Syarif Hasyim Jamalullail Di Meulek, sulthan Aceh pertama dari dinasti Syarif yang mengkudeta Sulthanah Sri Ratu Kamalat Zainatuddin Syah. Akhir dari kekuasaan Ratu di Aceh.
Dua sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dan M Gade Ismail dalam tulisannya di buku
Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, mengungkapkan, silsilah keturunan Ratu Kamalar Zainatuddin dari beberapa sumber menyebutnya berbeda-beda. Di satu pihak ada yang mengatakan ia adalah anak angkat dari Ratu Safiatuddin Syah, perempuan pertama yang memimpin kerajaan Aceh, tapi ada juga yang menyebutkan dia adalah adik dari ratu Zakiatuddin Syah, sultanah ketiga Kerajaan Aceh yang memerintah sebelumnya.
Hoesein Djajaninggrat dalam buku
“Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” mengungkapkan, pada saat Ratu Kamalat Zainatuddin Syah akan naik tahta, para pembesar kerajaan Aceh terpecah dalam dua kelompok dengan pendirian yang berbeda.
Kelompok bangsawan tidak menyetujui pengangkatannya, karena mereka menginginkan Aceh kembali dipimpin oleh sulthan bukan sultanah. Mereka menginginkan kekuasaan kerajaan Aceh kembali dipegang oleh kaum pria. Kelompok lainnya tidak keberatan dengan kepemimpinan perempuan, karena sebelumnya sudah tiga ratu yang memimpin Kerajaan Aceh, dan itu tidak ada masalah.
Pertentangan seperti itu bukanlah hal baru di Kerajaan Aceh, tapi sudah muncul sejak pengangkatan pertama wanita sebagai ratu yakni Ratu Safiatuddin Syah yang menggantikan Sulthan Iskandar Tsani pada tahun 1641 masehi, 47 tahun sebelum Ratu Kemalat Zainatuddin Syah diangkat menjadi ratu. Hanya saja, penentangan terhadap kepemimpinan perempuan di Kerajaan Aceh itu mencapai puncaknya pada masa pengangkatan Ratu Kemalat Zainatuddin Syah.
|
Lukisan Istana Kerajaan Aceh abad XVII |
Penyebab memuncaknya penentangan itu adalah karena semakin menguatnya pengaruh kelompok bangsawan (uleebalang) dalam penguasaan di kabinet kerajaan. Hal itu ditambah lagi dengan dukungan beberapa ulama yang menentang kepemimpinan perempuan di Aceh.
Rusdi Sufi dan M Gade Ismail dalam tulisannya tentang Ratu Kemalat Zainatuddin Syah menyebutkan, saat itu ada 12 orang bangsawan terpengaruh di kerajaan yang bersama beberapa ulama menentang pengangkatan Ratu Kemalat Zainatuddin Syah sebagai penguasa Kerajaan Aceh.
Hanya golongan para Panglima Tiga Sagi (Aceh Lhee Sagoe) yang menyetujui pengankatan ratu tersebut. Sesuai dengan konstitusi kerajaan Aceh, mereka berhak mengangkat dan menurunkan sultan/sultanah dari tampuk pimpinan kerajaan. Mereka langsung mengangkat Ratu Kemalat Zainatuddin Syah sebagai penguasa kerajaan Aceh setelah meninggalnya Ratu Zakiatuddin Syah, meski ditentang oleh kaum bangsawan dan beberapa ulama dan hampir terjadi pertumpahan darah.
Meski demikian, pertentangan terus berlanjut. Dan pada periode selanjutnya kelompok ulama dan uleebalang berhasil mempengaruhi kalangan istana dengan tidak lagi meneruskan kepemimpinan perempuan di kerajaan Aceh. Ratu Kemalat Zainatuddin Syah merupakan sultanah terakhir di Kerajaan Aceh, setelah masanya, kerajaan Aceh kembali dipimpin oleh pria (sulthan).
Salah satu faktor yang menyebabkan keberhasilan golongan bangsawan dan ulama dalam mengkudeta dinasti ratu di Kerajaan Aceh adalah dari taktik dan solusi yang mereka tawarkan untuk menyelesaikan pertentangan dua golongan tersebut, yakni yang pro dan kontra dengan kepemimpinan ratu.
P. J. Veth dalam buku “Atchin en Zijne Betrekkingen tot Nederland” terbitan Leiden, 1873 mengungkapkan, saat itu golongan ulama mengusulkan agar persoalan tentang kepemimpinan perempuan ditanyakan kepada raja dan ulama di Mekkah. Dalam buku itu Vet menulis:
“Akan tetapi golongan ulama tidaklah tinggal diam mereka memperkuat posisinya dengan sepucuk surat dari Qadhi Malikul Adil di Mekkah yang memuat pemberitahuan kepada kepala-kepala dan rakyat Aceh bahwa penempatan seorang wanita pada kekuasaan tertinggi bertentangan dengan Syariat Islam. Strategi ini berhasil. Orang-orang kaya (uleebalang) tidak berani lebih lama lagi menentang keberanian rakyat. Kemalat Syah diturunkan dari tahta dan pemerintahan diserahkan kepada Badrullah Syarif Hasyim Jamalullail. Sesudahnya, kendali pemerintahan Aceh tidak pernah lagi berada dalam tangan seorang wanita.”
Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” mengungkapkan, Syarif Hasyim Jamalullail Di Meulek naik tahta menjadi sulthan Aceh melalui perebutan kekuasaan tanpa pertumpahan darah, pada Rabu 20 Rabiul Awal 1109 Hijriah (1699 Masehi).
Setelah diangkat menjadi raja, Syarif Hasyim digelar Sulthan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail. Ia memerintah sejak 1110 – 1113 Hijriah (1699-1702 Masehi).
Sebelumnya, Syarif Hasyim merupakan anggota delegasi Syarif Mekkah yang diutus ke Aceh pada zaman pemerintahan Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 Hijriah = 1678 -1688 Masehi). Ketika delegasi itu kembali ke Mekkah, Syarif Hasyim memilih untuk menetap di Aceh. Ia kemudian diangkat menjadi penasehat kerajaan, sampai pada masa Sultanah Kamalatsyah. Ia kemudian menjatuhkan ratu itu dari tampuk kekuasaan dengan alasan perempuan tidak boleh menajdi raja.
Pemerintahan Dinasti Syarif ini berlangsung hingga tahun 1139 Hijriah (1726 Masehi) dengan sulthan terakhir yang bergelar Shultan Syamsul Alam Wandi Teubeng yang memerintah hanya satu bulan.[Iskandar Norman]
3 Tanggapan untuk "Aceh dalam Kudeta Syarif Hasyim"
Ngarang saja,siapa yg kudeta,,dan siapa di mulek???,
Syarif mekah dari mana???,
Apa al hasani sama dgn jamalullail,
Thn berapa hasyim alhasani masuk aceh dan di tinggal di aceh,,ente norman jamalullail,,apa itu datok ente???,,
Beginilah kalau kosumsi sejarah di jadikan proyek puspopakontra,,
Terlalu banyak makan data snock cs
Ngarang saja,siapa yg kudeta,,dan siapa di mulek???,
Syarif mekah dari mana???,
Apa al hasani sama dgn jamalullail,
Thn berapa hasyim alhasani masuk aceh dan di tinggal di aceh,,ente norman ahwal al ajam ,,apa itu datok ente???,,
Post a Comment