja. Kita belum sampai pada subtansi yang sebenarnya.
Kembali ke soal khalwat, Wardiana bukanlah satu-satunya. Hal sama juga pernah terjadi di Pidie, pada tahun 2005 lalu. Seorang wanita asal Kecamatan Simpang Tiga ditangkap masyarakat bersama POM disebuh reruntuhan sekolah ketika sedang “indehoi” dengan kawan buleenya asal Italia. Anehnya, entah karena berhubungan dengan orang asing yang melakukan misi kemanusian di Aceh, kasus itu pun sampai kini tenggelam. Tak jelas juntrungannya.
Itu dua kasus yang muncul, tidak tertutup kemungkinan sederetan dara Aceh lainnya juga melakukan hal yang sama. Bisa jadi dengan alasan cinta, materi, bisa juga karena napsu. Bukanlah dalam hal yang begituan barang luar akan terasa lebih dan punya nilai plus, dibanding barang lokal. Entahlah.
Tapi satu hal yang menyentak adalah penyataan Wardiana kepada petugas WH di Bireuen, yang mengaku mengakukan zina dengan pasangan kencannya itu untuk dinikahkah. Alasan lainnya, itu merupakan hak privasinya sebagai wanita yang punya rasa cinta dan nafsu.
Antara cinta, nafsu, dan materi memang tidak bisa dipisahkan. Orang bijak mengatakan, cinta itu buta terhadap sesuatu yang cacat dan kekurangan. Dunia ini pun akan menjadi sebuah suapan andai cinta punya mulut. Sejatinya cinta adalah sebuah pengorbanan, ia akan memberi tanpa diminta, karena memberi merupakan sebuah pengorbanan, sementara menerima adalah tanggung jawab.
Apakah karena itu pula, seorang Wardiana, yang notabenenya seorang yang berpendidikan, memberikan apa yang dimilikinya, dalam hal ini mahkotanya kepada Gueseppe tanpa mengaharapkan apa-apa. Hanya Wardiana yang tahu. Tapi yang jelas, cinta yang ditanam pada kewajiban yang luhur akan tumbuh subur sepanjang masa, sampai kejelitaan berganti uban dan kekekaaran berganti renta.
Kasus Wardianan dan Gueseppe katanya akan dibawa ke pengadilan. sebagai seorang muslim, Wardiana akan disidangkan di Mahkamah Syariah, sementara Gueseppe akan diadili di Pengadilan Negeri (PN). Kita berharap proses hukum terhadap kasus ini, benar-benar dilakukan dengan sebenar-benarnya. Jangan lagi tenggelam seperti kasus yang sama di Pidie.
Tapi, soal penzina dibawa ke pengadilan, saya teringat kisah lama. Ksiah seorang WTS, sebut saja namaya Rosalina—maaf kalau ada nama yang sama—ia seorang wanita dengan pesona gincu bibir dan betisnya mampu menjerat para lelaki untuk mendekapnya dalam desah malam, dengan tarif yang kenyal. Bisa murah bisa mahal, tergantung nego si hidung belang.
Dari kerja begituan ia membiayai kuliah dan kehidupannya. Kamar kosnya kerap menjadi persinggahan pria yang berhasrat padanya. Ia bekerja sendiri, tanpa mami apalagi muchikari. Ia kemudian mampu menjadi sarjana dengan menjual mahkotanya itu.
Tamat kuliah ia langsung mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan swasta. Ia pun meninggalkan pekerjaannya itu. tapi sebagai wanita yang sudah terbiasa dengan kemesuman, ia tidak dapat menolak, ketika seorang pria yang telah menjadi kekasihnya, mengajaknya untuk naik ke bulan. Celakanya, saat itulah ia tertangkap basah oleh warga. Puluhan kali sudah ia melayani pria dengan mengharap materi, tak ada yang tahu. Tapi ketika itu dilakukan atas nama dan kedok cinta, ia tertangkap.
Bersama pasangannya itu, ia oleh warga kemudian digiring ke sebuah mesjid. Imam mesjid dan tokoh masyarakat pun menyodorkan ayat-ayat tuhan sebagai alasan pembenaran untuk melakukan pernikahan tidak terhormat kepada Rosalia dan pasangannya itu.
Menariknya, saat itulah Rosalia dengan kepala tegak menolak hal itu. sampai akhirnya seorang tokoh masyarakat menanyakan padanya. “Apa agamamu?” dengan tegas pula dijawabnya. “Saya tidak punya agama pak Imam.” Bukan hanya masyarakat yang mendengar itu, pacarnya juga ikut kaget dan tersentak.
Suasana di mesjid jadi riuh, “Kamu hidup di negeri bersyariat, bagaimana kamu mengatakan tidak punya agama?” tanya Imam lagi. “Maaf Pak Imam, saya mengaku tidak punya agama, karena tidak ingin agama itu tercela karena saya.” Imam tambah kebingungan.
Imam mesjid pun kemudian menayakan nama dan alamat orang tua Rosalia. Tapi lagi-lagi ia menjawan tidak punya orang tua. Masyarakat jadi berang. “Saya tidak mau membawa-bawa nama orang tua dalam perkara ini. Ini privasi saya sebagai seorang wanita,” jelas Rosalia.
Itulah kisah empat tahun lalu disebuah rumah kos ketika saya masih menjadi mahasiswa. Hak privasi menjadi alasan pembenaran terakhir bagi pembangkangan nilai-nilai dan norma dalam masyarakat. Sama seperti alasan Wardiana kepada Polisi Syariah (Wilayatul Hisbah) di Bireuen.
Pertanyaannya sekarang, bila pembangkangan terhadap nilai dan norma telah dianggap sebagai sebuah privasi, dimana makna penerapan Syariat Islam yang katanya Kaffah di bumi Serambi Mekkah ini. Lalu apa bedanya dara Aceh dengan gadis luar Aceh yang juga sama-sama punya cinta, nafsu, dan mengharap materi untuk pemuasan kehidupan?***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Privasi, Materi, Dan Nafsu"
Post a Comment