Kabinet baru Pemerintahan Irwandi Yusuf–Muhammad Nazar diharapkan mampu membawa perubahan. Bukan semata-mata ganti nama dan jabatan dalam struktur pemerintahan.
Kabinet perubahan harus benar-benar mampu membawa perubahan bagi Aceh. Baik dari segi manajemen birokrasi, maupun implementasi program bagi kemajuan Aceh. Ini penting karena perubahan tidak merangkak mundur, tapi berjalan ke depan.
Di sisa waktu pemerintahan Irwandi-Nazar kita berharap perubahan terwujud. Pemerintahan sekarang harus mampu meletakkan fondasi yang kuat untuk ikut dalam arus perubahan menghadapi era globalisasi, baik dalam Asean Free Trade Area (AFTA) yang digelontorkan tahun 2003 lalu, dan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) nantinya.
Aceh harus mampu berperan dalam perubahan tersebut. Hal ini dimungkinkan oleh Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), meskipun ada hal-hal yang masih diatur oelh pusat. Namun setidaknya, dalam poin 1.1.1.b UUPA disebutkan persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ilhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
Karena itu, Aceh harus mampu beradaptasi dari sekarang untuk mengisi perubahan di kancah internasional. Pemerintahan Aceh dengan didukung Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) harus mampu meletakkan fondasi itu dari sekarang agar tidak tergilas dalam perubahan zaman.
Igor Ansooff seorang ahli manajemen dalam buku Im Planting Strategic Managemen, menggambarkan perubahan tersebut dalam lima tahapan; pengulangan (repetitive), berkembang (expanding), berubah-rubah (changing), putus-putus (discountinous), dan kejutan (changing).
Aceh tidak bisa menghindari dari berbagai perubahan tersebut. Sudah pada tahanap manakah kita sekarang?. Untuk melalui tahapan-tahapan itu sedari sekarang Pemerintah Aceh dengan SKPA-nya harus mampu merencanakan pembangunan jangka panjang agar tidak gamang dalam perubahan.
Tanpa perencanaan dari sekarang, nantinya Aceh akan tergilas dalam perubahan eksternal yang masuk ke Aceh menjadi bagian dari perubahan peradaban secara global. Menghadapi perubahan yang semakin cepat dan tanpa penyekat, Pemerintah Aceh harus memperkuat fondasi dari sekarang, bila tak ingin terjebak dalam manufer politik ekonomi dan budaya luar yang serba agresif.
Aceh harus dibangun dengan perspektif yang jauh ke depan. Kehancuran akibat konflik serta musibah gempa dan tsunami di penghujung tahun 2004 lalu, sudah berlalu dalam penyembuhan rekonstruksi dan rehabilitasi. Kini saatnya membangun dengan pandangan global. Dan itu merupakan tugas Pemerintah Aceh dengan kabinet barunya sekarang.
Lupakan konflik dan musibah. Mari berdiri di atas kaki sendiri sebagaimana pernah dilakukan bangsa Jerman. Kerusakan yang kita alami pada gempa dan tsunami 24 Desember 2004 lalu, sebenarnya juga pernah dialami oleh Jerman dalam bentuk lain yakni tragedi perang dunia II.
Pascaperang dunia II, bangsa-bangsa Eropa mengalami kehancuran yang luar biasa. Lalu muncul Amerika Serikat yang menawarkan bantuan sebesar USD 20 milyar untuk rekonstruksi Eropa. Saat itulah masyarakat Eropa mulai bangkit bersama-sama, bekerja sama dalam sebuah kesatuan. Maka lahirlah kerangka Marshall Plan yang dimulai pada tahun 1947. Enam tahun kemudian, tepatnya pada 1953, Amerika Serikat telah memompa dana sebesar USD 13 milyar kedalam perekonomian Eropa, sehingga Eropa mampu berdiri kembali diatas kakinya sendiri. Hal ini juga telah dilakukan di Aceh oleh dunia internasional dengan beragam bantuan penyembuhan luka Aceh.
Kita berharap para pejabat eselon yang dilantik oleh Pemerintah Aceh dua hari lalu dapat memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya bukan untuk memperkaya diri, tapi membangun daerah untuk menghadapi perubahan yang akan datang dari dunia luar dengan berbagai kompetisinya.
Kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi harus jadi motivasi untuk bangkit. Bila tidak, maka tidak mustahil tahun depan akan ada lagi perombakan kabinet dalam pemerintahan. Apalagi ketika tolak ukur keberhasilan dan kegagalan para Kepala SKPA baik yang sudah diganti maupun yang masih bertahan tidak jelas. Apakah karena pengalaman di birokrasi atau berdasarkan kemampuan akademis.
Kegagalan pembangunan selama ini bukan disebabkan oleh krisis, tapi mismanagemen birokrasi di pemerintahan. Bongkar pasang kepala dinas (SKPA) ikut menjadi salah satu penyebab. Adriano A Chaniago dalam buku Gagalnya Pembangunan, mengatakan akar persoalan yang menimbulkan keterpurukan mesti dicari dari strategi pembangunan itu sendiri.
Pertanyaannya sekarang, sudahkan Aceh memiliki strategi untuk menghadapi era perdagangan bebas nantinya. Atau akan terpuruk dalam lima tahapan perubahan sebagaimana saya sebutkan di atas tadi. Menutup tulisan singkat ini, saya kutip pernyataan Wakil Presiden pertama Indonesia, Muhammad Hatta, hanya satu tanah yang bisa disebut tanah airku, ia berkembang dengan amal, dan itu adalah amalku.
Aceh membutuhkan banyak amal para birokrat untuk menyongsong perubahan. Kalau tidak, maka kabinet perubahan Pemerintah Aceh yang baru ini, tak akan membawa perubahan apa-apa. Semoga mereka mampu meletakkan pondasi bagi perkembangan Aceh ke depan.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kabinet Perubahan"
Post a Comment