Renvanda jadi nama yang diperbincangkan dalam jagad sastra Aceh. Kemunculan cerpen perdananya di media membuat penulis muda itu disomasi oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.
Sebelumnya dalam ranah sastra, Renvanda bukanlah siapa-siapa. Namun, somasi dari orang nomor satu di Aceh membuat ia diperbincangkan, tidak hanya oleh kalangan sastrawan, tapi juga para politisi yang menilai sikap Gubernur terlalu gegabah sampai cerpen pun jadi objek somasi, yang nyata-nyatanya hanya sebuah karya fiksi semata.
Gubernur Irwandi Yusuf menilai Renvanda telah mencemarkan nama baik Aceh dan Indonesia, yang dalam cerpen “Surat Buat Darwati” ditulis dengan nama Ancen dan Cendonesia. Irwandi menafsir cerita fiksi itu dengan kaca mata non fiksi. Jadilah cerpen yang sejatinya lahir dari dunia hayal penulisnya, ditarik dalam ranah nyata oleh sang gubernur.
Alasan lainnya, cerpen milik Renvanda itu dinilai menceritakan perkembangan yang terjadi di Aceh dibawah pemerintahan Irwandi-Nazar. Sebuah kalimat dalam surat somasi gubernur itu menarik untuk diperbincangkan. “Isi dari cerpen itu tidak semuanya benar…tapi hanya rekaan, asumsi, persepsi yang cenderung bersifat fitnah..”
Membaca kalimat itu seorang kawan yang juga sastrawan Aceh tertawa—malah terbahak-bahak—katanya, cerpen ya bukan sebuah kenyataan, tapi rekaan yang lahir dari imajinasi penulisnya, jadi tidak perlu ada kata tidak semuanya benar.
Dalam somasi itu, Renvanda dinilai telah melakukan beberapa tindak pidana, di antaranya, penghinaan dan pencemaran nama baik. Soal penghinaan, saya teringat catatan lama milik Goenawan Wanaradja, kawan saya yang pernah menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Hakim peradilan umum Republik Indonesia ini mengilustrasikan beberapa contoh, pasal penghinaan dalam kasus penghinaan terhadap presiden. Pada tanggal 16 Juni 2006, Fahrur Rochman seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) ditangkap saat berdemonstarsi di depan Kampus Universitas Nasional, karena telah membagi-bagikan poster SBY dan Yusuf Kalla yang wajahnya diberi tanda silang dan tulisan “Kami Tidak Tahan Lagi “, dan tindakan itu dianggap telah menghina Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian contoh lain, Eggi Sudjana seorang advokat Senior, yang didakwa telah menyebarkan rumor pemberian mobil Jaguar oleh pengusaha Harry Tanoesudibjo kepada salah seorang anak SBY, Sekretaris Negara, dan dua orang Juru Bicara SBY, yang selanjutnya membawa advokat tersebut untuk menghadapi dakwaan Pasal 134 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden, karena dianggap telah melakukan tindak pidana pencenaran nama baik Presiden RI.
Berdasarkan fakta sejarah, dahulu pengaturan pasal penghinaan terhadap Presiden itu digunakan untuk melindungi “Ratu Belanda“, karena Pasal 134 KUHP itu sendiri berasal dari “Wetboek van Strafrecht Voor Nederland-Indie “ yakni diambil secara utuh dari Pasal 111 KUHP Belanda, sehingga menjadi suatu alasan kuat untuk menjadikan seseorang yang ditangkap itu sebagai tahanan politik.
Begitu pula dalam Pasal 134 KUHP kita, yang mengatur tentang kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dengan ancaman hukuman maksimal selama enam tahun. Ternyata hal ini hanya merupakan dalih alasan untuk melindungi kekuasaan belaka, dengan membungkam kebebasan untuk berekpresi dan berpolitik praktis yang berarti pula telah membelenggu Hak Asasi Manusia (HAM).
Belanda sudah lama mencabut Pasal 111 WvS tersebut, dan menurut aturan baru di negeri kincir angin itu, semua tindak pidana yang menyangkut masalah martabat Ratu agak ringan dan tidak membawa akibat apa-apa, karena hanya menerapkan denda administratif saja dan bukan pidana penjara. Lain Belanda lain pula di Indonesia, walaupun Indonesia menganut “Asas Oportunitas,“ namun belum menjalankan sepenuhnya seperti di Belanda.
Lebih jauh Goenawan Wanaradja menjelaskan, kita harus membedakan antara kritik dengan pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan. Karena dengan menindas tukang kritik sama dengan membangun pemerintahan yang tirani dan otoriter. Penghinaan, fitnah, atau pencemaran nama baik itu tidak memiliki motivasi yang luhur, sedangkan kritik bermotivasi luhur.
Pemerintahan yang demokratis tidak akan menindas tukang kritik, sebab hadirnya tukang kritik akan menjadi salah satu pilar sebuah pemerintahan yang demokratis. Mungkin dalam kasus cerpen “Surat Buat Darwati” Renvanda mencoba mengkritik, bukan memfitnah.
Konstitusi Indonesia dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tentang “ kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap.“ juga memberikan penghormatan dan menjamin setiap orang untuk bebas menyampaikan pendapat, pikiran, dan ekspresi sikap. Akan tetapi perlu digarisbawahi pula bahwa cara-cara dalam menyampaikannya harus santun dan beretika serta tidak untuk melakukan suatu penghinaan. Untuk itu kita harus melihat dengan baik apa motivasi Renvanda dalam menulis cerpen tersebut. Tukang kritikah dia atau sipenghina yang durja?
Menutup catatan singkat ini, saya kutip pernyataan penulis Rusia, Vladimir Bukosvsky pada September 1968, kemerdekaan menyatakan pikiran dan kemerdekaan pers adalah pertama sekali kemerdekaan untuk mengkritik. Tak ada yang melarang memuji pemerintah, maka kritik pun jangan dimatikan.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Renvanda"
Post a Comment