Sekitar tahun 1940 hingga 1950- an, muncul puisi-puisi yang ditulis oleh Vichitra dan mewarnai dunia kepenyairan di Aceh. Puisi-puisi Vichitra umumnya bertemakan semangat menentang penjajahan.
Karya-karyanya banyak ditulis di embah Seulawah. Sebagaimana pekatnya kabut lembah itu, siapa sebenarnya Vichitra sampai kini belum terjawab. Mulanya banyak yang menduga Vichitra adalah Ali Hasjmi. Mantan Gubernur Aceh ini memang sering menggunakan nama samaran dalam puisi dan cerpennya.
Tapi Hasjmi, sebagaimana biodatanya di buku Kebudayaan Aceh dalam Lintasan Sejarah (1983), mengaku hanya menggunakan tiga nama samaran yakni: Al Hariry, Aria Hadiningsum, dan Asmara Hakiki. Mari mempertimbangan sejarawan dan sastrawan H. M Zainuddin sebagai pemilik nama misterius tersebut. Sejak 1920-an, H M Zainuddin menulis beberapa novel, seperti Dharma (toneelstuk) dan Bunga Berduri. Novel terakhir berkisah tentang seorang pemuda yang menjadi korban asmara karena melepaskan seorang gadis dari penyiksaan ibu tirinya.
Selain itu, dia juga menulis Lila tjeh, yang menceritkan perjalanan Sulthan Iskandar Muda menyerang Malaka. Tentu saja karya yang paling terkenal ialah Jeumpa Aceh, roman berbahasa Aceh pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda. Cerita-cerita dari novel itu kemudian dipentaskan dalam pergelaran sandiwara keliling yang H.M Zainuddin sendiri menjadi sutradaranya (toneeldirectuur).
Namun, dalam biografinya di buku Tarich Atjeh dan Nusantara H.M Zainuddin tidak pernah menyingung nama Vichitra. Sama halnya ketika dia menulis untuk beberapa media, seperti majalah politik Penjedar. Sebaliknya H. M Zainuddin menggunakan nama samaran Atjeher. Karena itu pula ia dikenal sebagai de Jong Atjeher.
Cucu Panglima Perang
Lalu siapa penyair Vichitra? Dalam salah satu puisinya, Vichitra mengaku sebagai cucu Panglima Besar Angkatan Perang Kerjaaan Aceh, Tuanku Hasyim Bangta Muda (1558 – 1897). Dalam Sekuntum Bunga ia menulis: Kakekku sekian lama engkau berjuang berkorban untuk tanah airmu menyambung nyawa di medan perang di ujung pedang serta peluru Puluhan tahun rencong tergenggam dalam gumpalan asap mesiua laskar berbaris engkau di depan Bangta pahlawan gagah menyerbu Vichitra menulis puisi untuk Tuanku Hasyim di atas seolah dia berbicara dengan kakeknya tentang kepiluan dari para pejuang yang tak dihargai, para pahlawan yang dilupakan oleh generasi setelahnya.
Tuanku Hasyim Bangta Muda yang disebut Vichitra dalam puisinya itu merupakan pimpinan pasukan Kerajaan Aceh yang mempertahankan Mesjid Raya Baiturrahman dari serangan kedua Belanda. Mujahid ini pada saat itu melawan angkatan perang Belanda pimpinan Jenderal J Van Sweiten. Dalam menghadapi serangan Belanda itu, Tuanku Hasyim Bangta Muda bahu membahu bersama Teungku Imum Lueng Bata dan Teuku Nanta Setia.
Selama delapan hari mereka mempertahankan pantai, kemudian mengundurkan diri untuk memperkokoh pertahanan di sekitar Mesjid Raya Baiturrahman, Peukan Bada, Lam Bheu serta komplek istana sultan Aceh (Dalam). Vichitra menilai, kegigihan Tuanku Hasyim yang juga salah seorang adik Sultan Aceh, dilupakan oleh sejarah. Pada bait selanjutnya Vichitra melanjutkan: Alangkah pilu hatiku poyang engkau semakin di alam restu darma baktimu tersisip hilang para pujangga tiada tahu Pada puisi-puisi lainnya, Vichitra begitu membanggakan Tuanku Hasyim sebagai panglima perang. Seperti dalam puisi Panglima Aceh yang ditulisnya di Lembah Seulawah pada tahun 1946.
Menurut hemat saya, perlu dibuktikan lebih jauh klaim Vichitra sebagai cucu Tuanku Hasyim. Mungkin untuk sementara dapatlah disebut Vichitra sebagai cucu ideologis Panglima Perang bangsa Aceh, yang dirasuki oleh heroisme para mujahid serta mempengaruhi pengucapan puisipuisinya pada masa itu.
Dendam
Walaupun dirasuki semangat perjuangan bangsa Aceh melawan imperialisme Barat — dan kecenderungan seperti ini kita temukan lebih lanjut dalam karya-karya Hasan Tiro — puisi-puisi sang penyair juga berani melancarkan otokritik. Di satu sisi puisipuisinya berbicara tentang watak orang Aceh yang tungang, tak kenal kompromi, dan sangat membenci musuh, tapi sekaligus sering bertikai dengan sesama bangsa sendiri.
Tentang hal ini digambarkan Vichitra dalam puisi Pantang Adatku yang ditulisnya di Lembah Seulawah pada 1945. Vichitra menggambarkan orang Aceh sebagai pendendam yang akan mewariskan dendamnya itu kepada anak-cucunya. Utang nyawa dibalas dengan nyawa. Ia menulis dalam salah satu puisinya: Biarlah dunia tetap tak damai biarlah mega bercelup darah utang piutang mesti selesai ampun kujanji di ujung siwah Masih kusimpan petaruh lama rencong pusaka masih bergagang masih terngiang amanat Poma selesai tikai di mata pedang. Begitulah citra Vichitra, penyair Aceh yang terlupakan. Ia menulis pada masa revolusi, mengaku cucu Tuanku Hasyim anta Muda serta dirasuki heroisme. Sayang tak ada catatan dalam khasanah kesusastraan Aceh tentang siapa sebenarnya Vichitra.
* Iskandar Norman, sastrawan dan perawi hikayat.
(Dimuat di Serambi Indonesia, Minggu, 15 Desember 2013)
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Misteri Vichitra"
Post a Comment