PINTU masih tertutup. Sudah lama kau mengurung diri di dalamnya. Kau takut, kau menghindari keramaian. Atas nama belas kasihan ia menjagamu di sana. Kau bagai berada dalam sel isolasi. Pintu yang mengurungmu tak pernah dibuka. Tak peduli keadaan segenting apa pun. Begitu juga ketika musibah maha besar meluluhlantakkan kampung, kau tetap saja berada di balik pintu itu.
Sampai sekarang aku tak bisa mengerti bagaimana kau bisa bertahan dalam kegelapan. Bukan hanya tidak terang, tapi gelap yang mendekati keterpurukan. Ketika waktu itu aku menjengukmu, tentu dengan perasaan was-was, kau menangis pilu. Kau berharap aku segera pergi agar tak ada yang tahu bahwa di balik pintu mendekam seorang manusia. Aku yang sangat ingin melihatmu, kau cegah membuka pintu. Ketakutanmu mengusirku pergi.
Seingatku, pintu itu hanya sekali terbuka, saat kau keluar dari sana atas nama damai. Setelah itu, pintu kembali tertutup. Lalu kudengarlah cerita kepahlawananmu yang penuh omong kosong itu. Kadang aku menertawai zaman ini, yang telah mengubah seorang pengecut seperti dirimu menjadi pahlawan. Seruas jari keterlibatanmu dalam gerakan pembebasan mendadak jadi sejengkal, lalu sedepa, dan kini berdepa-depa.
Di panggung akbar demokrasi kampung kita - di hadapan ratusan orang - kau berteriak dan mengatakan telah melewati sekian pertempuran. Telah menghabiskan ribuan selongsong peluru. Kaugambarkan dirimu begitu tangguh. Padahal aku tahu, kau cuma seorang penjaga alat komunikasi di kampung kita, seorang penjaga radio!
Pada tempo yang sama di sudut lapangan seorang perempuan muda menyendiri. Ia menatapmu dengan nanar. Kau masih ingat Aina? Ya, dialah perempuan itu. Ketika kegelapan nyaris mencabut nyawamu di balik pintu tertutup, dialah yang sehari-hari setia memberimu makan. Untuk itu pun kau melarangnya membuka pintu. Sehingga aku lihat Aina menyodorkan makanan melalui lubang kecil di bawah atap seng bekas. Ia tidak tertawa melihat bualanmu di panggung itu, Kawan. Karena ia tak lagi bisa tertawa. Ia masih saja mencoba tersenyum setelah kau meninggalkannya.
Kukira setelah sekian lama mendekam dalam kegelapan di balik pintu tertutup, kau akan tahu nikmatnya terang. Ternyata, terang menyilaukanmu. Terang membutakanmu. Damai telah memberimu terang dengan menyedot kegelapan. Sementara Aina yang menanggung berat beban hati, masih saja remang nasibnya.
Ketika kau menemukan cahaya itu, kukira Aina dapat sedikit menyedotnya. Tapi Kawan, ia menolak meminta. Dan kau tidak memberinya, walau sekadar balas jasa. Dulu ada yang mengatakan Iblis mendalangi kegelapan. Kini di wajahmu aku lihat sebaliknya. Iblis menunggangi terangmu.
Masihkah kau ingat, Kawan, ketika Aina ingin memasang sebuah bola lampu di balik pintu tertutup itu? Kau melarangnya. Kau takut. Kau berkilah, kaukatakan kau hanya percaya pada akal, bukan pada lampu. Dengan akalmu, di balik pintu tertutup itu kau memang bisa aman.
Namun di mana akalmu kini? Setelah sekian lama mendekam dalam kegelapan di balik pintu tertutup itu, dalam terang pun kau masih tetap memuja kegelapan. Sementara Aina, pahlawanmu itu, tertatih-tatih menjauhi kegelapan. Kalau kau ingin membantunya, aku kira kau bisa membuat lubang kecil, mungkin sebesar lubang tempat dia menyodorkan piring, agar cahaya menerobos dan membasmi kegelapan Aina. Sebuah lubang kecil, Kawan. Dan itu tak akan memberangus terangmu.
Kau harus segera membantu Aina. Setelah popor senjata menghantam kepalanya, dan itu karena dia ketahuan menyembunyikanmu di balik pintu tertutup itu, ia kini bukan hanya lupa diri. Tapi Aina mendekati gila. Aina sengaja dibawa ke lapangan tempat kau berkampanye, untuk melihat sedikit terang. Setelah itu ia akan kembali berada di balik pintu tertutup - di tempat dulu kau mengurung diri.
Apabila kau berniat kembali ke pintu tertutup itu untuk melihat Aina, kusarankan agar kau membawa masker. Aku yakin hidungmu tak akan mampu menahan bau kotoran Aina di balik pintu itu, meskipun dulu Aina biasa saja berhadapan dengan bau tahimu yang kau beraki dalam plastik kresek. Ia selalu setia membuang plastik berisi kotoranmu ke semak-semak di belakang rumah.
Masihkah kau ingat Kawan, ketika kepulanganmu menyebabkan ibumu tewas diterjang peluru musuh? Kemana kau lari ketika segerombolan tentara mengejarmu? Tak perlu kau jawab, karena aku tahu Aina lah tempatmu melarikan diri.
Malam itu kau menghardik dan mengutuk dirimu terus-menerus. Kaumenyesal pulang saat malam Lebaran. Kecerobohan membuat orang yang telah melahirkanmu pergi untuk selamanya. Tak perlu banyak aku bercerita tentang petaka itu karena hanya akan membangkitkan kesedihan. Meskipun kadang aku meragukan apakah kau akan menangisinya lagi? Mungkin kau akan menganggap ibumu sebagai martir yang tak terhindarkan. Hal seperti ini berlaku juga terhadap Aina di balik pintu tertutup itu. Semoga anggapanku ini salah.
Aina kini terus meratapi zaman. Sebagaimana dulu ibumu meratapi ketika kau dan abangmu berseberangan. Sebagai tentara pemerintah, abangmu sampai kini belum bisa mendamaikan hatinya setelah kematian yang tak diharapkan itu menimpa sang ibu. Seorang ibu yang dalam bait-bait doanya selalu meminta Tuhan menyatukan hati kalian yang terpisah karena ideologi. Seorang ibu yang yakin kalian akan pulang bersama tanpa menenteng senjata. Malam itu kau memang tak menenteng senjata, dan aku belum pernah melihatnya. Tapi kepulanganmu telah membuat kegaduhan di kampung kita.
Kegaduhan itu pula yang kau gembar-gemborkan di ingatan orang. Kaulah pahlawan sesungguhnya. Pahlawan yang telah mengurbankan segalanya, bahkan ibunya sendiri. Itulah yang aku dengar dari pengeras suara. Padahal aku datang ke lapangan itu untuk mendengar sedikit cerita dari mulutmu di corong mikrofon tentang kesungguhan Aina menjagamu di balik pintu tertutup itu. Sial, tak aku dengar kisah itu. Entah sudah kau kubur di belantara mana.
Sedikit lagi Kawan, sebelum aku menutup cerita ini. Aku ingin bercerita tentang Aina, ia yang kini terkurung di balik pintu tertutup. Prahara telah membuat mahkotanya rontok. Badai konflik telah merenggutnya. Angin kebencian telah merusak kemuliannya.
Ia yang dulu berjalan dengan mata buta di siang hari, kini telah berjalan dengan mata terbuka di kegelapan. Cinta kepadamu membuatnya buta, hingga menanggung segala derita. Kini derita itu lebih besar. Tubuh molek itu kini kaku. Kesulitan terberat bagiku adalah melihatnya tak berdaya. Aina kini bukan lagi Aina yang menyelamatkanmu dulu
Kulihat Aina begitu menderita. Bukan hanya tubuhnya, tapi jiwanya juga terpenjara di balik pintu tertutup itu. Seluruh isi kampung telah melupakan Aina dalam ruang gelap itu. Ia sunyi di balik pintu itu. Sunyi yang bengis mencengkram Aina, hingga ia terbenam dalam jaring keputusasaan.
Dari balik pintu tertutup itu, berkali-kali aku bisikkan pada Aina bahwa kau akan datang. Tapi ia menggeleng. Aku telah kehabisan cara membangkitkan semangat di tubuh lusuh itu.
Pipi dan wajah pucat itu basah dengan air mata. Dia yang dulu tak gentar mendengar salak senjata, dari balik pintu tertutup itu kini hanya dapat mendengar tiupan angin dan amarah lautan menghantam karang. Jiwa yang dulu begitu bergelora, kini hanya bisa merasakan pedihnya ketakberdayaan. Orang tuanya juga sudah lama galau dalam jaring keputusasaan. Mungkinkah jiwa yang patah itu dapat dihibur oleh jiwa yang kecewa?
Jadilah penghibur Aina, Kawan. Jadilah sebuah lubang kecil, tempat cahaya menerobos masuk menerangi gelapnya nasib Aina. Ia tidak meminta terangmu sebagai balas jasa, hanya berharap kau peduli secuil saja. Atau kau tetap saja terbuai oleh bualan kepahlawanmu sendiri.
* Iskandar Norman, jurnalis dan perawi hadihmaja.
Belum ada tanggapan untuk "Pintu Tertutup"
Post a Comment