Jatuhnya istana kerajaan Aceh kepada Belanda bukan karena rakyat Aceh tak lagi sanggup berperang, tapi akibat kudeta dari dalam oleh 13 petinggi kerajaan.
Kudeta itu ditulis oleh Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaan) Aceh Said Abdullah Di Meuleuk dalam sara kata kerajaan. Naskah itu disimpan dalam Darul Asar (mesium) Kerajaan Aceh.
Mesium ini terletak di samping Mesjid Baiturrahim dalam Kraton Daruddunia. Pada masa perang dimusnahkan oleh Belanda bersamaan dengan diruntuhkannya istana kerajaan Aceh.
Sampai sekarang belum ada yang mau membuka naskah yang ditulis Said Abdullah Di Meuleuk tersebut. Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” mengakui telah membacanya, bahkan kopian naskah bertulis aksara Arab itu disimpan di mesiumnya, namum ia juga menolak untuk membeberkan nama-nama 13 petinggi Kerajaan Aceh yang melakukan kudeta itu.
Samar-samar kemudian kudeta itu ditulis oleh A G Mutyara, rekan Ali Hasjmy di redaksi Atjeh Simbun dalam roman sejarah Leburnya Keraton Aceh. Dengan lihai ia menulis ragam intrik dari orang-orang di lingkungan istana. Persekongkolan yang kemudian membuat “Dalam” istananya Kerajaan Aceh mampu direbut oleh Belanda.
|
Leburnya Keraton Aceh Cet. 2 |
Para pengkhianat yang mengkudetakan Sulthan Aceh itu membuka gerbang belakang istana pada pukul sepuluh malam, Rabu 23 Januari 1873. AG Mutyara menyebut pengkhianatan itu dengan nama Nyak Radja kaki tangan Teuku Panglima Him dan Teuku Amat. Esoknya pukul 12 siang Keraton Aceh jatuh seluruhnya ke tangan Belanda. (Hal. 103 cetakan V).
A G Mutyara dengan lugas dan berani mengungkakan persekongkolan tersebut. Hal yang kemudian membuat romannya dilarang beredar. Penentangan terhadap roman ini begitu besar disuarakan keluarga dari golongan yang disentil sebagai pengkhianat dari dalam.
Roman Leburnya Keraton Aceh ditulis pada tahun 1943. Saat itu A G Mutyara masih berusia 20 tahun. Kemudian selama 20 tahun selanjutnya terus dikoreksi, hingga cetakan kelima pada September 1960.
A G Mutyara awalnya menulis roman ini untuk mengikuti sayembara yang diadakan Hodoka, Pemerintah Jepang di Aceh. Saat itu ia bekerja sebagai redaktur di Koran Atjeh Simbun, satu-satunya harian yang diterbitkan oleh pemerintah Jepang di Aceh.
Leburnya Keraton Aceh kemudian menjadi karya terbaik dalam sayembara tersebut. Karya ini kemudian diterbitkan secara bersambung di Atjeh Simbun. Penentangannya pun kemudian muncul. Padahal sebelum terbit, roman ini sudah melewati seleksi ketat dari pemerintah Jepang.
Masalahnya bukan pada Jepang, tapi ada pada golongan orang Aceh sendiri. Mereka mendesak pemerintah Jepang untuk menghentikan penerbitan roman Leburnya Keraton Aceh di Atjeh Simbun. Hal yang membuat A G Mutyara harus berhadapan dengan Kenpeitai, polisi militer tentara Jepang.
Ali Hasymi yang sama-sama bekerja dengan AG Mutyara di redaksi Atjeh Simbun dalam pertimbangannya—semacam pengantar— mengungkapkan, penerbitan secara berseri itu harus dihentikantikan dengan alasan yang dibuat-buat. AG Mutyara diminta untuk membuat alasan kurang sehat.
Ali Hasymi menyebut golongan yang mendesak Jepang untuk menghentikan terbitnya roman Leburnya Keraton Aceh sebagai beberapa family kaum tertentu.
[iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kudeta Aceh Dalam Roman"
Post a Comment