Sayam dikenal sebagai sebuah kearifan dalam menyelesaikan sengketa berdarah. Sering juga disebut sebagai diyat, yakni uang pengganti tumpahnya darah. Ada sisi menarik dari prosesi adat pemberian sayam, termasuk opera balas dendam tanpa ada korban baru.
Pemberian sayam dilakukan melalui prosesi adat peusijuk meulangga. Tepung tawar akibat pelanggaran ini dilakukan untuk mendamaikan perselisihan atau pertengkaran, baik antar warga maupun antar kelompok warga yang mengakibatkan pertumpahan darah.
Peusijuek meulangga biasanya dilakukan di meunasah dipimpin oleh Geuchik (kepala desa-red) yang bertindak sebagai wakil dari kedua belah pihak yang bertikai. Ia juga menjadi hakim yang mendamaikan perselisihan tersebut secara adat. Peusijuk dilakukan oleh pihak yang melakukan pelanggaran hingga menimbulkan keluarnya darah pihak lain. Ia harus memberikan sejumah ganti rugi (sayam) sesuai dengan kesepakatan ketika didamaikan oleh Geuchik.
Zaman dahulu sebagaimana disebut Snouck Hurgronje, peusijuek meulangga diawali dengan denda adat meulangga untuk menghilangkan luka atau hinaan dan dendam pihak yang darahnya keluar. Biasanya pihak yang darahnya keluar akan datang bergerombolan ke kampung pihak yang menyebabkan keluar darah untuk memberikan denda adat.
Disinilah opera balas dendam untuk menghilangkan hinaan pihak yang keluar darah (korban-red) dilakukan. Kelompok yang mewakili koeban datang menjumpai Geuchik untuk memberitahukan maksud kedatangan mereka. Geuchik menerima tamu yang tak diundang tersebut dan membawanya ke rumah sipelaku (sipelanggar). Mereka menyoraki agar dia keuar dari rumah.
Saat itulah Geuchik mendamaikannya secara adat. Ia memotong dua batang pisang di halaman rumah si pelanggar dan menyerahkannya kepada kelompok tersebut. Lalu Geuchik desa tersebut akan berdialog dengan kelompok itu untuk menenangkannya. Sebagai simbolis perdamaian, Geuchik akan memotong dua batang pisang raja dan menyerahkan kepada kelompok tersebut. “Inilah yang kalian cari, tanamannya sudah dirusak, sebagai balasan,” kata Geuchik kepada kelompok tersebut
Setelah menerima pohong pisang raja tersebut, kelompok tersebut akan memotong pohon di pagar rumah si pelanggar, sebagai simbol perusakan. Biasanya zaman dahulu warga menanam pohon kedondong di pagar rumah mereka. Geuchik mempermaklumkan apa yang akan dikerjakaan oleh mereka sebagai denda adat terhadap warganya yang telah melakukan pelanggaran.
Setelah pohon kedondong itu di potong, kelompok yang datang tersebut akan membangun sebuah miniatur rumah di halaman rumah si pelanggar. Rumah miniatur tersebut kemudian dibakar sebagai simbol bahwa mereka telah melampiaskan dendam dengan cara membakar rumah si pelanggar. Pembakaran itu disaksikan oleh Geuchik dan masyarakat desa setempat. Setelah itu, mereka akan minta izin kepada Geuchik untuk kembali ke kampungnya.
Setelah opera balas demdam itu selesai, Geuchik mewakili warganya sebagai tertuduh yang melakukan pelanggaran, bermusyawarah menentukan kapan acara peusijuek terhadap korban dilakukan sebagai langkah akhir perdamaian secara adat.
Pada waktu peusijuk, kedua pihak yakni yang melanggara dan yang dilanggar didadirkan ke Meunasah untuk didamaikan dengan cara ditepung tawar. Peusijuk itu dilakukan di kampung pihak yang dirugikan—yang darahnya keluar—Pihak yang menyebabkan darah keluar akan membawa hidangan bulukat kuneng (nasi ketan kuning) beserta tumpoe untuk melakukan peusijuek. Pada saat peusijuk terhadap korban (yang darahnya keluar) dilakukan, pihak pelanggar akan menyerahkan sepotong kain putih sebagai simbol mengharap pertentangan itu dilupakan (hati kembali putih bersih dari dendam).
Bersama diserahkannya kain putih tersebut, diberikan pula sayam, sebagai uang tembusan kesalahan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sayam hanya diberikan pada kasus-kasus bersar yang melukai korban atau menyebabkan korban harus menjalani perawan. Sayam juga dimaksudkan sebagai uang pengganti perawatan korban.
Setelah peusijuek dilakukan, maka tak ada lagi permusuhan antar kedua pihak. Peusijuek meulangga ini sering juga disebut peusijuek ro darah gob, yang bermakna tepung tawar tumpahnya darah orang lain.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Sayam dalam Budaya Aceh"
Post a Comment