Besok, Senin, 16 Desember 2013, Malik Mahmud Alhaytar akan resmi dilantik sebagai Wali Nanggroe Aceh. Siapa saja wali sebelumnya? Berikut penjelasannya.
Ketika Qanun Wali Nanggroe masih dalam bentuk rancagan (Raqan), naskah akademik Raqan tersebut menjelaskan, Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Tiro dengan gelar Paduka Yang Mulia Al Mudabbir Teungku Tjhik Di Tiro Dr Hasan Muhammad sebagai wali nanggroe Aceh yang kedelapan. Lalu siapa wali nangroe Aceh yang pertama sampai ketujuh, sebelum Hasan Tiro?
Pada BAB II Kajian Akademis, histori wali nanggroe ini dijelaskan berdasarkan catatan dalam buku Larosse Grand Dictionary Universelle, yang menggambarkan tentang Kerajaan Aceh yang berkuasa di kepulauan Melayu atau Hindia Timur pada akhir abad 16 sampai abad 17.
Dalam buku itu dijelaskan bahwa apada tahun 1582, Bangsa Aceh telah memperluas kekuasaan atas di semenanjun Melayu serta mempunyai hubungan diplomasi dengan Hindia, Jepang, sampai ke Arab. Dalam buku itu disebutkan, pada tahun 1582 Sultan Aceh menyerang Portugis di Selat Malaka dengan armada yang terdiri dari 500 kapal perang serta 60.000 tentara laut dibawah pimpinan Laksamana Malahayati.
Sumber lainnya adalah dari Prof Willfred Contwell Smith yang mengatakan bahwa pada abad 16 sudah ada hubungan Maroko, Instanbul (Turki), Isfahan, Agra dimana Aceh sebagai pelaku sejarah di dalamnya. Kemudian pada tahun 1819 Kerajaan Aceh melakukan perjanjian kerjasama dengan Kerajaan Inggris karena saat itu Kerajaan Aceh sebagai penguasa di Selat Malaka.
Pada 26 Maret 1873 perang kemudian berkecamuk di Aceh. Sejak itulah tanah Aceh setapak demi setapak diduduki Belanda, hingga pusat istana pemerintahan Kerajaan Aceh (Dalam) dikuasai Belanda pada 24 Januari 1874. Kejatuhan Dalam itu diyakini akibat pengkhianatan dari dalam. Empat hari kemudian sulthan Aceh mangkat akibat terkena wabah kolera di Lueng Bata dan dimakamkan di Pagar Aye.
Beberapa hari kemudian jasadnya dipindahkan ke Cot Bada, Samahani karena khawatir makamnya akan dibongkar oleh Belanda. Dalam kecamuk perang itu kemudian Sulthan Muhammad Daud Syah yang saat itu masih berusia 11 tahun diangkat menjadi raja. Karena sulthan masih muda maka dibentuklah lembaga wali nanggroë.
Pembentukan itu dilakukan pada 25 Januari 1874 melalui musyawarah Majelis Tuha peut yang terdiri dari, Tuwanku Muhammad Raja Keumala, Tuwanku Banta Hasjem, Teuku Panglima Polem Raja Kuala dan Teungku Tjik Di Tanph Abee Syech Abdul Wahab. Keputusan musyawarah tuha peut itu menarik semua kekuasaan ke hadapan tuha peut.
Tiga hari kemudian pada 28 Januari 1874, Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku Muhammad Raja Keumala mengambil keputusan untuk mempersatukan rakyat Aceh diangkatlah Al Malik Al Mukarrah Tfk Tjik Di Tiro Muhammad Saman Bin Abdullah sebagai Wali Nanggroë Aceh yang pertama.
Setelah memimpin perang selama 17 tahun Tgk Tjik Di Tiro syahid akibat diracun di Kuta Aneuek Galong pada 29 Desember 1891. Tiga hari kemudian 1 Januari 1892 diangkatlah Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Amin Bin Muhammad Saman sebagai wali nanggroe Aceh yang kedua. Ia juga syahid pada tahun 1896 di Kuta Aneuek Galong. Wali nanggroe selanjutnya dijabat oleh Tgk Tjik Di Tiro Abdussalam Bin Muhammad Saman.
Selanjutnya jabatan itu dipegang oleh Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman Bin Muhammad Saman sebagai wali nanggroe keempat pada 1898 sampai syahidnya pada 1902. Sebagai penggantinya kemudian diangkat Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah Bin Muhamamd Saman, tiga tahun menjabat (1905) wali nangroe yang kelima itu syahid.
Jabatan itu kemudian diwariskan secara turun temurun dalam kecamuk perang Aceh melawan Belanda. Sebagai wali nanggroe yang keenam pada tahun 1905 diangkat Tgk Tjik Di Tiro Mayiddin Bin Muhamamd Saman, ia juga syahid dalam perang melawan Belanda pada 11 Desember 1910.
Sebagai pemangku sementara jabatan wali nanggroe kemudian ditunjuk Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tgk Tjik Di Tiro di Garot Muhammad Hasan yang kemudian juga syahid dalam peperangan pada 3 Juni 1911. Sehari kemudian jabatan itu diemban oleh Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin yang kemudian syahid pada 3 Desember 1911 dalam peperangan melawan pasukan Belanda pimpinan Kapten Smith. Sarakata wali nanggroe ditemukan oleh Kapten Smith dalam teungkulok Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin, yang kemudian disimpan di Museum Bronbeek Belanda.
Pada tahun 1968 surat tersebut diambil oleh Tgk Hasan Muhammad Di Tiro yang diserahkan langsung oleh Ratu Beatrix penguasa negeri Belanda. Pada 1971 Hasan Tiro kembali ke Aceh dan menyerahkan sarakata wali naggroe tesrebut kepada Tgk Tjik Di Tiro Umar Bin Mahyiddin. Pada saat itulah Hasan Tiro diangkat menjadi Wali Nanggroe.
Kemudian pada pasal lainnya disebutkan bahwa berdasarkan hasil rapat sigom donya di Stavanger, Norwegia pada 2 Juli 2002, apabila Hasan Tiro mangkat maka diangkat Malik Mahmud sebagai Peurdana Meuntroe, Zaini Abdullah sebagai Meuntroe Luwa, maka Malik Mahmud secara langsung menjadi pemangku jabatan (waliul’ahdi) wali nanggroe sebagai pelaksana tugas wali naggroe.
Hasan Tiro sebagai wali naggroe yang kedelapan sudah mangkat pada 3 Juni 2010. Malik Mahmud kemudian menjadi sebagai pelaksana tugas atau pemangku Wali Nanggroe sampai pada Senin, 16 Desember 2013 besok ia dilantik dan remi menjabat sebagai Wali Nanggroe, bukan lagi sekadar pemangku. [iskandar norman]
Belum ada tanggapan untuk "Wali Nanggroe dalam Naskah Akademik"
Post a Comment