Apam, kue khas dengan bahan tepung dan santan jadi peganan khusus dalam masyarakat Aceh, mulai dari kenduri setelah gempa sampai hukuman bagi pria yang tidak ke mesjid di hari Jumat.
Membuat kue apam dalam berbagai perhelatan (khanduri) merupakan tradisi dalam masyarakat kampung di Aceh. Sampai sekarang kebiasaan ini masih dipertahankan dalam bentuk khanduri apam (kenduri apam).
Kenduri apam biasa dilaksanakan pada 27 Rajab yang diperingati sebagai hari israk mikraj Nabi Muhammad SAW. Pada malam 27 Rajab, masyarakat desa berkumpul di Meunasah (Surau) untuk mendengar cermah tentang peristiwa israk mikraj yang dialami Nabi Muhammad SAW. Ceramah ini disampaikan oleh seorang Teungku, baik oleh Teungku di Gampong tersebut maupun teungku yang didatangkan dari daerah lain.
H C Snouck Hurgronje dalam buku Aceh di Mata Kolonial mengatakan kenduri apam bermula dari seorang pria Aceh yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama tentang pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan oleh malaikat Mungkar dan Nakir terhadap si mayat, serta hukuman yang akan dijatuhkan terhadap si mayat bila tak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan kedua malaikat tersebut.
Pria Aceh tersebut berpura-pura mati dan dikuburkan hidup-hidup. Dalam kubur ia pun diperiksa oleh Malaikat Mungkar dan Nakir tentang agama dan amalannya. Karena tak mampu menjawab pertanyaan maka pria tersebut dipukul dengan pentungan besi. Namun pukulan malaikat itu tidak mengenai pria tadi. Dalam kegelapan kuburan, ada sesuatu yang menyerupai bulan yang seolah-olah melindungi pria itu dari pukulan malaikat.
Pria yang pura-pura mati itu kemudian berhasil keluar dari kuburan dan segera pulang ke rumah. Semua anggota keluarga dan sanak famili yang masih berduka terkejut dibuatnya. Isak tangis pun terjadi. Ia kemudian menceritakan pengalamannya dalam kuburan. Benda bulat yang seolah-olah seperti bulan yang menghalangi pukulan malaikat merupakan kue apam (serabi) yang dibuat oleh keluarganya untuk dibagi-bagikan kepada pelayat.
Setelah peristiwa itu, maka setiap rumah di Aceh akan memasak kue apam bila ada kerabatnya meninggal. Kue apam itu dibagikan di kuburan kepada para pengantar jenazah, sesaat setelah mayat dikuburkan. Apam merupakan kue yang dibuat dari bahan tepung beras dan santan berbentuk bulat. Cara membuatnya, tepung yang bercampur santan dimasukkan ke dalam penggoreng yang diolesi minyak makan. Kadar olesan minyak hanya sebatas cukup untuk diserap satu kue apam. Untuk memakannya diberikan kelapa parut bercampur gula agar apam tidak tawar. Ada juga yang dimakan dengan pisang serta telur kocok.
Kue apam juga sering dibawa pada kenduri-kenduri lainnya, seperti kenduri di mesjid dan meunasah. Warga dengan suka rela membawa kue apam untuk dihidangkan pada kenduri tersebut. Kenduri apam juga dilaksanakan pada hari ketujuh (seuneujoh) orang meninggal. Apam juga sering dibagi-bagi bila ada peristiwa gempa. Alasannya, gempa akan membuat si mayat dalam kuburan terayun-ayun, maka kenduri apam dilakukan untuk menenangkan si mayat.
Selain sebagai kenduri, pembagian kue apam juga ajang bersedekah makanan terhadap sesama warga. Namun dalam kepercayaan masyarakat Aceh, kenduri apam bisa menjadi perantara antara orang yang sudah meninggal dengan sanak familinya yang masih hidup. Makanya kenduri apam dilaksanakan oleh masyarakat Aceh untuk menghormati jasad leluhurnya yang sudah meninggal.
Namun versi lain menyebutkan, asal usul kenduri apam bermula ditujukan kepada pria yang tiga kali berturut-turut tidak ke mesjid melaksanakan shalat Jumat. Sebagai denda adat, pria tersebut harus membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dana akan dimakan bersama sebagai sedekah. Dengan seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan membuat dirinya malu, maka dari zaman dahulu pria Aceh yang sudah baligh sangat jarang meninggalkan shalat Jumat.[Iskandar Norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Apam, dari Gempa Hingga Hukuman"
Post a Comment