Aceh World Trade Centre (AWTC) pernah diimpikan menjadi pendongkrak perekonomian Aceh melalui jalur perdagangan luar negeri. Kini perusahaan yang dirintis mantan kombantan tersebut, tak jelas juntrungannya setelah pengapalan perdana pada Januari 2006 lalu. Masih adakah AWTC?
Kabar terakhir dari archipelagonetwork menyebutkan, AWTC akan melibatkan diri dalam pembangunan kota minyak terintegrasi di Pulau Breuh, Kabupaten Aceh Besar, melalui kerja sama dengan dua perusahaan asal Malaysia; Malaysia Khair & Zakri Holding dan Al-Aidid (M) Sdn Bhd.
Untuk mewujudkan hal itu, sebuah perusahaan Malaysi dipersiapkan sebagai pelaksana pembangunan kota mintak di Pulau Breuh, yakni The Al Aidid Petro Corporation Sdn Bhd (APCSB). Perjajian kerja sama pun telah ditandatangani antara APCSB dengan Sabang Freeport and Free Trade Zone (BPKS).
Hal itu diungkapkan Direktur Utama APCSB, Mohammad Aidid Zakaria dalam situs archipelagonetwork. Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) kata Aidid akan menyediakan lahan seluas 1,200 hektar untuk pembangunan berbagai fasilitas. Tapi belum jelas bagaimana peran AWTC dalam kerja sama tersebut.
AWTC pernah diharapkan menjadi motivator bergeraknya perekonomian Aceh melalui ekspor impor. Semangat itu sempat muncul setelah adanya kerja sama antara AWTC dengan ASDP Malaysia Sdn. Bhd. Konkrit dari kerja sama tesrebut Kapal Jatra III milik ASDP Malaysia melakukan pelayaran perdana ke Krueng Geukueh pada Januari 2006 lalu.
Kerja sama antara AWTC dan ASDP Malaysia ditandatangani di Kuala Lumpur pasa 15 Januari 2006 dalam bentuk pelayaran langsung antara Malaysia – Aceh dengan mengangkut penumpang dan kenderaan. Kerja sama juga waktu itu diharapkan akan merambah pada ekspor impor berbagai komoditi.
M Nur Djuli yang waktu itu menjabat sebagai Direktur Managemen AWTC mengatakan bahwa lahirnya AWTC sebagai bentuk nyata bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah meninggalkan perjuangan bersenjata menuju perjuangan ekonomi. Namun, kerja sama antara AWTC dengan BUMN Malaysia itu sempat menimbulkan polemik karena GAM dinilai telah menjalin kerja sama dengan Kerajaan Malyasia.
Petinggi GAM waktu itu ramai-ramai membantah hal tersebut. Termasuk Irwandi Yusuf yang meminta untuk tidak dipolemikkan. Katanya, kerja sama tersebut tidak ada hubungannya dengan institusi GAM, tapi lebih kepada usaha pribadi para petinggi GAM.
Kerjasama pelayaran dan pengangkutan Aceh-Malaysia itu lebih fokus pada bidang ekspor impor, namun hanya beberapa kali pelayaran saja bisa dilakukan, AWTC tidak berhasil menghimpun komoditi di Aceh untuk dibawa ke Penang. Imbasnya jadwal pelayaran yang lebih megutamakan pengangkutan barang tersebut tertunda, dari seminggu sekali menjadi dua minggu sekali, sampai akhirnya Kapal Jatra III tidak lagi berlayar dari Penang, Malaysia ke Krueng Geukueh, Aceh Utara.
Padahal awalnya petinggi GAM seperti Muzakkir Manaf sangat yakin hubungan dangang Aceh-Malaysia itu akan maju. Pihaknya juga mendirikan PT Aneuk Nanggroe Expedition Bireuen dan PT Pulau Gadeng sebagai perusahaan pelaksana di Aceh. Hal yang sama juga dilakukan di setiap daerah tingkat dua lainnya, para petinggi GAM mendirikan berbagai perusahaan dengan tujuan yang sama.
Namun sayangnya, kini perusahaan para mantan—panglima—kombatan GAM itu malah larut dalam perebutan proyek pemerintah. Hal ini mungkin yang membuat upaya menghimpun komoditi melalui berbagai anak perusahaan milik GAM di daerah gagal dilakukan, imbasnya hubungan dagang yang dirintis dengan Malaysia pun hanya pepesan kosong belaka.
Aceh Europe Trade Centre
Setelah AWTC tak terdengar kabarnya, akhir Juni 2009 lalu dari Moabit Berlin, Jerman tersiar kabar telah dibentuk Aceh Europe Centre (AETC) yang dideklarasikan. Tujuannya lagi-lagi memajukan perekonomian Aceh melalui perdagangan internasional.
Fokusnya pun masih sama seperti AWTC, yakni ekspor impor komoditi pertanian. Mereka berhasrat memfasilitasi industri luar dengan pengusaha di Aceh, tujuannya komoditi Aceh harus tembus pasar internasional.
Seperti dilansir theglobejournal akhir Juni lalu, Sekjen AETC, Nadariadi mengatakan pihaknya telah menjajaki beberapa bidang kerja sama dengan Industi und Handelskammer, kamar dagang dan industrinya Jerman di Berlin.
Namun, lagi-lagi hal itu seolah hanya sebatas wacana, sama seperti pendahulunya; AWTC. Timbul pertanyaan besar, bagaimana AETC berhasrat mendongkrak ekspor komoditi Aceh ke Eropa, sementara mereka hanya ada di Berlin, tanpa memiliki jaringan bisnis di Aceh yang jelas. AWTC saja yang memiliki berbagai perusahaan milik mantan kombatan di daerah sebagai sel-sel bisnisnya, tak mampu mengekpor komoditi Aceh ke negeri jiran Malaysia, konon lagi ke Eropa.
Tulisan ini bukan sebuah rasa pesimis apalagi tak setuju dengan AWTC dan AETC, tapi lebih kepada upaya melihat realita bagaimana kita tidak harus selalu latah melihat keadaan tanpa mempersiapkan perangkat untuk sebuah tujuan yang mulia, agar tak hanya sebatas wacana.
Aceh Pernah Kuasai 85 Persen Ekpsor Impor
Sedikit menengok ke belakang, usaha ekspor impor telah dirintis jauh jauh hari oleh para saudagar Aceh dengan berbagai bendera usaha. Upaya mereka lebih nyata dan lebih berhasil tinimbang apa yang dilakukan sekarang oleh AWTC. Hebatnya lagi, hubungan dagang luar negeri yang dilakoni para pengusaha Aceh tempo dulu dilakukan dalam bayang-bayang revolusi kemerdekaan.
Pelaku ekpsor impor di Aceh masa itu yang terkenal diantaranya:
1. Indonesia Company Limited (NV Indocolim). Perusahaan ini didirikan oleh M Djoened Yoesoef. Di Idi untuk menampung hasil kebun dan pertanian warga, terutama lada dan karet. Untuk menunjang usaha perusahaannya itu, ia mengambil kredit tanpa bunga dari De Groot Attjehshe Afdeeling Bank di Langsa. Bank yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913. M Djoened Yoesoef kemudian memperluas usahanya dengan membuka kebun karet seluas 10 hektar. Uasahnya berhasil hingga mampu membuka kebun menjadi 30 hektar.
Pada akhir tahun 1925 ia menjadi penyandang modal (Peutuha Pangkai) tanpa bunga kepada petani yang membutuhkan modal. Seratus orang lebih mengambil modal itu danberhasil membudidayakan tanaman karet.
2. Perdagangan Masyarakat Indonesia (NV Permai) Perusahaan ini didirikan oleh Wahi Ibrahim asal Pidie. Bermula dari pembelian karet milik perkebunan Jepang yang harganya sangat murah karena perniagaan mengalami kemunduran. Ia membuka toko di Langsa dan Kutaraja (Banda Aceh-red). Pada akhir tahun 1945 ia berhasil menggudangkan 1.000 ton karet. Ia berhasil mengekspor karet tersebut ke Penang, Malaysia melalui Pelabuhan Langsa. Karet tersebut ditukar dengan berbagai barang kebutuhan daerah di Aceh, yang sangat penting waktu adalah kain dan senjata.
Ketika perusahaan tersebut mengalami kemajuan, Wahi Irahim bersama tiga kawannya pindah ke Pulau Penang dan menjadi Presiden Direktur NV Permai Cabang Pulau Penang. Disana ia merekrut tenaga tenaga provesional dari Melayu dan Cina sehingga perusahaan tersebut bertambah maju dengan pengelolaan yang profesional.
3. NV Meraxa Trading Company, Didirikan oleh Teuku Djohan yang mngawali karir dagangnya sebagai pedagang kain. Namun untuk memajukan usaha dagangnya, ia berdagang berbagai komoditi dari keuntungan penjualan kain. Ia mulai mengolah getah dan karet melalui perusahaannya di Medan yang langsung dijual ke perusahaan Belanda. Ia juga mampu meningkatkan penjualannya dari dagang lokal menjadi ekspor impor ke Penang dan Singapura.
4. Firma Puspa. Didirikan oleh Muhammad Saman di Bireuen, awalnya hanya sebuah toko yang menjual barang barang yang diimpor oleh perusahaan Belanda. Pada tahun 1953 berhasil berkembang menjadi pedagang pengecer barang barang impor serta pemasok komoditi ke NV Atjehsche Handel Maatshappij cabang Lhokseumawe.
5. Perdagangan Indonesia Muda (NV PIM). Didirikan oleh orang orang terpelajar diantara para pendiri perusahaan perusahaan dagang di daerah Aceh. Ketika didirikan berkantor pusat di Kurataja kemudian membuka cabang di Langsa. Kala itu NV PIM merupakan perusahaan pengecer gula ternama di Aceh. Tahun 1944-1945 mengalihkan perdagangannya ke komoditi karet. Pada April 1945 melakukan ekspor perdana karet 30 ton ke Pulau Penang, Malaysia.
6. Aceh Rubber Company (PT ARCO) Didirikian oleh Ismail Usman, anak penjual roti di Idi, Aceh Timur. Untuk memperoleh roti langsung ia bekerja sama dengan pemilik pabrik roti orang Cina. Laba dari penjualan grosir rotinya digunakan untuk membeli berbagai jenis hasil pertanian rakyat seperti karet, kopra dan pinang. Semua komoditi itu kemudian disalurkan kepada pedagang Tionghoa untuk diekspor. Pada Tahun 1950 Ismail Usman baru resmi mendirikan PT ARCO yang fokus usahanya bergerak dalam bidang perkebunan karet dan kelapa sawit di Aceh Timur.
Perusahaan perusahaan tersebut di atas merupakan pelaku dominan dalam ekpor impor pada tahun 1940-an sampai 1950-an. Malah menurut Zulfan dalam buku Kiprah Pedagang Pribumi Pada Masa Revolusi Kemerdekaan di Aceh, 85 persen ekspor impor dari dan ke Indonesia dipegang oleh para pengusaha Aceh. Kala itu, sebagian besar produksi perkebunan pemerintah dan pertanian rakyat Aceh, serta kebutuhan barang-barang impor ditangani oleh pengusaha Aceh.
Berkembangnya para pedagang Aceh pada masa kemerdekaan didukung oleh beberapa faktor, diantaranya faktor keamanan. Setelah Agresi Belanda pertama dan kedua, Aceh merupakan daerah yang tidak berhasil diduduki kembali oleh Belanda.
Kiprah pedagang Aceh waktu itu juga dibahas dalam surat kabar The Streit Echo dan The Time of Malaya terbitan Penang. Dua surat kabat Malaysia tersebut mewawancarai Ketua Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau (GPTP) Daerah Aceh yang berada di Pulau Penang, Liong Jau Hiong. Darinyalah informasi kiprah pedagang Aceh didapat oleh dua surat kabar tersebut. Tulisan itu kemudian dikutip kembali oleh surat kabar Semangat Merdeka di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, Aceh mengalami berbagai masalah ekonomi, seperti banyak beredarnya uang palsu, kesenangan produksi dengan jumlah uang yang beredar, naiknya harga barang setiap hari, dan berkurangnya impor. Untuk mengantisipasi hal itu dibentuklah suatu badan untuk mempertinggi produksi dalam negeri. Badan tersebut diketuai oleh M Nur El Ibrahimy. Para pedagang didorong untuk meningkatkan aktivitas perdagangannya, baik perdagangan lokal maupun luar negeri.
Usaha lain adalah dengan membentuknya Aceh Trade Centre (ACT) yang betugas mempermudah pengadaan barang-barang yang berasal dari Aceh yang akan diekspor ke luar negeri.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Quo Vadis Aceh World Trade Centre?"
Post a Comment