Masyarakat hukum kita sedang sakit. Lebih mencari kemenangan tinimbang keadilan. Media ikut terjebak.Media massa kini menjadi satu bagian tumpuan penegakan hukum. pengusutan berbagai kasus secara nasional yang diberitakan media, baik cetak maupun elektronik seolah membuat penegakan hukum telah “dikendalikan” oleh media (Press controlled law enforcement). Akses informasi publik yang didapat melalui media sangat mencengangkan.
Hal ini membuat penegakan hukum telah dipicu oleh media. Kasus yang sering disorot oleh media akan membuat penanganannya lebih serius, tinimbang kasus dalam sidang tertutup. Namun dampak lainnya, bila itu terus terjadi, maka penegakan hukum seakan bergantung pada media. Aparat penegak hukum akan berada dalam kondisi “panik” bila publikasi kasus tersebut terus menerus.
Lihat saja ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Muhammad Mahfud MD membuka rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan berbagai pihak dalam kasus mengkriminalisasi petinggi KPK, telah memberi ruang informasi bagi publik bagaimana hukum di negeri ini diatur oleh kekuatan uang. Semua media menyorot hal itu.
Begitu juga ketika tiba-tiba ada penyelidikan mendadak (Sidak) ke Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta, Minggu 10 Januari 2010, Artalyta yang divonis lima tahun penjara memiliki ruang tahanan yang mewah seperti layaknya hotel. Semua media memberitakan hal itu, sementara pada waktu bersamaan Pansus DPR sedang memeriksa beberapa pejabat negara terkait kasus Bank Century. Media hampir saja ditarik ke persoalan ruang tahanan Artalyta yang serba mewah. Padahal kasus Bank Century lebih penting.
Upaya peralihan isu seperti ini oleh kekuasaan dalam penegakan hukum, sering membuat media terjebak. Bayangkan pada kasus yang tidak jadi konsumsi media, tentu penanganannya akan lamban, kalau tak elok dibilang terpendam. Penegakan hukum yang bergantung pada pemberitaan media tentu bukan hal yang selamanya baik. Seharusnya, ada atau tidaknya media memberitakan pun penegakan hukum harus tetap jalan.
Penegakan hukum akan runyam bila hal ini terus terjadi. Bukan tidak mustahil pemilik media yang punya koneksi dengan terdakwa dalam kasus-kasus tertentu akan memutar fakta dari satu sisi saja, sisi yang menguntungkan sang kawan. Bila penegakan hukum berhasil ditarik dalam isu yang dimunculkan media tersebut, maka subtansi dari kasus yang ditangani akan kabur.
Media juga kadang-kadang bisa “dibeli” oleh kekuasaan yang korup untuk menjatuhkan seseorang dalam kasus tertentu. Sudah jadi rahasia umum, masyarakat kita bukanlah para pencari keadilan di pengadilan, tapi pencari kemenangan. Berbagai upaya akan dilakukan untuk memperoleh kemenangan, salah satunya bisa jadi dengan menyuap media untuk mempelintir kasus yang sasaran akhirnya tentu mempengaruhi opini pengadilan.
Banyak contoh telah terjadi, munculnya makelar kasus (Markus) dalam berbagai perkara membuktikan upaya mencari kemenangan di pengadilan dengan mengenyampingkan keadilan. Hal ini akan bertambah parah ketika media terjebak di dalamnya.
Dalam ranah penegakan hukum dikenal istilah actus non facis reun nisi mensir rea, tiada terpidana tanpa kesalahan. Namun ungkapan yang menyiratkan makna hukum di atas segala-galanya itu seakan tidak berarti ketika uang dan kekuasaan memengaruhinya. Bagaimana pun kadang kala ada terpidana yang masuk pengadilan tanpa kesalahan. Ada pula yang bebas meski bersalah. Momok mafia peradilan yang terasa ada tapi teraba tidak, akan terus berperan dalam hal ini.
Wajah peradilan kita juga tercoreng dengan penegakan hukum yang pilih kasih. Seorang koruptor kelas kakap bisa hidup enak meski dalam penjara dengan fasilitas mewah. Sementara maling ayam babak belur dihajar dan diganjar hukuman. Padahal, sejatinya setiap orang sama kedudukannya di mata hukum. Kenyataannya, hukum lebih sering berpihak pada pejabat yang memiliki koneksi dengan penegak hukum dari pada rakyat jelata.
Kondisi ini kemudian melahirkan impunitas dalam penegakan hukum. Seseorang yang seyogianya mendapat hukuman tapi luput dari hukuman. Impunity merupakan adik sedarah dari kata untouchable yang bermakna kebal hukum. Keduanya muncul karena adanya perlindungan di ketiak kekuasaan. Karena impunity dan ontuchable maka pelanggaran menjadi sesuatu yang biasa atas aturan yang ada.
Impunity merupakan rahim yang melahirkan anak emas yang disanjung dan dilindungi meski berlaku salah. Agar impunity dan untouchable tak mengganggu sistim peradilan, maka peradilan harus jauh dari pengaruh kekuasaan. Kekuasaan harus dikembalikan pada jalurnya. Pada wajah yang tak bertopeng.
Meski sejak zaman dahulu, kekuasaan selalu berwajah ganda, kata Prof, Dr Franz Magnis Suseno. Ada kalanya kekuasaan itu begitu memesona, tapi tak jarang juga sangat menakutkan. Itulah kekuasaan yang digagahi impunitas dan untouchable.
Dengan praktek hukum yang digagahi impunity, maka legitimasi hukum akan tercoreng oleh kekuasaan. Parahnya lagi ketika media ikut condong memihak kekuasaan sehingga impunity di peradilan menjadi sebuah pembiaran.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Media dan Hukum"
Post a Comment