Gus Dur diusulkan jadi pahlawan nasional. Tapi pahlawan hanya ada dalam hymne dan hening cipta.
Rasanya tak layak menambah dereratan nama dalam daftar pahlawan, sebelum penghargaan terhadap pahlawan benar-benar dipenuhi oleh generasi setelahnya. Contoh terdekat, Kabupaten Bireuen yang diklaim sebagai kota juang, sampai sekarang tidak memiliki taman makam pahlawan.
Jauh sebelumnya, Malem Dagang sebagai panglima perang Kerajaan Aceh yang manaklukkan semenanjung Malaka, sampai kini hanya ada dalam catatan usang di kaki buku sejarah. Makamnya di Ulim, Pidie Jaya, terasing di perkampungan, tanpa perhatian, meski hanya untuk sebatas pemugaran.
Kepahlawanan Pang Nanggroe dengan gaya how bovenov dalam menebas musuh dengan pedangnya di Keuretoe, Aceh Utara juga hanya tercatat dalam catatan Belanda yang sangat menghormati keheroikannya. Pahlawannya Teuku Umar dengan aksi tipu Aceh yang mencengangkan Belanda juga hampir jadi dongeng dalam legenda saja. Penghormatan yang sesungguhnya terhadap mereka belum sepenuhnya diberikan oleh generasi pemuja romantisme sejarah setelahnya. Karena itu, kita butuh relawan, bukan pahlawan.
Aceh melalui Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) juga pernah mengusulkan Syeikh Abdurrauf as Singkili alias Tgk Syiah Kuala sebagai pahlawan nasional. Pertimbangannya, Tgk Syiah Kuala dinilai sebagai peletak dasar pendidikan di Aceh. sebagai mufti kerajaan, ulama besar, pengarang puluhan kitab, ia dianggap layak menyandang predikat pahlawan nasional.
Namun, sampai kini belum ada kabar layak tidaknya Tgk Syiah Kuala diangkat sebagai pahlawan nasional. Pengangkatan Tgk Syaiah Kuala sebagai pahlawan nasional masih terkendala pada beberapa hal yang akademis, seperti belum semua kitab-kitab karangan Syiah Kuala yang terkumpulkan untuk diajukan sebagai bukti akademis, disamping beberapa persyaratan lainnya yang belum bisa dipenuhi oleh pihak Universitas Syaih Kuala.
Partai Golongan Karya (Golkar) juga pernah mengusulkan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Tapi pengusulan yang tidak pada waktunya membuat hal itu membal kembali. Soeharto diusulkan sebagai pahlawan nasional ketika masih banyak persoalan di sekitar keluarga dan kroninya belum diselesaikan. Nama Soeharto waktu belum benar-benar bersih dari berbagai kasus belasan yayasannya yang dituding menikmati uang negara melalui kolusi korupsi dan nepotisme.
Di Indonesia, penghargaan terhadap pahlawan masih sebatas pada cerita heroisme, hymne dan hening cipta saat upacara tahunan. Dengan kondisi karut marut bangsa seperti sekarang, kita tak butuh pahlawan, tapi lebih memerlukan relawan. Relawan yang mampu meneruskan semangat yang diwarisi oleh para pahlawan untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Relawan di segala tingkat masyarakat yang sudi memikirkan nasib orang-orang terpinggirkan.
Tulisan ini muncul setelah saya membaca sebuah pesan singkat dari seorang kawan yang prihatin dengan apa yang disebutnya keberpihakan kepada kaum miskin, setelah mengetahui ternyata anggaran pendapatan dan belanja Kota Banda Aceh, lebih tujuh puluh persen dihabiskan untuk membayar biaya pegawai, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk biaya publik. Saat itu pula saya sedang membaca di media tentang berita mengusulkan Gus Dur sebagai pahlawan nasional. Menimbang keduanya, maka tulisan singkat ini lahir.
Masyarakat Kota Banda Aceh masih membutuhkan relawan di eksekutif dan legislatif yang berjiwa pahlawan untuk memperjuangkan naiknya persenan anggaran untuk kebutuhan publik. Pahlawan biarlah ada dalam catatan, tapi semangatnya yang harus ditumbuh kembangkan dalam bentuk tindakan nyata.
Begitu juga dengan Gus Dur. Pahlawan bukannya Presiden Republik Indonesia keempat itu biar ada dalam hati rakyatnya. Tapi apa yang telah dikerjakannya dalam bentuk kepedulian terhadap kaum minoritas harus dilanjutkan dalam perjalanan bangsa yang majemuk ini.
Semangat yang ditinggalkannya membuat ia akan tetap ada, meski tanpa embel-embel gelar pahlawan. Biar ia ada sebagai pahlawan dalam ingatan. Saya teringat pada apa yang dikatakan Peter Ustinov (1958), tidak ada gunanya mati jika tidak meninggalkan secercah rasa. Itulah kerja para pahlawan yang setelah mati masih menghantui ingatan seseorang. Ini tentu lebih bermakna tinimbang jadi pahlawan dalam hymne dan hening cipta.
Seorang pahlawan akan berhenti menjadi manusia (meninggal-red) dan mulai menjadi gagasan, menjadi ide, menjadi monumen dan topik diskusi, merupakan sebuah bukti nyata bahwa mereka telah mampu menjadi pahlawan yang sesungguhnya. Gus Dur dengan dan tanpa disebut sebagai pahlawan tetaplah seorang Gus Dur dengan apa yang ditinggalkannya. Mawar akan tetap harum meski dipanggil dengan sebutan lain, begitu Shakespeare pernah berkata dalam Romeo and Juliet.
Gus Dur tetaplah Gus Dur, bukan gus lainnya. Secercah rasa yang ditinggalkannya tentu akan berbeda-beda di hati setiap orang di negeri ini. Gus Dur yang keseleo lidah mengaku sebagai “nabi” orang Aceh, tentu akan beda dengan Gus Dur pada cercah rasa lainnya di hati orang di luar Aceh.
Cercah rasa lainnya yang ditinggalkan Gus Dur pada Presiden Cuba Fidel Castro dalam guyonan tentu akan beda dengan tawa Raja Arab yang ditinggalkannya dalam ingatan masing-masing mereka. Yang paling membekas tentunya secercah rasa yang ditinggalkan Gus Dur dalam setiap komentaranya terhadap suatu masalah. “Itu saja kok repot.” Kalimat singkat yang penuh makna.
Dengan kalimat itu Gus Dur seolah ingin mengajarkan pada kita untuk tidak telalu serius menanggapi suatu masalah. Keseriusan kadang kala membuat masalah kecil menjadi besar. Tapi bagaimana menyelesaikan masalah itu dengan baik dan benar dengan rasa keadilan bagi segala golongan. Sekali lagi, dengan dan tanpa gelar pahlawan, Gus Dur tetaplah Gus Dur yang telah berhasil meninggalkan cercahan-cercahan rasa bagi kita semua. Kepingan cercahan cercahan rasa di hati setiap orang itulah yang membuat Gus Dur menjadi pahlawan yang sebenarnya. Bukan pahlawan di hymne dan hening cipta.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Rasa Pahlawan"
Post a Comment