Meski sempat menimbulkan polemik, Malik Mahmud akhirnya dilantik sebagai Wali Nanggroe Aceh, setelah melalui jalan berliku.
Malik Mahmud yang sebelumnya sebagai pemangku Wali Nanggroe akan dikukuhkan menjadi Wali Nanggroe. Landasannya qanun nomor 12 tahun 2012. Lembaga Wali Nanggroe juga layaknya Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), karenanya juga akan diisi dengan pejabat eselon. Lembaga ini juga memilik berbagai wewenang khusus.
Sesuai dengan UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada Bab XII pasal 96 tentang Wali Nanggroe dijelaskan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, bukan lembaga politik dan pemerintahan di Aceh.
Undang-undang nomot 11 tahun 2006 ini menjadi salah satu konsideran lahirnya qanun wali nanggroe. Sebelum disahkan, berbagai subtansi qanun ini menjadi bahan perdebatan, terutama yang berkaitan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Klarifikasi yang dilakukan tim Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) malah sampai 19 butir yang harus disesuaikan.
Menelisik lebih jauh, pembentukan Lembaga Wali Nanggroe, polemik sudah terjadi sejak Oktober 2005 ketika penyusunan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Untuk membuat rancangan qanunnya saja, tim DPRA harus ke Belanda, Swedia, dan Malaysia. Saran dari Hasan Tiro yang saat itu masih bermukim di Swedia ikut diminta. Sementara di Belanda tim menjumpai Teuku Iskandar, sejarawan Aceh yang sudah lama menetap di sana.
Pihak Komite Peralihan Aceh (KPA) meminta agar dalam penyusunan rancangan qanun wali nanggroe, jabatan wali nanggroe diserahkan kepada Hasan Tiro. Namun politisi Aceh di Jakarta, Nasir Djamil menyarankan agar wali nanggroe bisa mewakili kepentingan semua kelompok dan golongan.
Ada juga yang menyarankan agar posisi wali nanggroe tidak diarahkan ke jabatan politik. Hal ini diungkapkan Ketua Pansus Rancangan UUPA, Fery Mursyidan Baldan. Ia berpegang pada pasal 96 dan 97 Undang-undang No 11 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa wali nanggroe sebagai perekat masyarakat Aceh melalui pendekatan adat, bukan politik.
Meski diwarnai berbagai sorotan, DPRA terus bekerja merampungkan rancanan qanun wali nanggroe menjadi qanun. Tahapannya dimulai pada 13 Februari 2012 ketika DPRA mengesahkan 21 rancangan qanun menjadi prolega, salah satunya rancangan qanun wali nanggroe.
Untuk memaksimalkan rancanan qanun tersebut, pada 8 Mei 2012 Gubernur Zaini Abdullah mengajak pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra untuk ikut mengawal pembahasannya, karena dianggap sebagai salah satu rancangan qanun yang bersifat krusial. Pertemuan Zaini dengan Yusril berlangsung di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta.
Pada 18 dan 19 Juni 2012 Panitia Khusus (Pansus) DPRA menggelar rapat dengar pendapat umum terkain rancangan qanun wali nanggroe. Rapat ini dihadiri bupati, walikota, majelis adat Aceh dan DPRK se-Aceh, tujuannya untuk menyamakan persepsi.
Sehari kemudian, 20 Juni 2012 rapat dengar pendapat umum juga dilakukan di Medan untuk menjaring masukan dari masyarakat Aceh di Medan. Hal yang sama juga dilakukan pada 23 Juni 2012 di Jakarta. Rapat dengar pendapat umum juga selama sepekan dilakukan di Malaysia yakni pada 20 hingga 27 September 2012.
Sekembalinya Pansus dari Malaysia, DPRA menggelar sidang paripurna rancangan qanun wali nanggroe bersama tiga qanun lainnya. Pembahasab qanun ini terus dilakukan, untuk menyempurnakannya, rapat dengar pendapat umum kembali digelar DPRA kali ini mendengar masukan dari aktivis perempuan. Setelah melewati berbagai pembahasan, baru pada Jumat, 2 November 2012 Qanun Wali Nanggroe disahkan oleh DPRA.
Kemudian muncul pro kontra di tengah masyarakat Aceh. Meski sebagian masyarakat menyatakan menolak, namun, undang-undang mengharuskan lembaga wali nanggroe itu ada. Dan, setelah sempat menuai polemik, akhirnya besok, Senin, 16 Desember 2013, Malik Mahmud resmi dilantik sebagai Wali Nanggroe Aceh. Semoga memberi berkah untuk seluruh rakyat Aceh. [iskandar norman]
Belum ada tanggapan untuk "Jalan Panjang Pelantikan Wali Nanggroe"
Post a Comment