Tujuh tahun (1993 – 2000) memimpin desa membuat ia harus menanggalkan jabatannya dibawah todongan senjata. Hijrah ke Banda Aceh untuk menyelamatkan nyawa. Lalu dengan gesekan biola tua mengabarkan damai ke seantero Aceh.
Inilah kisah pak tua, Ismail Sabi, publik mengenalnya sebagai Syeh Maneh, penggesek biola tradisional Aceh. Pria kelahiran Desa Pulo U, Kemukiman Beuriweuh, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya ini menggeluti seni gesek biola sejak usia belasan tahun.
Di desa yang kelak dipimpinnya itu pula, ia mendirikan kelompok penggesek biola. Namun konflik memupuskan segalanya. Selain order pementasan yang tak ada lagi karena pertunjukan biola sering malam hari, regenarasi yang diciptakannya mandeg. Pemuda kampung yang didiknya harus keluar dari daerah mencari peruntungan akibat konflik. Ada pula yang naik gunung menjadi kombatan.
Suatu malam di tahun 2000, empat pria berpakaian setengah loreng menggedor pintu rumahnya. Ia dijemput paksa dibawah todongan senjata. Sebagai Geuchik (kepala desa-red) yang sudah dua periode memimpin Desa Pulo U, ia paham betul apa yang akan dialaminya. “Mereka yang menjemput saya itu, saya kenal. Saya tahu itu suruhan siapa, jadi saya ikut saja,” kata Syeh Maneh dalam suatu pembicaraan awal tahun 2008 lalu dengan saya.
Ia pun kemudian berkisah. Malam itu adalah malam kudeta baginya. Jabatannya sebagai geuchik ingin direbut dengan memanfaatkan orang-orang bersenjata. Pada malam buta itu, ia digiring ke meunasah. Dugaannya tentang kudeta itu semakin jelas, karena di meunasah seluruh masyarakat yang dipimpinnya sudah dikumpulkan.
Pria bersenjata yang mengiringnya ke dalam meunasah. Ia duduk di tempat imam biasa memimpin shalat, menghadap ratusan masyarakatnya yang mulai tegang. “Teungku Geuchik tapeutrôn malam nyoë, pèng pèng bantuan keu janda kageuseukuet, (kepala desa harus kita turunkan malam ini, batuan untuk janda sudah dia sunat-red)” teriak pemuda bersenjata itu di hadapan warga.
Syeh Maneh mengaku sangat tegang waktu itu. Ia menyadari ada yang menusuknya dari belakang. Kudeta malam itu dilakukan oleh orang-orang yang kalah dengannya pada pemilihan geuchik kali kedua. Dalam suasana seperti itu, ia mengingat kembali bantuan apa saja yang pernah disalurkannya kepada warganya. “Mereka mencoba mencari-cari kesalahan saja,” kenang Syeh Maneh.
Tak terima dengan tudingan itu, ia pun meminta waktu untuk membela diri di hadapan warganya. “Ada dua hal yang saya sampaikan waktu itu, soal jabatan saya sebagai geuchik dan bantuan kepada warga,” jelasnya.
Soal jabatan geuchik ia menjelaskan, siapun pun boleh memimpin. Tak ada masalah baginya. Ia yang dua kali pemilihan sudah dipilih orang masyarakat, akan turun bila itu kehendak masyarakat banyak, meski periode kepemimpinannya belum berakhir.
Ia pun bertanya kepada warga, siapa yang menginginkan ia turun dari jabatan geuchik agar tunjuk tangan. “Malam itu hanya enam orang yang tunjuk tangan, dan benar mereka itu orang yang saya duga,” ungkap Syeh Maneh.
Setelah itu Syeh Maneh kembali meminta agar warga yang masih mengingin dirinya jadi geuchik tunjuk tangan. Serentak warga tunjuk tangan. “Saat itu ketegangan saya berkurang, masyarakat belum terpengaruh dengan provokasi, saya beranggapan akalu pun saya diapa-apakan masyarakat pasti akan bantu saya,” katanya.
Ia kemudian berkata kepada empat pria bersenjata yang masih di sampingnya, bahwa persoalan pertama sudah terjawab, bahwa dia masih dipercayakan untuk memimpin kampungnya. Selanjutnya, ia meminta beberapa janda penerima bantuan untuk maju ke hadapannya. Ada 12 orang.
Syeh Maneh meminta kepada para janda tersebut untuk menjelaskan pemotongan bantuan yang mereka terima. Selain 12 orang itu, ada tiga perempuan lain yang hidupnya sangat memprihatinkan. Mereka menceritakan bahwa pemotongan itu atas persetujuan mereka untuk disisihkan kepada tiga perempuan miskin tersebut. “Saya tak perlu menjelaskan dengan mulut saya, karena malam itu mereka yang menerima bantuan hadir,” kenang Syeh Maneh.
Setelah kedua persoalan itu terjawab. Syeh Maneh selaku kepala desa meminta waktu untuk berbicara di hadapan warga. Dengan lapang dada, meski masih diharapkan untuk memimpin desa, malam itu ia menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya. “Masyarakat kecewa, tapi ini soal nyawa saya, saya harus mundur,” lanjutnya.
Setelah peristiwa malam itu, Syeh Maneh merasa tidak nyaman, gerak-geriknya selalu jadi sorotan. Teror secara tidak langsung kembali ditujukan padanya. Tak mau keluarganya celaka ia hijrah ke Banda Aceh.
Di ibu kota provinsi itu, ia harus memulai hidup dari nol. Tak banyak bekal yang dibawanya dari kampung, selain sebuah biola tua dan beberapa ratus ribu uang. Dengan modal kecil ia mulai melakoni hidup sebagai pedagang minyak eceran di simpang asrama PHB, sebuah komplek rumah yang dihuni keluarga tentara di Lampriek, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.
Di sela-sela menjajakan minyak kepada pengendara motor yang lewat, ia menjadi bilal di mesjid dalam komplek Sekolah Dasar (SD) Bhayangkara yang bersebelahan dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 3 Banda Aceh. Dari sana ia membangun interaksi dengan masyarakat setempat, hingga kemudian sering diminta untuk menjadi imam shalat.
Di waktu senggang, sebelum lelap dalam buain malam, Syeh Maneh memainkan biola tuanya. Mengulang irama dan bait-bait syair lagu yang pernah diamainkannya. Beragam syair-syair baru diciptakannya, mulai tentang kerinduan, romantisme, kekerasan, dan lain sebagainya. “Saya menggesek biola untuk menghibur diri dan menghindar lupa,” katanya singkat.
Ia kemudian masuk ke bilik belakang kiosnya. Sesaat kemudian keluar sambil mengapit biola warna coklat muda yang mulai memudar. “Ini yang saya maksud, biola lama telah hilang waktu tsunami, tapi ketika ada tawaran konser damai Aceh saya pinjam biola kawan saya di Aceh Utara,” katanya sambil tersenyum.
Biola itu disangkutkan di lehernya, jari-jari tangan kirinya menyentuh damai. Dengan pelan ia mulai menggesek. Terdengar irama datar mendayu. Sesekali pada gesekan irama melengking, ia menggesek sambil memejamkan mata, seolah menyatukan jiwanya dengan irama bernada miris.
Tangannya begitu cekatan, beberapa murid SD yang menunggu jemputan orang tuanya terdiam seolah bengong menikmati alunan nada biola Syeh Maneh. “Jarang-jarang saya main biola ketika sedang jualan, tapi karena kita berasal dari daerah yang sama, ini saya persembahkan sebagai penyambut saudara,” katanya sambil tersenyum seolah memamerkan satu giginya berbalut perak.
Dua irama khas biola Aceh sudah dimainkan. Ia kemudian mengesek irama Melayu. Belum habis satu lagu, ia berhenti. Seorang wanita menghampir kami, menghidangkan minuman dan makanan ringan. “Ini ibu anak-anak,” ia memperkenalkan istrinya.
Setelah menyerumput beberapa teguk kopi, Syeh Maneh melanjutkan ceritanya. Kini beralih ke soal tsunami. Saat musibah raya 26 Desember 2004 itu, kiosnya rusak parah. Barangnya ludes. Ia harus memulai usahanya dagangnya dari nol. Biolanya juga hilang. “Tak ada yang tersisa meski hanya seutas senar,” katanya sambil menggeleng.
Meski demikian, ketenarannya sebagai seniman penggesek biola tak hilang. Pacaperdamaian ia dikontrak Aceh Monitorring Mission (AMM) untuk melakukan pertunjukan damai di berbagai daerah di Aceh.
Saat itu ia mengaku bimbang. Di satu sisi kerinduannya untuk menggesek biola sangat besar, di sisi lain ia tak lagi memiliki biola. Meski demikian Syeh Maneh langsung mengiyakan tawaran tersebut. Ia berangkat ke Aceh Utara, ia meminjam biola pada kawannya. “Biola boleh hilang, tapi kawan tidak akan,” katanya.
Syeh Maneh mengaku sudah bermain biola di berbagai pertunjukan sejak tahun 1954. Mengenal biola melalui Syeh Sabon, pemimpin grup biola di kampungnya. Awalnya Ia hanya dipakai sebagai pelakon, yang akan menarik dengan rentak irama biola yang digesek Syeh Sabon. Beragam peran ia mainkan, mulai dari lakon pria banci, sampai gadis yang gemulai.
Suatu ketika, group biola Syeh Sabon bertanding dengan grup biola Syah Ali pada pertunjukan pasar malam di Tringgaden, Pidie Jaya. Syeh Maneh muda selalu bisa mengikuti irama biola dalam jenis lagu apa pun.
Karena melihat talenta berlakon itu, ia ditarik ke grup Syeh Ali dan dibawa untuk bertanding dengan Syeh Ishak di Krung Geukueh, Aceh Utara. Di sana ia juga ‘dipingit’ Syeh Ishak. Ia diajak untuk melakukan pertunjukan ke berbagai daerah di Aceh.
Bersama Syeh Ishak, ia tidak lagi hanya sebagai pelakon, tapi juga pemain biola dan bernyanyi. Karena suaranya yang merdu, ia digelar Syeh Maneh, Syeh yang bersuara manis (merdu-red). Kemampuannya merangkai kata bersajak dalam syair yang berirama membuatnya semakin dikenal. “Saat itu saya bisa bermain ke semua daerah, tapi kemudian jadi vakum ketika pada tahun 1965 muncul peristiwa PKI,” kenangnya.
Namun setahun kemudian, ia mendirikan grup Biola Aceh. Remaja-remaja di kampungnya didik untuk kembali mengembangkan kesenian biola tradisional Aceh. Bersama grup biolanya ia pun kembali menggesek biola dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya.
Syeh Maneh mengisahkan, suatu kebahagian baginya bisa bermain ke berbagai daerah. Saat pertunjukan pun ia harus membawakan syair sesuai karakter masyarakat setempat. “Bermain di daerah pesisir, syairnya tidak perlu disensor, jorok sedikit tidak masalah, malah mereka suka, tapi kalau masyarakat pedalaman harus santun,” kenangnya.
Tahun 2001 Syeh Maneh diundang untuk mengisi acara festival Danau Toba mewakili Aceh. Kala itu hanya dua kesenian Aceh yang dibawa, yakni biola Aceh dan seudati.
Saat mau tampil, persoalan muncul, penonton tidak bisa berbahasa Aceh, sementara syair dalam seudati dan lagu biola Aceh semua berbahasa Aceh. Untuk mengubah syair seudati dalam bahasa Melayu tidak mungkin.
Syeh Maneh pun dituntut untuk kreatif. Beruntung ia bisa menghafal syair dan memainkan irama beberapa lagu Melayu dan irama gambus. Di panggung lagu-lagu Aceh dibawakannya dengan terjemahan langsung ke bahasa Melayu.
Kepiawannya memainkan biola Aceh itu pula yang membuatnya dipinang oleh AMM untuk mengisi konser Aceh Damai ke hampir seantero Aceh. Ia sangat bahagia, ternyata masyarakat masih mengingatnya.
Di usianya yang tak lagi muda, ia menghabiskan hari-harinya di sebuah kios di depan SD Bhayangkara komplek PHB Lamprit, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Murid-murid sekolah tersebut menjadi langgangannya.
Namun di balik ketabahannya itu, ia masih sangat rindu untuk kembali menggesek biola dengan irama damai dan melupakan kudeta bersenjata atas jabatannya tempo hari. “Itu masa lalu, sekarang sudah damai, saya juga sudah sering pulang kampung,” katanya menutup cerita.***
Belum ada tanggapan untuk "Biola Damai Pak Geuchik"
Post a Comment