Dalam panggung kehidupan hanya tuhan dan malaikat saja yang jadi penonton.
Kutipan pernyataan Aristoteles di atas bermakna manusia dalam panggung kehidupan hanya pelakon. Tuhan dan Malaikat yang akan menikmati lakonan tersebut, kirikah atau kanankah gerak kita dalam skenario Tuhan.
Sebagai sutradara, Tuhan memberi dua pilihan surga atau nerakakah ending sandiwara yang dimainkan, meski kita tak mengetahui kapan layar akan diturunkan atas nama kematian.
Tuhan dan Malaikatnya akan menilai tontonannya. Rakib dan Atib di dua sisi akan membubuhkan catatannya. Sebagai pelakon kita menentukan sendiri berapa nilai yang layak. Tak ada nilai ketiga selain surga dan neraka.
Sebagai pelakon, manusia harus mampu melihat dirinya sendiri seperti orang lain melihat dirinya. Penyair berdarah Scotlandia, Robert Barn (1759-1796) dalam puisinya ”To a Louse”. Mengingatkan akan hal itu. Ia menulis, ..//O wad some pow’r the giftie gieus / to see oursels as others see us! / It wat frae many a blunder free us / and foolish notion // Jika kita bisa melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita, maka kita bakal terbebas dari banyak kekeliruan dan gagasan-gagasan bodoh.
Tuhan menurunkan agama untuk manusia agar tebebas dari kebodohan itu. Mengutip kata Jhon Adam, presiden kedua Amerika, semua orang adalah monster ketika nafsu gagal dijaga. Sementara Milan Kudera penulis besar Cheko dalam novelnya ”The Book of Laughter and Forgetting” dalam novel itu, melalui tokoh Mirek, ia menyebutkan, perjuangan manusia melawan nafsu dan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.
Selama manusia tidak lupa bahwa ia hanyalah pelakon dalam sandiwara dunia yang ditonton Malaikat dan Tuhan, ia tak akan tergelincir. Tapi kadang-kadang manusia lalai dengan kekuasaannya, hingga melahap yang tidak berhak, tidak hanya melalui korupsi tapi juga kemesuman sesamanya.
Bicara soal kekuasaan, Prof. Dr Franz Magnis Suseno mengatakan kekuasaan itu selalu berwajah ganda. Ada kalanya begitu mempesona, tapi tak jarang juga sangat menakutkan. Sang profesor itu menambahkan, legitimasi kekuasaan tertinggi adalah legitimasi religius. Tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan Illahi.
Begitu legitimasi religius ini didobrak, maka muncullah pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan. Selubung ghaib yang melindungi raja (baca pemimpin) dari tuntutan pertangungjawaban pun tersobek, karena raja juga juga manusia biasa, maka raja pun akan berhadapan dengan hukum sebagaimana rakyat jelata.
Tapi legitimasi religius (baca agama-red) menurut Emile Durkheim dalam buku The Elementary Forms of Religion Life (1961) hanya bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas suatu masyarakat dibawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum. Dan disinilah nafsu dijaga, agar lakon yang dimainkan tidak pincang.
Melihat lakonan yang dimainkan para pemimpin kita selama ini, legitimasi religius seolah telah didobrak seenak hati. Nafsu akan kekuasaan mengalahkan akal sehat. Jadilah tontonan yang memuakkan dengan beragam ketimpangannya.
Sebuah lakon sederhana tapi sangat bermakna dimaikan oleh Amartya Sen, periah nobel ekonomi tahun 1998. Ia yang dengan kepakarannya masih mau berlakon untuk memikirkan kaum miskin yang tertindas. Karya-karyanya mencakup kasus-kasus sejarah kelaparan di India, Bangladesh, Ethiopia, dan Negara-negara sub-Sahara Afrika.
Sebuah pertanyaan sederhana dilontarkannya; masih adakah harapan untuk kaum miskin? Melalui lakonnya sebagai intelektual, ia bangun kembali harapan-harapan tersebut. tujuannya, menghindari krisis kelaparan di dunia.
Sementara itu Andrianof A. Chaniago, dalam bukunya Gagalnya Pembangunan, mengungkapkan bahwa krisis terjadi bukan disebabkan oleh mismanagemen, bukan pula oleh kesalahan menerapkan. Selain perilaku pemimpin yang tidak accountable, akar persoalan yang menimbulkan keterpurukan ekonomi mesti dicari dari strategi pembangunan.
Namun, kenyataannya dari banyak konsep lakonan, kita lebih banyak melihat manusia pemegang kekuasaan begitu berhasrat untuk menguasai aliran dana publik. Sandiwara kekuasaan yang mereka lakoni lebih banyak kekirian, hingga rakyat terus saja nestapa dalam ketakberdayaan.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pelakon"
Post a Comment