Diantara tiga pilihan, Tuhan mencambukku agar sadar bahwa yang terbaik tidak pernah hadir bersamaan. Namun aku masih terpangang di tiga ideologi kontra. Tak memilih salah satu aku dicela pendosa.
Telah lama kutulis di dinding kamar tentang asa yang menggantung. Ketika aku harus memilih tiga jalan pada waktu bersamaan, tak mungkin bagiku meninggalkan salah satunya di persimpangan. Mungkin Tuhan telah menggariskan tiga penanya pada kertas nasibku secara bersamaan. Tiga-tiganya sangat mengental. Yang dengan pengaruhnya memintaku untuk ikhtiar yang ekstra.
Dulu dibawah naungan firman Illahi aku disumpahkan dengan baiat batin. Semerah darah, semerah itu pula pengorbanan yang harus kulakukan pada alam merdeka yang diperkosa sengketa.
Ayah, ibu dan saudaraku telah pergi dengan darah merahnya ketika bumi tanpa damai. Hingga aku tinggal sebagai sengketa, yang hingga kini dicap bahaya. Kini dengan sisa-sisa baiat itu aku berjalan sendiri di kegelapan, yang maaf bila harus kesebutkan sebagai pembiaran.
Mereka yang dulu di shaff depan pembaiatan, kini sibuk terantuk politik tanpa simpul. Tapi itu bukan urusanku, karena aku masih pada jalanku dalam naungan baiat merah. Hari-hari berlalu sebagai saksi bahwa aku terpinggirkan. Dan tiga ideologi menyeretku dengan perbedaannya.
Aku harus memilih. Apalagi ini pesta sejarah. Menjadi golongan putih aku akan dianggap pendosa, karena hak abai pada kewajiban memilih umara. Andai itu doktrin panglima, mungkin aku bisa menafikannya dengan bengal. Tapi ini fatwa ulama yang dulu ikut melafat doa dalam baiat merahku.
Aku tak tahu harus bagaimana. Tak memilih pilihan titipan panglima aku akan dianggap jamaah pendurhaka. Meski yang kulihat sekarang imam telah kentut dalam ayat titipan Jakarta. Dalilnya, bumi yang damai karena kehendak salah satu diantara ketiganya. Seolah mereka telah menafikan kuasa Illahi dalam menyejukkan bumi tanah sengketa. Semua tepuk dada meng-aku-kan dirinya paling berjasa.
Aku bingung, karena pada saat yang sama Tuhan mempertemukanku dengan keihklasan seorang perwira. Yang iya juga dulunya membuat tanahku merah. Dengan pisau ditangannya ia tikam dada negeriku hingga luka menga-nga. Kunamai ihklasnya sebagai politik pesta mengebiri jelata. Meski aku terseret di dalamnya. Namun ia juga harus kupilih dalam pesta penghapus luka.
Bila kedermawanannya jelang pesta tak menyelamatkanku, mungkin malaikat akan mencatatku dalam nasib laknat perompak tanpa iba. Tapi kedermawanan politik pembuka pesta tak akan mungkin abadi di dada. Entah besok setelah pesta aku akan terkapar dalam nasib yang lebih celaka.
Dulu salak senjata membuat luka. Tanganku dengan ponggah memanggulnya. Kini pisau politik bermuka dua mengiris jiwa. Aku terpedaya tanpa daya. Kemarin baliho di simpang jalan telah tumbang disapu badai. Senyumnya terlalu lebar terkoyak angin. Apakah ini pertanda aku tidak boleh memilihnya? Tapi mengapa harus ketiga-tiganya terkapar?
Pertanyaan itu berputar di benakku. Apalagi dengan beragam warna bendera yang terpacang di persimpangan. Warna kuning mengigatkanku pada simbul orang musrik. Warna biru atau blue lebih dekat pada kemesuman, jorok dan porno. Film porno disebur blue film, ranjang tidur para pelajur dinamai blue valvaet. Sementara warna merah lebih dekat pada kematian.
Merahnya merah tanah sengketa juga dulu tergores politik kekuasaan simerah. Meski air mata telah ia tumpahkan dengan tangisan politik di rumah Tuhan. Air mata yang sama seperti pernah dikucurkan ayahnya saat mengemis iba di samping rumah Tuhan.
Menimbang semua itu, biarlah aku setia pada baiat merah, agar tak murka atas firman Illahi. Kini biar kutidur sepanjang hari. Meski merah baiatku tak sama dengan merahnya si merah pemburu kekuasaan. Mungkin nanti dalam mimpi tuhan akan memberiku pilihan, karena pesta kali ini juga tak ubahnya hikayat mimpi para penidur yang birahi menggagahi kekuasaan. ***
Artikel keren lainnya:
1 Tanggapan untuk "Baiat Merah"
ingatlah,,,bahwa kita bukan bangsa yang tunduk kepada tirani nafsu pemburu jabatan,,,
Post a Comment