Ketika nafsu gagal dijaga, maka kekonyolan berbuah petaka. Hal ini kerap terjadi di bumi yang konon katanya menegakkan Syariat Islam; Aceh. Wajah penegakan Syariat Islam kembali tercoreng ketika tiga oknum dari Wilayatul Hisbah (WH) yang diembankan tugas mengawasi penegakan Syariat Islam, malah berlaku sebaliknya.
Kita terhenyak ketika mengetahui tiga anggota WH di Kota Langsa berlaku tidak senonoh kepada seorang wanita, NR, warga Paya Bujok Tunong, Kecamatan Langsa Baro, Kota Langsa, yang ditengarai melanggar syariat dengan melakukan khalwat. Terhadap wanita yang ditangkap itu, tiga oknum WH tersebut bukannya memberi pembinaan agar tidak mengulangi perbuatannya, malah diminta untuk melayani nafsu mereka.
Ketiga oknum yang bertindak tak manusiawi itu adalah FA (28) warga Gampong Langsa Lama, DS (27) penduduk Gampong Asam Peutek Kecamatan Langsa, dan MN (29) warga Gampong Matang Seulimeng Kecamatan Langsa Kota. MN dan DH telah ditangkap, tapi DS melarikan diri, hingga kini masih buron.
Ini tentu sebuah tamparan bagi Wilayatul Hisbah, bagaimana orang-orang yang dipercayakan untuk menjai penegak Syariat Islam, malah menghancurkannya. Publik bertanya, mengapa hal ini bisa terjadi. Reputasi WH dimata publik akan semakin terpuruk bila kejadian-kejadian seperti itu terulang.
Seharusnya WH bisa menampilkan contoh baik dalam pengawasan dan penegakan Syariat Islam, bukan sebaliknya. Perekrutan personil WH harus dievaluasi, WH jangan lagi diisi oleh para pengangguran yang menjadikan instansi itu semata-mata untuk mencari pekerjaan. Moral dan tingkat pemahamaman terhadap agama harus jadi syarat utama bagi setiap calon anggota WH yang akan direkrut. Kalau tidak, maka hal yang sama akan kembali terulang.
Selain itu, harus ada sanksi yang tegas bagi ketiga oknum WH tersebut, agar publik mengetahui bahwa WH juga bisa dicambuk akibat penyelewengan yang dilakukannya, sebagaimana para pelanggar syariat lainnya yang pernah merasakan dera cambuk algojo dari sang penegak.
Kalau tidak, maka gunjingan terhadap WH akan kemabali marak. Kita masih ingat bagaimana kasus Raihanuddin, anggota WH yang indehoi dengan MD, remaja berusia 17 tahun di Ulee Kareng, Banda Aceh di malam buta dalam sebuah kamar mandi. Kasus itu menjadi bumerang bagi WH ketika hanya diselesaikan secara adat melalui sebuah pernikahan “tidak terhormat”. Padahal publik menginginkan lebih dari itu.
Bila para pelaku khalwat sebelumnya ramai yang dicambuk di depan umum, oknum WH dituntut untuk mendapatkan hal yang sama. Dinas Syariat Islam dituntut untuk tidak tebang pilih apalagi pilih kasih dalam menegakkan hukum Tuhan.
Kita menginginkan WH diisi oleh orang-orang yang tak mudah hilang akal sehatnya. Bagaimana pun, ketika akal sehat mampu digauli nafsu, maka embroinya adalah ketaksadaran manusia akan adanya Tuhan. Atau mungkin juga para oknum WH tersebut secara sadar mengolok-ngolok agama Tuhan dengan kemesuman. Makna Syariat Islam yang didengung-dengungkan kaffah pun kembali dipertanyakan.
Lebih ironis lagi, ketika penegakan Syariat Islam di Aceh dinilai hanya sebatas nilai sebuah kambing. Hal ini karena ada pelaku pelanggaran Syariat Islam yang dibebankan denda adat membayar sebuah kambing kepada penduduk setempat, setelah itu dianggap selesai. Hal ini pernah terjadi Tringgadeng, Pidie Jaya dan di beberapa tempat lainnya. Sebatas itukah wajah penegakan syariat di Aceh?
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Wajah Penegak Syariat"
Post a Comment