Dewasa ini kita sering disugukan berita kekerasan seksual di media. Yang terbaru pelecehan seksual yang dilakukan oleh tiga oknum anggota Wilayatul Hisbah (WH) Kota Langsa terhadap seorang wanita yang kedapatan berbuat mesum bersama pacarnya di kebun sawit PTPN 1 Langsa.
Wanita berinisial NR warga Paya Bujok Tunong, Kecamatan Langsa Baro, Kota Langsa, yang ditangkap karena melanggar syariat itu takut bukan kepalang. Celakanya ketakutan itu dimanfaatkan oleh tiga oknum WH untuk melampiskan nafsu bejatnya. Singkat kata, bila tidak melayani ketiga oknum pengawas syariat tersebut, NR akan dilaporkan pada orang tuanya.
Ketiga oknum yang bertindak tak manusiawi itu adalah FA (28) warga Gampong Langsa Lama, DS (27) penduduk Gampong Asam Peutek Kecamatan Langsa, dan MN (29) warga Gampong Matang Seulimeng Kecamatan Langsa Kota. MN dan DH telah ditangkap, tapi DS melarikan diri, hingga kini masih buron.
Dalam kasus ini kita lihat bagaimana kekuasaan digunakan untuk melampiaskan nafsu. Inilah petaka ketika akal sehat mampu digauli nafsu. Kini sorotan tentu bukan hanya terhadap tiga oknum tersebut, tapi juga lembaga WH. Hal ini seakan menambah jumlah arang yang tercoreng di muka penegak syariat tersebut. Setelah sebelumnya beberapa kasus yang sama juga terjadi.
Sorotan itu tentunya tak akan terjadi jika ketiga oknum WH tersebut mampu melihat dirinya sendiri dengan tanggung jawab yang melekat padanya sebagai pengawas syariat. Jauh hari penyair Scotlandis, Robert Barn (1759-1796) telah menyetil hal seperti ini; Jika kita bisa melihat diri sendiri, seperti orang lain melihat kita, maka kita bakal terbebas dari banyak kekeliruan dan gagasan-gagasan bodoh.
Gagasan-gagasan bodoh yang terbebas itu termasuk ”mencuci onderdil” tidak pada tempatnya sebagaimana dilakoni tiga oknum WH tersebut. Ketika nafsu gagal dijaga, manusia sering kelimpungan. Malah Presiden Amerika kedua, Jhon Adam mengatakan, semua orang adalah monster yang serakah ketika nafsu gagal dijaga. Perjuangan manusia melawan nafsu sedikitnya sama dengan perjuang melawan kekuasaan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Milan Kudera, seorang penulis besar Cheko dalam novelnya ”The Book of Laughter and Forgetting” dalam novel itu, melalui tokoh Mirek, ia menyebutkan, perjuangan manusia melawan nafsu dan kekuasaan dalah perjuangan ingatan melawan lupa.
Selama manusia tidak lupa bahwa ia hanyalah pelakon dalam sandiwara dunia yang ditonton malaikat dan tuhan, ia tak akan tergelincir. Tapi kadang-kadang manusia lalai dengan kekuasaannya, hingga melahap yang tidak berhak, termasuk kemesuman di dalamnya.
Antara nafsu dan kekuasaan memang saling mempengaruhi. Sederetan kasus kegagalan akan sehat menjaga nafsu telah terjadi di institusi WH. Mari sedikit kita melihat ke belakang, bukan untuk mengungkit aib, tapi menangkap pelajaran darinya. Pada 19 April 1007, Kamis dini hari, seorang anggota WH di Banda Aceh, Raihanuddin ditangkap warga ketika sedang “indehoi” dengan Mahdalena (saat itu berusia 17 tahun) di sebuah WC umum Desa Ie Masen, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh.
Untuk menutupi kasus tersebut, keduanya kemudian dinikahkan. Raihanuddin malah kembali ke kampung halamannya di Medan, Sumatera Utara. Sebelumnya hal yang sama juga menimpa Zairi, anggota WH di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) pada 10 Maret 2007.
Zairi merupakan anggota WH yang pertama di Aceh dipecat karena terjerat kasus mesum. Pemecatan itu dilakukan karena Zairi memboncengi seorang wanita bernama Agustina yang berumur 17 tahun yang bukan muhrimnya saat menjelang malam. Ia ditangkap oleh Ayub ayah dari wanita yang diboncenginya. Zairi dan Agustina ditangkap ketika sedang dalam perjalanan pulang dari pasar Manggeng setelah habis berbelanja.
Publik tentu berharap hal yang sama dilakukan terhadap tiga oknum WH Kota Langsa yang bertindak di luar batas terhadap NR. Bukan hanya sebatas pemecatan, tapi dihukum dengan hukuman setimpal. Bila pelanggar syariat lainnya bisa dicambuk oleh WH tahun-tahun lalu, mengapa hukuman itu tidak diberlakukan terhadap WH sekarang.
Ke depan kita tentu menginginkan hal-hal seperti itu tidak terulang lagi. Untuk itu, mekanisme perekrutan anggota WH harus diperketat. Kita tidak ingin WH diisi oleh orang-orang yang semata-mata mencari pekerjaan yang bekerja karena tidak ada kerja lain.
WH ke depan harus benar-benar WH yang paham tentang pentingnya penegakan Syariat Islam. Kalau tidak, maka coretan-coretan arang di wajah lembaga Wilayatul Hisbah tentunya akan semakin bertambah. Dan bila itu terjadi, akan timbul apatisme dalam masyarakat terhadap penegakan syariat Islam di Aceh.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Nafsu dan Kekuasaan"
Post a Comment