Yang terkasih tak akan hilang. Ia akan tetap ada untuk dikenang. Jangan tanya bagaimana ia pergi, karena aku akan bercerita bagaimana cinta membawanya kesini, meninggalkan sebongkah tawa yang belum usai.
Aku sudah terlalu tua untuk dikatakan gadis. Embel-embel akademis telah membelenggu asrama, hingga kehangatan seorang pria jauh untuk menjamahku. Saban malam kurangkai kembali puja-puja lama atas pautan rasa yang pernah tersanjung. Hati dengan getir bernyanyi pada kesaksian sambil membawa ingatan ke tahun-tahun persemaian kerinduan.
Tahun-tahun yang kini membatu dalam ingatan. Mengenang keangkuhan yang pernah kutunjukkan, kini jiwaku bisu. Kebisuan yang panjang yang membuat rindu semakin mekar menemukan bentuk kekecewaan. Namun tangisan bukanlah harga sebuah penyesalan.
Dengan angkuh kutinggalkan lelaki yang selama hampir lima puluh purnama memberiku kasih sayang. Dengan ponggah pula kuputuskan cintanya, meski aku harus menangis. Ambisi dan gelar membuatku harus meninggalkannya. Namun lelaki kekar itu tersenyum. “Ambisi akan melumatmu dengan mulutnya, hingga kau sadar bahwa cinta tak bisa dinistakan,” katanya dengan nada datar. Sesungging senyuman saat itu masih menusuk hingga sekarang.
Ya, aku telah dilumat ambisi. Aku yang empat kali menerima cincin ikatan dari empat pria, namun keempat-empatnya kubuka kembali dengan alasan pendidikan. Saat itu aku punya beribu alasan untuk menolak mereka. Aku sangat menentang perjodohan, kini malah mengharapkannya. Tapi lelaki mana yang akan tiba untukku, setelah ambisi melumat segala cinta yang pernah datang. Aku tak lagi muda untuk dicintai.
Suatu senja sepuluh tahun silam, arus berpaut di Ulee Lheu, dua hati tertambat. Ia datang dengan secangkir cinta. Cangkir yang tangkainya kupatahkan setelah lima puluh purnama. Laranya kini meremuk rongga dada. Aku memang salah, mencoba jadi pahlawan dengan prinsip dan ego sendiri.
Kini, rentak nada sumbang dari kecapi kehidupan membangun lamun lanang akan ingatan padanya. Desirannya di halimun senja bawa kembali asa lama yang pejam. Tapi pria kekar itu kini ayah dua anak yang masih gagah dengan senyumannya. Seandainya madu dari cangkir itu tak tumpah setelah tangkainya kupatahkan, mungkin setiap malam aku akan rebah di dada bidangnya.
Aku benar-benar sepi. Aku hanya mampu meraba malam dengan asa, setelah cinta tak lagi mampu tuntaskan rinduku padanya. Sampai subuh beku, rintik ingatan menetes pada daun kenangan. Lalu pada pucuk siang kutitip kabar padanya, bahwa keangkuhan itu kini telah luluh. Tapi tetap saja rinduku tak berpenawar. Hingga rembang petang kembali memeluk malam, dan aku kembali bermimpi dalam jaga untuk melihat lagi senyumannya di akhir lima puluh purnama silam.
Aku harus menyanjungnya sekarang. Ia yang dulu tak pernah menyia-nyiakan sajak untuk menyanjungku, hingga aku luluh seperti daun di musim gugur untuk memberi bunga pada semi yang akan merekah. Tapi kini tempayan pujian telah retak terkikis oleh karat hati yang kupunya. Sanjunganku tak ubah hayalan yang melambung meninggalkan akal sehat hingga aku lupa atas nama siapa aku harus bertahan dengan sanjungan.
Aku tak pernah lupa apa yang dikatakannya ketika cinta menggugat sanjungan yang keseringan. Sanjungannya bagai tandu yang membawa hayalan yang melambung meninggalkan akal sehat hingga lupa pada bumi mana aku berpijak. “Andai sanjungan melumat ingatan, maka tak akan ada lagi puji terhadap kejujuran,” katanya empat puluh sembilan purnama silam. Satu purnama sebelum egoku meninggalkannya.
Namun, cinta yang menjelma jadi siksaan, memaksaku untuk kembali padanya. Meski harus mengiba aku berusaha mengapai kembali kekekarannya. Lima belas menit kumenyendiri di meja resto pinggir kota, ia belum datang. Resto ini dulunya hanya sebuah café kecil, tempat kami menghabiskan sore. Namun kenangannya belum berubah, setiap detiknya masik terangkai di ingatanku.
Di sini dulu hangat nafasnya menyentuh pipiku. Kuraba bibirku seolah kecupannya masih membekas setelah sekian tahun. Namun, akankah tahun-tahun penuh rasa itu akan kembali mengulang kisah ini. Sesal, muak dan merasa bersalah silih berganti menghakimiku. Detik-detik menantinya seolah telah menjadi hitungan tahun saja.
Aku telah kalah. Tapi aku tak memikirkan apa-apa selain wajahnya. “Pecinta tidak peduli rindu datang dari arah angin mana, yang dipikirkan hanyalah yang terkasih bawa nafas cinta dan ia akan menghirup tiupannya hingga rongga dada hanya akan sesak karenanya,” begitu ia pernah berkata. Kalimat yang membuatku tergaruk kenangan sampai betis malam rebah di dini hari.
Wajahnya terus menggelitik, menjuntai dalam bait-bait asa. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana, karena pertemuan yang kunantikan ini ujung dari pisah sekian puluh purnama. Aku tak ingin melewati purnama selanjutnya tanpanya. Menantinya, riang kembali terngiang ketika colekannya menggelitik raga.
Lelaki itu akhirnya datang dengan salam yang sama seperti tahun-tahun sebelum perpisahan. Senyumannya masih seperti dulu, hanya kumisnya sedikit menebal. Ia mendekat tepat duduk di depanku.
“Setelah kita saling mendekat, masih adakah jarak diantara kita?” tanyaku.
“Sudah terlalu jarak, tahun-tahun perpisahan telah hampir jadi windu,” jawabnya.
“Aku akan selalu menunggumu menebus masa yang telah hilang,” kataku padanya.
“Aku bukan lagi lelaki dulu,” lanjutnya.
“Tapi kau tetap pria yang menyita tidurku.”
“ Kau kembali pada waktu yang salah May.”
“Waktu telah memperdayaku hingga seperti ini,”
Tak kuasa kumenahan air mata di depannya. Aku jadi begitu rapuh.
“Kau tak perlu menangis atas nama cinta. Air mata tak akan membalik waktu. Kita telah berada di dua tebing terjal yang tak terjembatani. Masih ada jalan lain bagimu untuk menuju puncak.”
“Jalan itu hanya kamu Ris,”
“May! Darah itu masih membatu hingga sekarang, meski sekarang kau datang dengan dua telapak tanganmu membawa maaf. Ia tak akan cair. Ada hati tempat aku berbagi lapangnya. Aku kini milik dua perempuan yang ditiggalkan ibunya.”
“Ya, aku juga ingin jadi milik mereka. Mereka masih kecil untuk ditinggalkan orang tua. Tak perlu lagi kau terpaku setelah gelombang raya menenggelamkannya.”
“Anak-anakku bukan anakmu, jika ia jadi milikmu maka mungkin kita bisa menyambung kisah yang tertunda.”
Sungguh kebahagiaan itu akan singgah lagi. Aku akan menggenggamnya dalam keabadian. Tapi aku harus meyakinkan dua gadis kecil itu bahwa aku perempuan yang layak untuk mengganti ibunya. Sore itu yang terkenang benar-benar terulang. Aku kembali tenggelam dalam kepak sayapnya.[]
Artikel keren lainnya:
1 Tanggapan untuk "Yang Terkenang"
kadang menghapus kenangan tak semudah mengukir kenangan,,,,,,
Post a Comment